Kaum Muda, Pemilu, KorupsiReza Syawawi ; Peneliti Hukum dan Kebijakan Transparency International Indonesia |
KOMPAS, 04 April 2014
PERHELATAN pemilihan umum untuk memilih anggota DPR, DPD, dan DPRD tinggal menunggu hari. Tahapan pemilu yang sedang berjalan semakin memperlihatkan kuatnya aroma persaingan di antara para kandidat. Perang atribut menjadi tak terhindarkan. Di tengah riuhnya semua tahapan tersebut, mungkin publik perlu sejenak berkontemplasi tentang apa yang sebetulnya sedang terjadi. Apakah ini hanya ajang unjuk popularitas tetapi miskin gagasan atau sebagai jalan untuk menuju kursi kekuasaan? Potret lembaga parlemen yang memikul tugas representasi publik selama ini dipandang negatif. Tak hanya karena ”miskin” kinerja, tetapi juga akibat kasus korupsi yang melibatkan banyak anggota parlemen. Karena itu, jika beranjak dari fakta tersebut, seharusnya ada tawaran baru untuk menghadirkan gagasan baru—termasuk ”orang baru”—untuk memperbaiki kondisi itu. Kaum muda? Daftar calon tetap (DCT) yang telah disahkan Komisi Pemilihan Umum sebetulnya tak cukup memberikan jaminan akan adanya perubahan yang signifikan terhadap wajah parlemen selama lima tahun ke depan. Hampir sebagian besar anggota parlemen saat ini, terutama di tingkat pusat, kembali mencalonkan diri. Di luar perdebatan soal hak mengajukan diri sebagai wakil publik, ada keriuhan baru yang muncul: kaum muda. Dalam konteks pemilih, sorotan terhadap pemilih pemula menjadi perbincangan karena secara kuantitas jumlahnya cukup signifikan. Dalam perkiraan yang sederhana, jumlah pemilih pemula berkisar 20 persen-30 persen dari total daftar pemilih tetap (DPT). Jumlah ini tentu ”menggiurkan” bagi partai politik dan kandidat. Tak mengherankan apabila beberapa calon anggota parlemen mengusung jargon sebagai caleg muda. Strategi ini tentu saja untuk menarik dukungan dari basis pemilih pemula. Jika melihat ketentuan UU No 8/2012 tentang Pemilu Anggota DPR, DPD, dan DPRD, usia minimal calon memang sangat ramah terhadap kaum muda. Untuk bisa jadi calon anggota DPR, DPD, dan DPRD, usia minimal adalah 21 tahun. Jika disandingkan dengan fenomena pemilih pemula, usia minimal pemilih menurut UU ini adalah 17 tahun. Namun, pertanyaannya, apakah pemilih pemula dengan pengalaman awalnya dalam memilih akan condong pada pilihan yang juga berasal dari kalangan muda? Sayangnya caleg muda tak menempatkan posisinya sebagai bagian dari kaum muda secara ideologis sehingga patut dipilih. Seharusnya pendekatan yang dilakukan tidak hanya karena kedekatan usia, tetapi juga bagaimana menghadirkan gagasan untuk mengagregasi kepentingan kaum muda. Bahkan, partai politik juga melakukan kesalahan yang sama dengan para kandidatnya. Partai politik cenderung ”rajin” membentuk sayap organisasi yang beranggotakan kaum muda, tetapi hal itu hanya hiasan struktural. Korupsi Fakta kasus korupsi dewasa ini sebetulnya makin memprihatinkan: koruptor makin lama makin berusia muda. Korupsi tidak lagi melihat usia. Begitulah adanya, di mana pun ada kekuasaan di situ bersemayamnya potensi korupsi (Lord Acton). Oleh karena itu, fenomena caleg muda dan pemilih muda (pemula) sebaiknya ditempatkan dalam porsi yang lebih ideologis dan strategis. Bagi caleg muda, tawaran dan gagasan baru seharusnya menjadi alat untuk menarik simpati pemilih. Tak hanya dalam konteks pemilih pemula, tetapi juga bagi semua pemilih yang sudah ”bosan” dengan muka-muka lama. Gagasan kaum muda seharusnya melampaui gagasan kaum tua yang sudah terbiasa dengan zona nyamannya. Jika tidak, Pemilu 2014 hanya akan menjadi pertarungan wajah lama yang sudah berkarat akibat selalu terpapar virus korupsi. Politik kaum muda bukanlah replikasi politik kaum tua yang sudah usang dimakan zaman. Politik kaum muda juga sebaiknya tidak ditempatkan dalam posisi yang aji mumpung, hanya karena memenuhi syarat untuk mengajukan diri sebagai caleg atau hanya karena punya relasi yang kuat dengan elite partai. Bagi pemilih muda, pilihan politiknya tidaklah ditempatkan dalam posisi politik yang pragmatis, apalagi sampai memaklumi politik uang. Pilihan politik seharusnya didasarkan pada pertimbangan yang rasional, rekam jejak (track record) yang baik, dan bukan semata karena faktor popularitas apalagi atas dasar suku, agama, dan ras. Dengan semua itu, posisi kaum muda dalam pemilu tidak sekadar pendatang baru dalam kancah politik. Ia memegang posisi yang strategis atau bahkan menentukan arah politik legislasi ke depan yang jauh lebih baik. Namun, situasi ini bisa saja berbalik arah dan melanjutkan tradisi yang buruk: kaum muda akan semakin mendominasi jajaran tersangka, terdakwa, dan terpidana korupsi. Ini akan terjadi jika kaum muda tidak memilih jalan politik yang jauh lebih baik, jauh lebih bersih, dan jauh lebih maju daripada para pendahulunya. ● |
Tidak ada komentar:
Posting Komentar