Dugaan Saja Dapat Merampas Aset Tindak PidanaRomli Atmasasmita ; Peneliti pada Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI), Dosen Program S-3 Ilmu Politik pada Universitas Nasional |
KORAN SINDO, 04 April 2014
Di masa pemerintahan SBY sejak berlakunya UU RI Nomor 8 Tahun 2010 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang (TPPU), terutama tindak pidana korupsi (TPK) yang merupakan salah satu ”predicate offense”; dugaan harta kekayaan berasal dari tindak pidana, dapat dirampas, jika terdakwa tidak dapat membuktikan harta kekayaannya tidak terkait tindak pidana. Praktik hukum pembuktian terbalik terhadap seseorang yang diduga telah melakukan tindak pidana, sekalipun telah diperkuat yurisprudensi bukan jaminan bahwa kepastian hukum dan keadilan telah selesai tuntas. Pasalnya, telah tersedia upaya hukum PK lebih dari satu kali sebagai upaya hukum untuk menemukan kebenaran dan keadilan. Mengapa kemungkinan tersebut terbuka lebar? Masalahnya, jika dalam satu UUterdapat dua ketentuan yang bertolak belakang dan bersifat multitafsir, UU tersebut jelasjelas bertentangan dengan asas legalitas yang di dalamnya meliputi: lex scripta, lex certa, dan lex stricta. Pasti siapa pun yang pernah belajar hukum pidana sejak semester pertama sudah harus mengetahui dan memahaminya, apalagi ahli hukum pidana. Bayangkan pertentangan itu nyata, di mana UU TPPU 2010 telah mewajibkan terdakwa membuktikan bahwa harta kekayaannya tidak ada kaitan dengan tindak pidana yang didakwakan. Sementara dalam UU itu juga ditegaskan bahwa penuntut (negara) tidak wajib membuktikan tindak pidana asal (predicate offense). Yang benar, seharusnya penuntut (negara) tidak wajib membuktikan asal-usul harta kekayaan yang diduga berasal dari tindak pidana karena setiap sen harta kekayaannya yang paling mengetahui adalah ”pemiliknya” (terdakwa). HukummenurutHansKelsen dan diakui oleh ahli hukum Indonesia sejak Moelyatno sampai ahli hukum pidana saat ini, bahwa hukum merupakan sistem norma dan logika (system of norms and logic). Dalam konteks pembuktian terbalik di atas, bagaimana pertanggungjawaban pembentuk UU dan ahli hukum yang mendukung UU TPPU 2010 tersebut jika seorang terdakwa tidak harus mengetahui kesalahannya atas tindak pidana yang didugakan kepadanya, tetapi terdakwa itu sendiri harus membuktikan ada keterkaitan harta yang dimilikinya dan diduga dari tindak pidana yang tidak pernah dibuktikan oleh penuntut? *** Konflik norma di dalam UU TPPU 2010 tersebut pantas dan layak diajukan uji materiil karena bertentangan dengan Pasal 28 D ayat (1) UUD 1945. Dalam pasal tersebut ditegaskan bahwa ”setiap orang berhak atas pengakuan, jaminan, perlindungan dan kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama di hadapan hukum”.Penyusun UUD 45 saja telah memandatkan pada penyelenggara negara, DPR, pemerintah, dan lembaga penegak hukum; agar memberikan jaminan menegakkan kepastian hukum yang adil. Artinya harus didahulukan menemukan kepastian hukum, tetapi kepastian hukum itu harus sesuai dengan nilai keadilan yang menjadi tujuan dari pembentukan UU tersebut. Kedudukan norma dalam UUTPPU 2010 tidak memberikan jaminan kepastian hukum yang adil, apalagi jaminan pengakuan, perlindungan, dan perlakuan yang sama di depan hukum. Dalam praktiknya, terdakwa juga wajib membuktikan harta kekayaannya yang tidak ada kaitan dengan tindak pidana yang didakwakan kepadanya, seperti dalam perkara Bahasyim, Wa Ode, dan Djoko Susilo. Praktik penerapan pembuktian terbalik tersebut nyata dan terang benderang diberlakukan surut (retroaktif) sampai sebelum terdakwa menduduki jabatan, yang mana ia didakwa telah menyalahgunakan kewenangan, kesempatan, atau sarana yang ada padanya karena jabatan atau kedudukannya. Kekeliruan majelis hakim pengadilan tipikor yang saya anggap fatal adalah bahwa telah diperintahkan kepada terdakwa untuk membuktikan pula, bahwa harta kekayaan yang tidak terkait tindak pidana dan sangat signifikan adalah berasal dari penghasilannya yang sah. Perintah majelis hakim tersebut identik dengan bunyi ketentuan dalam Konvensi PBB Antikorupsi 2003 (UNCAC 2003), yaitu larangan illicit enrichment (tindak pidana memperkaya diri sendiri secara tidak sah). Konvensi tersebut telah diratifikasi, tetapi belum pernah diundangkan sampai saat ini baik dalam UU Tipikor 1999/2001 maupun UUTPPU 2010. Majelis Hakim Pengadilan Tipikor telah mengabaikan asas hukum pidana, ”actus non facit reum, nisi mens sit rea”. Artinya tidak ada satu perbuatan yang dapat dipidana, kecuali atas kekuatan peraturan perundang- undangan pidana sebelum perbuatan itu dilakukan! Bayangkan saja betapa zalimnya negara saat ini ketika terhadap terdakwa dituntut dan dihukum atas perbuatan yang didakwakan kepadanya, tetapi tidak ada satu pun ketentuan UU yang telah mengatur perbuatan yang didakwakan dan dituntut tersebut. Korban-korban sesat penafsiran hukum juga terjadi pada penerapan ketentuan Pasal 5 UU TPPU Tahun 2010, atau TPPU pasif, yang telah dipelintir oleh mereka yang mengaku ”ahli TPPU” di Indonesia. Mereka mengatakan, bahwa siapa pun yang menerima sejumlah uang atau harta dapat dipidana karena termasuk dengan TPPU pasif, sekalipun yang bersangkutan tidak mengetahui bahwa uang dan harta tersebut berasal dari tindak pidana. *** Tafsir hukum atas Pasal 5 UU TPPU 2010 tersebut telah mengabaikan penjelasan pasal 5 itu sendiri yang menegaskan arti ”patut diduga atau mengetahuinya”: ” yang dimaksud dengan ”patut diduganya” adalah, suatu kondisi yang memenuhi setidak-tidaknya pengetahuan, keinginan, atau tujuan pada saat terjadinya transaksi yang diketahuinya yang mengisyaratkan adanya pelanggaran hukum”. Penjelasan ini menunjukkan bahwa untuk ditetapkan sebagai pelaku TPPU pasif maka pelaku harus telah memenuhi ”mens-rea”; mengetahui ada transaksi yang melanggar hukum, dan ada keinginan serta tujuan terdakwa untuk menikmati hasil suatu kejahatan. Adalah suatu kekeliruan tafsir hukum yang fatal dan menyesatkan jika pelaku TPPU pasif dapat ditujukan terhadap siapa saja tanpa sama sekali mempertimbangkan ”mens-rea” (niat jahat) yang melekat pada dirinya. Jika kekeliruan penerapan hukumterusdilaksanakantanpa koreksi, dalam penerapan UU TPPU 2010 telah terjadi ”misscarriage of justice’ (Nigel Walker). Dalam sistem peradaban hukum modern, tidak termasuk di negeri ini, peristiwa tersebut sudah tentu tidak akan memperoleh tempat yang dihormati. Karena pandangan masyarakatnya tentang ”the rule of law”, dan dengan tingkat kesadaran hukum yang tinggi, tidak akan mudah terkesima hanya dengan langkah-langkah spektakuler aparatur hukum karena bagi masyarakat di negara maju, hak asasi yang dijamin dalam konstitusi telah diakui dan dipahami merupakan ”the supreme law of the land”. Konstitusi bagi masyarakat negara maju merupakan satu-satunya jaminan terakhir bagi perlindungan hak asasi dalam suatu negara berdaulat bebas dari penjajahan bangsa lain. Hal ini telah dibuktikan dalam kasus seorang tunawisma, Gideon, yang telah dibebaskan oleh MA Amerika Serikat, karena seorang polisi ketika menangkap dan menahan Gideon tidak membacakan hak-haknya (Miranda rules). Kasus Gideon justru terjadi pada sistem peradilan pidana yang tidak mengenal bahkan mengakui Pancasila sebagai ideologi sekaligus sumber nilai-nilai kehidupan bangsanya, tetapi memuliakan dan menjunjung tinggi nilai ketuhanan dan nilai perikemanusiaan yang adil dan beradab serta menjaga dan melaksanakan prinsip ”due process of law” yang telah diakui secara universal. Saya tetap mengharapkan dan selalu berdoa bahwa penegakan hukum di negara ini akan sampai pada penghormatan hak asasi setiap warga negaranya oleh setiap aparatur hukumnya, tanpa memandang kaya dan miskin dan perbedaan status hukum, sosial dan politiknya. ● |
Tidak ada komentar:
Posting Komentar