Minggu, 08 Juli 2012

Several Moments When You Need Hardwood Charcoal


Main and most common reason for you to find hardwood charcoal is when you are going to go barbequing any food as like sea food, chicken, corn, and other types of food. 

Selasa, 07 Februari 2012

Potensi Pajak Migas


Potensi Pajak Migas
Chandra Budi, BEKERJA DI DITJEN PAJAK, ALUMNUS PASCASARJANA IPB
Sumber : REPUBLIKA, 7Februari 2012


Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) 2012 diperkirakan mengalami defisit sebesar Rp 124 triliun atau mencapai 1,5 persen terhadap Produk Domestik Bruto (PDB). Untuk menutupi defisit ini, pemerintah berencana untuk membiayainya melalui utang luar negeri dan dalam negeri. Kondisi ini sebenarnya mengindikasikan bahwa pemerintah membutuhkan dana lebih banyak dari yang kemungkinan diperoleh untuk menjalankan program-programnya.

Walaupun pemerintah juga semakin mudah untuk memperoleh pinjaman, sebagai efek dari peningkatan investment grade, tetapi harus diakui bahwa instrumen pembiayaan melalui utang juga membebani APBN itu sendiri. Setiap tahun, APBN mengalokasikan lebih dari Rp 100 triliun untuk pembayaran utang, baik pembayaran jatuh tempo dan buyback Surat Berharga Negara (SBN) maupun pembayaran cicilan pokok pinjaman luar negeri.

Dengan kebutuhan belanja pembangunan yang sudah sangat terbatas, maka langkah penghematan pada sisi belanja sudah tidak relevan lagi. Mau tidak mau, pemerintah harus bergerak dari sisi penerimaan negara agar citacita mewujudkan kemandirian pembiayaan negara dapat terwujud. Meningkatkan penerimaan negara berarti secara tidak langsung meningkatkan penerimaan perpajakan. Kajian akademis menunjukkan, masih banyak potensi perpajakan yang belum tergali optimal. Langkah Ditjen Pajak dengan merilis tujuh langkah strategis pengamanan penerimaan perpajakan pada 2012 merupakan wujud nyata untuk menggapai kemandirian bangsa melalui kemandirian APBN. Salah satu langkah strategis tersebut adalah penggalian potensi pajak sektor Minyak dan Gas Bumi (migas).

Cost Recovery Sektor

Minyak dan Gas Bumi (migas) masih menjadi primadona dalam menyumbang penerimaan negara. Pada 2012, target penerimaan negara sektor migas mencapai Rp 220,4 triliun atau 16,8 persen dari target penerimaan negara sebesar Rp 1.311,4 triliun. Sebesar Rp 60,9 triliun berasal dari penerimaan pajak penghasilan (PPh) migas. Namun, karena keterbatasan akses dan minimnya data, maka pemerintah, termasuk Ditjen Pajak, mengalami kesulitan untuk menguji kebenaran besarnya nilai-nilai tersebut.

Dua komponen utama penerimaan migas berasal dari penerimaan bagi hasil migas dan penerimaan pajak penghasilan (PPh) migas atau pajak migas. Keduanya sangat tergantug kepada besaran nilai produksi migas yang dapat dibagi (equity to be split). Dengan asumsi besarnya produksi kotor (lifting) sudah benar, maka besar kecilnya equity to split tergantung pada besar kecilnya biaya yang dapat dikembalikan (cost recovery). Karena itu, titik kritis penerimaan negara sektor migas sebenarnya ada pada jenis dan jumlah biaya-biaya pembentuk cost recovery.

Sejak diterbitkannya peraturan pemerintah (PP) Nomor 79 Tahun 2010 tentang Biaya Operasi yang Dapat Dikembalikan serta Perlakuan Pajak Penghasilan di Bidang Usaha Hulu Minyak dan Gas Bumi atau dikenal dengan PP Cost Recovery. Maka, biaya-biaya pembentuk cost recovery sudah dibuat aturan mainnya. Prinsipnya, cost recovery harus memenuhi persyaratan bahwa biaya yang dikeluarkan memang digunakan untuk mendapatkan, menagih, dan memelihara penghasilan. Selain itu, biaya tersebut harus menggunakan harga wajar yang tidak dipengaruhi hubungan istimewa.

Aturan cost recovery kemudian dipertegas lagi dengan penetapan batasan maksimal untuk biaya pengeluaran kantor pusat dan biaya remunerasi tenaga kerja asing. Selain memperketat syarat bagi biaya pengeluaran kantor pusat untuk menjadi cost recovery, pemerintah juga menetapkan batasan paling tinggi dua persen dari biaya modal dan bukan modal untuk diklaim sebagai cost recovery. Sehingga, pemerintah dapat mengontrol melonjaknya cost recovery yang berasal dari pos ini.

Biaya remunerasi bagi tenaga kerja asing yang akan menjadi biaya dalam cost recovery perlu juga untuk dibatasi. Tidak menutup kemungkinan, cost recovery ini menjadi pusaran biaya (cost center) bagi perusahan-perusahan migas yang berada dalam satu grup. Yang paling mudah untuk dimanipulasi adalah biaya remunerasi tenaga kerja asing. Sudah mafhum bahwa tenaga kerja asing dalam suatu grup perusahan ruang lingkup tugasnya meliputi keseluruhan anak perusahaan. Seharusnya, tenaga kerja asing ini dibayar oleh induk perusahannya.

Akan tetapi, pada kenyataanya biaya gaji dan tunjangannya-yang sangat besar--dibebankan hanya pada salah satu anak perusahaanya saja. Parahnya lagi, ketika anak perusahan yang harus membayar remunerasi tersebut merupakan kontraktor kontrak kerja sama migas yang sedang menyiapkan laporan cost recovery. Pembatasan maksimum biaya remunerasi per golongan dan per negara, setidaknya juga bertujuan mengurangi risiko kemungkinan terjadinya manipulasi ini.

Dengan terbitnya aturan pelaksana pada sektor migas ini, Ditjen Pajak seharusnya sangat diuntungkan. Besaran cost recovery akan otomatis mendekati kondisi sebenarnya, jauh lebih kecil dari tahun-tahun sebelumnya. Efeknya, equity to be split akan semakin besar, yang mengakibatkan penerimaan pajak migas juga meningkat. Selain itu, kewenangan akses menentukan komponen biaya-biaya dalam cost recovery pada tahapan eksplorasi. Ditjen Pajak juga dapat sekaligus melakukan intensifikasi pemungutan pajak.

Belum lagi tambahan jenis pajak final atas transaksi-transaksi yang terjadi. Yang sudah diatur jelas adalah pengenaan pajak final atas penghasilan lain kontraktor, yaitu sebesar 20 persen atas uplift atau imbalan yang diterima sehubungan dengan penyediaan talangan dan sebesar lima persen atau tujuh persen atas imbalan yang diperoleh dalam pengalihan hak atau participating interest.
 
Tidak tertutup kemungkinan, kegiatan intensifikasi juga menemukan potensi pajak atas kegiatan jasa yang dilakukan subkontraktor. Yang pasti, aturan migas yang baru ini membuat ruang gerak Ditjen Pajak dalam menggali potensi pajak sektor migas semakin terbuka lebar. ●

Pilot yang Nyabu!


Pilot yang Nyabu!
Chappy Hakim, CHAIRMAN CSE AVIATION
Sumber : SINDO, 8Februari 2012




Pada akhir 2011 Pengadilan Negeri Tangerang mengadili dua orang pilot Lion Air yang tertangkap basah saat pesta sabu-sabu bersama rekannya di sebuah apartemen di Kota Tangerang.

Sementara itu, Sabtu dini hari tanggal 4 Februari 2012 petugas Badan Narkotika Nasional (BNN) menangkap seorang pilot Lion Air saat nyabu di kamar 2.109, Hotel Garden Palace, Surabaya, Jawa Timur.Kabarnya,penangkapan ini merupakan pengembangan dari ditangkapnya pilot Lion Air lain beberapa waktu lalu di Makassar. Kabar ini sangat jelas telah menggambarkan bagaimana memprihatinkannya dunia penerbangan kita.

Peristiwa tersebut sebenarnya merupakan sesuatu yang sangat sulit dipercaya oleh akal sehat. Seorang pilot pada hakikatnya hidup dari kondisi fisiknya yang prima sebagai salah satu syarat utama dalam menjalankan profesinya sebagai pilot. Lebih memprihatinkan lagi karena pada hakikatnya dunia penerbangan Indonesia saat ini tengah berada dalam kondisi yang masih membutuhkan banyak langkah penyempurnaan.

Masih banyak tindak lanjut dari Undang-Undang (UU) Nomor 1 Tahun 2009 tentang Penerbangan yang masih belum dilaksanakan. Padahal tindak lanjut tersebut dicantumkan harus sudah selesai dalam kurun waktu dua tahun setelah undang-undang tersebut diundangkan. Beberapa di antaranya adalah pembentukan dewan penerbangan dan penempatan Komite Nasional Keselamatan Transportasi (KNKT) yang harus langsung berada di bawah kendali Presiden.

Peristiwa tertangkapnya pilot Lion Air yang dilakukan oleh BNN tentu saja telah membuat keresahan di masyarakat luas. Dipercaya bahwa jaringan narkoba yang melanda para pilot ini tidaklah mustahil telah merambah tidak hanya pada satu atau dua saja dari maskapai penerbangan yang ada di Indonesia. Korps pilot penerbangan sipil Indonesia kiranya harus segera mengambil tindakan yang nyata untuk segera menertibkan masalah tersebut.

Penyelidikan yang mendalam mengenai masalah ini harus dilakukan agar akar permasalahannya dapat segera diketahui dengan jelas.Pada kasus seperti ini diharapkan para pilot tidak melakukan perlindungan dan menggalang solidaritas yang sempit dalam konteks penyebaran narkoba di dunia penerbangan nasional. Masalah kebanggaan dan kehormatan pilot Indonesia berada di tangan para pilot itu sendiri.

Mereka hendaknya melakukan introspeksi dan melakukan langkah-langkah tegas agar kasus yang sangat memalukan ini tidak berkembang lebih luas lagi.Kesadaran mengenai ketaatan terhadap aturan dan regulasi yang ada, seyogianya benar-benar dapat terbangun dari diri sendiri. Seharusnya dipahami bahwa kehormatan korps penerbang Indonesia tidaklah hanya menyangkut para pilot semata, akan tetapi juga menyangkut gengsi Indonesia sebagai bangsa.

Di tengah-tengah kemajuan yang sangat luar biasa dari bisnis penerbangan di dunia dan terutama pertumbuhan penumpang angkutan udara di dalam negeri,telah menyebabkan Indonesia senantiasa menjadi sorotan perhatian dunia.

Tanggung Jawab   

Pilot dan maskapai penerbangan memiliki tanggung jawab yang besar terhadap keselamatan penumpang. Manajemen perusahaan penerbangan harus melakukan pembenahan dalam masalah ini.Para pilot senior mempunyai tanggung jawab dalam pembinaan karier para pilot yunior di perusahaan yang bersangkutan.

Di sisi lain, Kementerian Perhubungan mempunyai tugas yang tidak ringan dalam mengawasi faktor keselamatan penerbangan, termasuk dalam kasus tertangkapnya pilot yang nyabu itu. Kerja sama yang harmonis dari pihak Kementerian Perhubungan sebagai regulator dengan pihak maskapai penerbangan sebagai operator harusnya dapat terjalin dengan baik.

Dengan demikian kegiatan pengawasan terhadap pembinaan SDM, dalam hal ini para awak pesawat, termasuk dan terutama sekali pilot, dapat dilakukan secermat mungkin. Sudah saatnya manajemen perusahaan penerbangan tidak hanya berorientasi kepada bisnis dan mencari keuntungan semata, akan tetapi kiranya juga menaruh perhatian yang tinggi terhadap pembinaan pilotnya.

Kementerian Perhubungan, dengan peristiwa ini, seharusnya dapat segera menyimpulkan bahwa aturan-aturan dan regulasi serta ketentuan yang diberlakukan selama ini ternyata tidak cukup ampuh untuk mencegah keterlibatan pilot dalam kasus narkoba. Tentu saja pendalaman terhadap penyebab dari kasus yang sangat memalukan ini akan dapat memberikan pelajaran mahal yang berharga bagi regulator tentang,apakah benar aturan-aturannya selama ini masih kurang ketat, ataukah faktor pengawasan dalam konteks implementasi dari aturan yang ada itu belum berjalan sesuai dengan sasaran yang dikehendaki.

Pekerjaan sebagai pilot, adalah satu pekerjaan yang mulia dan membanggakan. Tidak semua orang yang bercita- cita menjadi pilot dapat mewujudkan cita-citanya. Cukup banyak persyaratan yang harus dipenuhi oleh seseorang untuk dapat menjadi pilot.Tidak sekadar berbadan sehat, tentu saja. Tingkat kecerdasan tertentu juga telah menjadi syarat yang mutlak bagi profesi pilot.

Di luar itu, faktor tanggung jawab, yang seharusnya merupakan salah satu persyaratan utama untuk dapat menjadi pilot, bukanlah merupakan sesuatu yang harus dipertanyakan lagi. Rekrutmen pilot diharapkan menjadi salah satu bidang yang harus juga menjadi sasaran kaji ulang dan penelitian lebih jauh oleh pihak regulator,agar tidak kebobolan dalam proses menghasilkan para pilot yang profesional.

Kasus pilot nyabu seharusnya bisa segera dihentikan sampai di sini saja. Ke depan semua pihak yang terlibat dalam industri penerbangan nasional berkewajiban fokus dalam masalah menyelesaikan dengan baik tragedi yang sama-sama tidak kita inginkan ini.

Kasus pilot nyabu kiranya bukanlah masalah para pilot dan maskapai penerbangan semata, akan tetapi seharusnya disikapi sebagai masalah kita semua, terutama semua pemangku kepentingan di bidang penerbangan nasional.

Tinjau Ulang PNPM


Tinjau Ulang PNPM
Zainin Ahmadi, ANGGOTA DPR RI FRAKSI PDI-PERJUANGAN
Sumber : REPUBLIKA, 7Februari 2012


Alokasi bantuan langsung masya rakat yang ber sum ber dari APBN, APBD, dan utang luar negeri mencapai triliunan rupiah. Setiap tahun, jumlahnya yang meningkat semestinya membuat masyarakat kian merasakan manfaat, namun kenyataannya tidak demikian. Apakah sebabnya?

Bantuan langsung masyarakat yang dimaksud ialah untuk program nasional pemberdayaan masyarakat mandiri (PNPM-Mandiri) yang sekarang memasuki tahun keenam. Jika sudah lebih lima tahun pelaksanaannya tidak banyak membawa manfaat, berarti ada sistem yang salah. Bagaimana pemberdayaan masyarakat disebut berhasil jika ternyata mereka tetap tidak berdaya?

PNPM-Mandiri, sebagaimana halnya program keluarga harapan (PKH), merupakan model atau cluster penanggulangan kemiskinan yang sesungguhnya sama dan sebangun dengan bentuk bantuan langsung tunai (BLT).
 
Riwayatnya dulu ketika pemerintah menaikkan harga bahan bakar minyak (BBM).
Dibuatlah program kompensasi selain BLT, yaitu bantuan operasional sekolah (BOS), bantuan khusus murid, jaminan kesehatan bagi penduduk miskin, infrastruktur pedesaan, dan lainlain. Dibuatlah landasan yuridis, yaitu Perpres Nomor 54 Tahun 2005 tentang Tim Koordinasi Penang gulangan Kemiskinan (TKPK), dengan ketua Menko Kesra yang kemudian melahirkan PNPM-Mandiri.

Setelah lima tahun, tim berubah nama menjadi Tim Nasional Percepatan Penanggulangan Kemiskinan (TNP2K) melalui Perpres (Peraturan Presiden) Nomor 15 Tahun 2010 tentang Percepatan Penanggulangan Kemiskinan. Perpres tersebut merupakan perubahan dari Perpres Nomor 13 Tahun 2009 tentang Kordinasi Penanggulangan Kemiskinan, dengan ketua Wakil Presiden Boediono.

Mengalir Sampai Jauh

Berdalih untuk harmonisasi dan sinkronisasi program pemberdayaan masyarakat yang ada di setiap kementerian/lembaga, PNPM-Mandiri merambah hampir semua bidang, antara lain, perdesaan, perkotaan, infrastruktur perdesaan, dan infrastruktur sosial ekonomi wilayah.

Tidak cukup dengan itu, diciptakanlah program pendukungnya, seperti PNPM bidang pariwisata, generasi, perbatasan, perumahan dan permukiman, kelautan dan perikanan, serta pengembangan usaha agribisnis perdesaan.

Tidak heran jika anggarannya melimpah ruah seperti diakui Wakil Menteri Keuangan (Wamenkeu) Annie Ratnawati bahwa dana mencapai lebih dari Rp 86 triliun yang tersebar di 19 kementerian.

Efektifkah? Mudah ditebak, logika pemerintah yang acap kali bermain pada ruang kelembagaan, seperti pembentukan satgas pemberantasan mafia hukum dan satgas tenaga kerja Indonesia, instruksinya hanya efektif di atas kertas.

Sementara, implementasinya banyak sekali direduksi, jadinya, cuma bijak berteori dan bersilat kata. Alih-alih menanggulangi kemiskinan struktural, pemerintah lebih suka mendesain struktur baru yang menambah inefisiensi.
TNP2K adalah lembaga ad hoc yang lahir tanpa direncanakan dan diagendakan oleh wapres hingga (hanya) 2014. Hal itu semakin menunjukkan, pemerintah tidak mempunyai arah tujuan yang jelas untuk membangun bangsa ini ke depan. Maka, pada tempatnya pelaksanaan PNPM dihentikan.

Lima Alasan Dihapus

Alasan pertama dan yang utama untuk menghentikan PNPMMandiri adalah karena penyelenggaraan program ini menabrak UU Nomor 13 Tahun 2011 tentang Penanganan Fakir Miskin (UU-PFM). Program tersebut, yang berangkat dari keinginan mempercepat penanggulangan kemiskinan berdasarkan Perpres dan Permen (Peraturan Menteri), wajib hukumnya menaati peraturan yang lebih tinggi, yaitu undang-undang.

Selain merupakan amanat konstitusi, UU-PFM hadir untuk menertibkan pengaturan penanggulangan kemiskinan yang masih banyak tersebar di berbagai peraturan perundang-undangan sehingga terhimpun secara integral dan terkoordinasi. Jika mau sadar hukum, apa boleh buat, TNP2K harus dibubarkan atau setidaknya direkonstruksi agar tidak menyalahi undang-undang.

Alasan kedua, dana triliunan rupiah PNPM-Mandiri tidak murni dari anggaran pendapatan belanja negara dan daerah, melainkan dari pinjaman Bank Dunia.

Mengapa berutang hanya untuk menutupi beban anggaran subsidi? Utang pemerintah sampai dengan akhir 2011 mencapai Rp 1.803,49 triliun, meningkat Rp 126,64 triliun dalam satu tahun saja dibanding 2010 sebesar Rp 1.676,85 triliun.

Sulit dika takan PNPMMandiri melakukan banyak pembangunan proyek infrastruktur yang produktif karena programnya merambah ke semua bidang kerja yang terkesan cuma bagibagi bantuan sosial--sehingga kesimpulan akhir adalah kuatnya dugaan untuk “membiayai“ peri laku konsumtif dan inefisiensi (tidak efisien).

Alasan ketiga, jauh dari makna pemberdayaan masyarakat. Jika waktu itu tidak ada kenaikan harga BBM tidak ada BLT, tidak akan ada bantuan langsung masyarakat, dan tidak akan ada PNPM-Mandiri.

Sejatinya, program ini tidak pernah direncanakan, karena itu wajar menjadi tidak terarah dan tidak berkelanjutan--terucapkan oleh wapres hanya sampai 2014.
Tiadanya perencanaan juga tercermin dari nama lembaga yang me nanganinya berubah-ubah, demikian pula ketuanya, dari semula seorang menko Kesra berganti wakil presiden. Bagaimana hendak memberdayakan masyarakat secara luas, jika untuk penguatan kelembagaannya sendiri saja tidak mampu dilakukan?

Keempat, tumpang tindih dengan proyek-proyek pembangunan lain karena daya jelajah PNPMMandiri yang tiada batas. Ambil contoh PNPM-Mandiri perdesaan yang dikelola Kementerian Dalam Negeri dengan anggaran pada 2011 mencapai Rp 9,6 triliun, lebih 50 persen dipergunakan untuk membangun akses transportasi berupa jalan, sektor pendidikan 11 persen, dan kesehatan 10 persen.

Lha, kalau pemberda yaan masyarakat desa diartikan Kemendagri sebagai pembangunan fisik, bagaimana dengan peran Kementerian PU, Kemendikbud, dan Kemenkes di daerah (desa) itu?

Karut-marut anggaran se macam itu membuka peluang terjadinya double posting untuk satu objek pembangunan, dan itu berarti pemborosan.

Kelima, PNPM sangat politis. Jika penanggulangan kemiskinan adalah salah satu bidang dalam rencana pembangunan jangka menengah (RPJM) 2010-2014, maka “sambil berenang minum air“, pemerintah secara sadar melaksanakan kewajiban (seolah) menyejahterakan rakyat dengan sasaran kemiskinan sebagai objek belaka.

PMPN dan sejenisnya menjadi magnet pusat, melibatkan gubernur dan bupati/walikota, menjangkau pemerintahan provinsi, kabupaten/kota hingga kecamatan. Program ini jadi idaman (`bancakan') daerah, terlebih keadaan pemerintahan daerah (pemda) yang masih sangat bergantung pada dana perimbangan dari APBN.

Lebih dari sekadar data PNPM, BLT, PKH, Jamkesmas dan basis data terpadu dari BPS, pemerintah amat digdaya untuk meramu dan mengolahnya dalam mesin politik the ruling party demi pemenangan 2014. Mencermati kondisi demikian, masih perlukah PNPM Mandiri? ●

Does Indonesia need a foreign policy white paper?


Does Indonesia need a foreign policy white paper?
Yayan GH Mulyana, THE WRITER WORKS FOR THE PRESIDENT’S SPECIAL ASSISTANT
FOR INTERNATIONAL RELATIONS
Sumber : JAKARTA POST, 7Februari 2012


One interesting feature in the ongoing Republican Party primaries in the United States is the readiness of candidates to tackle foreign policy issues. Mitt Romney, for example, has released a foreign policy white paper titled An American Century: A Strategy to Secure America’s Enduring Interests and Ideals.

The white paper covers a wide range of country-based issues as well as thematic issues such as the Middle East and the Arab Spring, disarmament, terrorism and human rights. It also outlines the need for reform in the institutional and legal aspects of US foreign policy.

Foreign policy white papers have been widely used by governments or people who are running for office to explain their views and beliefs on foreign policy issues. For candidates, it is important that a white paper be convincing and persuasive to voters.

White papers are also prepared to respond new challenges that might profoundly affect a country and its people. Australia, for example, through a task force, is currently preparing a white paper titled Australia in the Asian Century.

In countries such as the US and Australia, white papers are a critical part of national foreign policy management. White papers are part of a tradition that builds textual communication on foreign policy between the governments and the people or between politicians and voters. They are also part of educating the general public on foreign policy issues that affect their lives.

Romney’s foreign policy white paper was prepared by his foreign policy team, which is comprised of experts with blend of experiences, spanning academia and public service. It is guided by visions and a set of interests that go well with the traditional values of the Republican Party in foreign policy.

Meanwhile, Australia’s Asian Century white paper is being prepared through a public consultation process that includes an array of stakeholders, from the general community to business and academia and other interested parties. This process will encourage a wide sense of ownership and enhance the legitimacy of the white paper.

Does Indonesia need a foreign policy white paper?

Indonesian foreign policy is rich in written and spoken tradition. Since independence until today, the nation’s leaders have been very innovative in calibrating Indonesian foreign policy with the challenges of their time. One historic innovations is the bebas aktif (free and active) foreign policy. Prime minister Moh. Hatta introduced the doctrine in a speech before the Working Body of the Central Indonesian National Committee on Sept. 2, 1948.

During Sukarno’s presidency, Indonesia was quite inventive in its foreign policy: from pioneering in the birth of the Non-Aligned Movement to the use of the concept of Nefos (new emerging forces) and Oldefos (old established forces) as a working notion to look at the world of that time and efforts to use Pancasila as a normative basis for the international order.

President Susilo Bambang Yudhoyono has been active in strengthening the bebas aktif foreign policy through his directives. He introduced the idea of an “all-directions foreign policy” and “a million friends, zero enemies” to make foreign policy more relevant to the national interests and the challenges that Indonesia is presently facing.

As far as a foreign policy white paper is concerned, it is not a tradition yet in Indonesia that governments or candidates to develop such papers.

Perhaps, from a practical point of view, having a foreign policy white paper is not that urgent, despite efforts that have been made in the past few years. This is quite understandable considering that even without such papers, Indonesia has been doing well in foreign policy since independence.

For all that, a white paper on foreign policy would give us more benefits than harm.

First, it would helps organize all essential foreign policy directives in a more coherent, structured, and systematic manner. Indonesia would have a clear picture as to what should be prioritized and what strategic measures should be taken in foreign relations within a particular time frame.

If we believe that this century is the Asian century, it is important that we have forward-looking and crystal-clear vision as well as viable missions to embrace the spirit of the time.

Second, a white paper could help relevant institutions to generate derivatives from the nation’s foreign policy directives. This could help ensure coherence and consistency between presidential macro-foreign policy and ministerial micro-foreign policy.

This could also facilitate better cooperation among relevant institutions in the foreign policy business.

Third, a white paper made available through the media and accessible to the people would help increase the people’s awareness of foreign affairs and foreign policy. Thus, it would have an educational purpose.

Fourth, a widely consulted white paper would further our democracy. Amid many voices, a government white paper would have broader public legitimacy.

In this context, it would be something to be anticipated if candidates in 2014 could use white papers to express solid and coherent view of the foreign policy issues that affect Indonesians in the 21st century.