Sabtu, 05 April 2014

Pemerintah Kalah!

Pemerintah Kalah!

Hikmahanto Juwana  ;   Guru Besar Hukum Internasional
Fakultas Hukum Universitas Indonesia
KORAN SINDO, 04 April 2014
                                      
                                                                                         
                                                             
Pemerintah akhirnya bersedia membayar uang diyat yang diminta oleh keluarga korban pembunuhan yang dilakukan Satinah. Tentu kita patut bersyukur karena nyawa Satinah terselamatkan dari hukuman pancung. Menjadi pertanyaan, apakah apa yang dilakukan pemerintah telah tepat?

Preseden Buruk

Lagi-lagi pemerintah telah membuat preseden buruk untuk melakukan pembayaran diyat setelah pada tahun 2011 membayar diyat terpidana mati Darsem. Kali ini memang ada sedikit bedanya, uang yang digunakan tidak semata-mata dari APBN, tetapi dari sejumlah sumbangan termasuk dari masyarakat. Pemerintah telah meninggalkan preseden buruk bagi pemerintahan yang akan datang. Siapa pun yang akan menjadi pemerintah akan dalam posisi dilematis. Bila tidak membayar uang diyat maka seolah kinerja mereka dinilai buruk dibandingkan kinerja pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono (SBY).

Bila mereka membayar, pertanyaannya berapa besar diyat yang akan dimintakan oleh keluarga korban bila kali ini sudah hampir empat kali uang yang dikeluarkan untuk menebus nyawa Darsem. Pemerintah sebenarnya tahu, sebagaimana diungkap oleh Menteri Koordinator Politik Hukum dan HAM Djoko Suyanto, bahwa di belakang tuntutan diyat ada mafia. Pemerintah juga tahu bahwa pemerintah Arab Saudi telah menetapkan batas maksimum untuk pembayaran diyat. Namun, pemerintah telah mengabaikan ini semua karena ingin menyelamatkan nyawa Satinah.

Pertanyaannya apakah benar nyawa Satinah yang hendak diselamatkan? Ataukah ada motivasi lain di tahun politik ini yang tidak terlalu lama lagi akan dilakukan pemilu legislatif? Apakah ini upaya untuk meningkatkan elektabilitas dari partai berkuasa? Semua jawaban tentu hanya di para pengambil keputusan. Pembayaran diyatoleh pemerintah dilakukan, meski Presiden SBY sebagai kepala pemerintah tertinggi beberapa waktu lalu meminta masyarakat untuk mempertimbangkan aspek keadilan bila jumlah diyat yang fantastis harus ditanggung oleh pemerintah.

Menjadi pertanyaan apakah tidak ada koordinasi antara Presiden dan para pembantunya saat diputuskan pemerintah membayar diyat Satinah? Lebih janggal lagi dalam pembayaran diyat, pemerintah telah mengambil posisi sebagai pengacara dan keluarga Satinah dengan melakukan negosiasi ke keluarga korban. Negosiasi dan pembayaran seharusnya dilakukan oleh Satinah sebagai pelaku kejahatan ataupun keluarga Satinah. Dalam konsep diyat, hubungan antara pelaku kejahatan dan keluarga korban merupakan hubungan kontraktual. Dalam konsep tersebut, tidak seharusnya pemerintah mengambil peran.

Dengan membayar diyat maka pemerintah telah menumbuhsuburkan komersialisasi diyat dengan mafianya. Bahkan, pemerintah seolah mengambil jalan pintas dan mudah bagi pembebasan Satinah. Padahal, orang bersalah meski derajatnya sangat rendah, seharusnya tetap menjalani hukuman. Dengan pembayaran diyat maka seolah kejahatan yang pernah dilakukan serta-merta hapus. Apakah publik akan mengapresiasi tindakan pemerintah dengan pembayaran diyat? Belum tentu. Publik bisa saja menghukum keputusan tidak tepat dari pemerintah melalui pemilihan legislatif.

Dalam koridor demokrasi, adalah sangat mungkin kemarahan publik disalurkan dengan tidak memilih kembali partai berkuasa. Ke depan, siapa pun yang menjadi pemerintah kelak harus melakukan lima langkah penting terkait diyat. Pertama, pemerintah tidak boleh lemah, mudah tunduk, dan menyerah terhadap apa pun tuntutan dari pemeras, teroris, ataupun pelaku kejahatan. Rakyat Indonesia menginginkan pemerintah yang kuat, cerdas, dan tidak lembek. Kedua, pemerintah harus berkomunikasi dengan pemerintah Arab Saudi atas fenomena pemerasan melalui diyat.

Setelah Satinah, ada lebih dari tiga puluh orang yang menanti hukuman pancung. Adalah tidak mungkin bila pemerintah harus menjadi kasir bagi pembayaran diyat. Pemerintah yang akan datang harus dapat ìmemaksaî pemerintah Arab Saudi menetapkan batas maksimum diyat. Bila pemerintah Saudi tidak melakukannya, pemerintah akan melarang pengiriman tenaga kerja Indonesia (TKI) ke Arab Saudi. Ketiga, para perusahaan pengerahan tenaga kerja harus gencar menyosialisasikan kepada para calon TKI untuk tidak menggunakan kekerasan, apalagi membunuh bila mereka dianiaya atau dizalimi oleh para majikan.

Keempat, pemerintah harus menyosialisasikan nomor kontak perwakilan Indonesia terdekat kepada para TKI. Maka ketika mereka mendapatkan perlakuan tidak wajar dari para majikan, mereka dapat melakukan kontak kepada perwakilan Indonesia. Ini termasuk bila mereka sedang menghadapi proses hukum. Bila perlu, pemerintah harus membangun sistem cell di mana para TKI dapat berhubungan satu sama lain. Ini penting agar ketika TKI sedang menghadapi kesulitan dan enggan untuk mengontak perwakilan, mereka dapat mengontak temannya.

Temannya inilah yang akan mengontak perwakilan. Terakhir, pemerintah harus menghukum para TKI ilegal ataupun orang-orang yang memfasilitasi para TKI ilegal. Mereka harus dibuat jera. Hal ini karena TKI ilegal ketika mendapat kesulitan akan enggan untuk berhubungan dengan perwakilan Indonesia karena statusnya yang ilegal. Padahal bila mereka tidak mendapat pendampingan dan menerima hukuman mati, pemerintahlah yang akan kerepotan. Satu hal yang pasti, pemerintah yang baru tidak boleh mengulang preseden buruk pemerintahan sekarang yang mengambil jalan pintas penyelamatan WNI terhukum mati dengan membayar diyat. Pemerintah sekarang telah kalah dengan tuntutan pemeras!

Dugaan Saja Dapat Merampas Aset Tindak Pidana

Dugaan Saja Dapat Merampas Aset Tindak Pidana

Romli Atmasasmita  ;   Peneliti pada Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI),
Dosen Program S-3 Ilmu Politik pada Universitas Nasional
KORAN SINDO, 04 April 2014
                                      
                                                                                         
                                                             
Di masa pemerintahan SBY sejak berlakunya UU RI Nomor 8 Tahun 2010 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang (TPPU), terutama tindak pidana korupsi (TPK) yang merupakan salah satu ”predicate offense”; dugaan harta kekayaan berasal dari tindak pidana, dapat dirampas, jika terdakwa tidak dapat membuktikan harta kekayaannya tidak terkait tindak pidana.

Praktik hukum pembuktian terbalik terhadap seseorang yang diduga telah melakukan tindak pidana, sekalipun telah diperkuat yurisprudensi bukan jaminan bahwa kepastian hukum dan keadilan telah selesai tuntas. Pasalnya, telah tersedia upaya hukum PK lebih dari satu kali sebagai upaya hukum untuk menemukan kebenaran dan keadilan. Mengapa kemungkinan tersebut terbuka lebar? Masalahnya, jika dalam satu UUterdapat dua ketentuan yang bertolak belakang dan bersifat multitafsir, UU tersebut jelasjelas bertentangan dengan asas legalitas yang di dalamnya meliputi: lex scripta, lex certa, dan lex stricta.

Pasti siapa pun yang pernah belajar hukum pidana sejak semester pertama sudah harus mengetahui dan memahaminya, apalagi ahli hukum pidana. Bayangkan pertentangan itu nyata, di mana UU TPPU 2010 telah mewajibkan terdakwa membuktikan bahwa harta kekayaannya tidak ada kaitan dengan tindak pidana yang didakwakan. Sementara dalam UU itu juga ditegaskan bahwa penuntut (negara) tidak wajib membuktikan tindak pidana asal (predicate offense). Yang benar, seharusnya penuntut (negara) tidak wajib membuktikan asal-usul harta kekayaan yang diduga berasal dari tindak pidana karena setiap sen harta kekayaannya yang paling mengetahui adalah ”pemiliknya” (terdakwa).

HukummenurutHansKelsen dan diakui oleh ahli hukum Indonesia sejak Moelyatno sampai ahli hukum pidana saat ini, bahwa hukum merupakan sistem norma dan logika (system of norms and logic). Dalam konteks pembuktian terbalik di atas, bagaimana pertanggungjawaban pembentuk UU dan ahli hukum yang mendukung UU TPPU 2010 tersebut jika seorang terdakwa tidak harus mengetahui kesalahannya atas tindak pidana yang didugakan kepadanya, tetapi terdakwa itu sendiri harus membuktikan ada keterkaitan harta yang dimilikinya dan diduga dari tindak pidana yang tidak pernah dibuktikan oleh penuntut?

*** Konflik norma di dalam UU TPPU 2010 tersebut pantas dan layak diajukan uji materiil karena bertentangan dengan Pasal 28 D ayat (1) UUD 1945. Dalam pasal tersebut ditegaskan bahwa ”setiap orang berhak atas pengakuan, jaminan, perlindungan dan kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama di hadapan hukum”.Penyusun UUD 45 saja telah memandatkan pada penyelenggara negara, DPR, pemerintah, dan lembaga penegak hukum; agar memberikan jaminan menegakkan kepastian hukum yang adil. Artinya harus didahulukan menemukan kepastian hukum, tetapi kepastian hukum itu harus sesuai dengan nilai keadilan yang menjadi tujuan dari pembentukan UU tersebut.

Kedudukan norma dalam UUTPPU 2010 tidak memberikan jaminan kepastian hukum yang adil, apalagi jaminan pengakuan, perlindungan, dan perlakuan yang sama di depan hukum. Dalam praktiknya, terdakwa juga wajib membuktikan harta kekayaannya yang tidak ada kaitan dengan tindak pidana yang didakwakan kepadanya, seperti dalam perkara Bahasyim, Wa Ode, dan Djoko Susilo. Praktik penerapan pembuktian terbalik tersebut nyata dan terang benderang diberlakukan surut (retroaktif) sampai sebelum terdakwa menduduki jabatan, yang mana ia didakwa telah menyalahgunakan kewenangan, kesempatan, atau sarana yang ada padanya karena jabatan atau kedudukannya.

Kekeliruan majelis hakim pengadilan tipikor yang saya anggap fatal adalah bahwa telah diperintahkan kepada terdakwa untuk membuktikan pula, bahwa harta kekayaan yang tidak terkait tindak pidana dan sangat signifikan adalah berasal dari penghasilannya yang sah. Perintah majelis hakim tersebut identik dengan bunyi ketentuan dalam Konvensi PBB Antikorupsi 2003 (UNCAC 2003), yaitu larangan illicit enrichment (tindak pidana memperkaya diri sendiri secara tidak sah). Konvensi tersebut telah diratifikasi, tetapi belum pernah diundangkan sampai saat ini baik dalam UU Tipikor 1999/2001 maupun UUTPPU 2010. Majelis Hakim Pengadilan Tipikor telah mengabaikan asas hukum pidana, ”actus non facit reum, nisi mens sit rea”.

Artinya tidak ada satu perbuatan yang dapat dipidana, kecuali atas kekuatan peraturan perundang- undangan pidana sebelum perbuatan itu dilakukan! Bayangkan saja betapa zalimnya negara saat ini ketika terhadap terdakwa dituntut dan dihukum atas perbuatan yang didakwakan kepadanya, tetapi tidak ada satu pun ketentuan UU yang telah mengatur perbuatan yang didakwakan dan dituntut tersebut. Korban-korban sesat penafsiran hukum juga terjadi pada penerapan ketentuan Pasal 5 UU TPPU Tahun 2010, atau TPPU pasif, yang telah dipelintir oleh mereka yang mengaku ”ahli TPPU” di Indonesia. Mereka mengatakan, bahwa siapa pun yang menerima sejumlah uang atau harta dapat dipidana karena termasuk dengan TPPU pasif, sekalipun yang bersangkutan tidak mengetahui bahwa uang dan harta tersebut berasal dari tindak pidana.

*** Tafsir hukum atas Pasal 5 UU TPPU 2010 tersebut telah mengabaikan penjelasan pasal 5 itu sendiri yang menegaskan arti ”patut diduga atau mengetahuinya”: ” yang dimaksud dengan ”patut diduganya” adalah, suatu kondisi yang memenuhi setidak-tidaknya pengetahuan, keinginan, atau tujuan pada saat terjadinya transaksi yang diketahuinya yang mengisyaratkan adanya pelanggaran hukum”. Penjelasan ini menunjukkan bahwa untuk ditetapkan sebagai pelaku TPPU pasif maka pelaku harus telah memenuhi ”mens-rea”; mengetahui ada transaksi yang melanggar hukum, dan ada keinginan serta tujuan terdakwa untuk menikmati hasil suatu kejahatan.

Adalah suatu kekeliruan tafsir hukum yang fatal dan menyesatkan jika pelaku TPPU pasif dapat ditujukan terhadap siapa saja tanpa sama sekali mempertimbangkan ”mens-rea” (niat jahat) yang melekat pada dirinya. Jika kekeliruan penerapan hukumterusdilaksanakantanpa koreksi, dalam penerapan UU TPPU 2010 telah terjadi ”misscarriage of justice’ (Nigel Walker). Dalam sistem peradaban hukum modern, tidak termasuk di negeri ini, peristiwa tersebut sudah tentu tidak akan memperoleh tempat yang dihormati.

Karena pandangan masyarakatnya tentang ”the rule of law”, dan dengan tingkat kesadaran hukum yang tinggi, tidak akan mudah terkesima hanya dengan langkah-langkah spektakuler aparatur hukum karena bagi masyarakat di negara maju, hak asasi yang dijamin dalam konstitusi telah diakui dan dipahami merupakan ”the supreme law of the land”. Konstitusi bagi masyarakat negara maju merupakan satu-satunya jaminan terakhir bagi perlindungan hak asasi dalam suatu negara berdaulat bebas dari penjajahan bangsa lain. Hal ini telah dibuktikan dalam kasus seorang tunawisma, Gideon, yang telah dibebaskan oleh MA Amerika Serikat, karena seorang polisi ketika menangkap dan menahan Gideon tidak membacakan hak-haknya (Miranda rules).

Kasus Gideon justru terjadi pada sistem peradilan pidana yang tidak mengenal bahkan mengakui Pancasila sebagai ideologi sekaligus sumber nilai-nilai kehidupan bangsanya, tetapi memuliakan dan menjunjung tinggi nilai ketuhanan dan nilai perikemanusiaan yang adil dan beradab serta menjaga dan melaksanakan prinsip ”due process of law” yang telah diakui secara universal. Saya tetap mengharapkan dan selalu berdoa bahwa penegakan hukum di negara ini akan sampai pada penghormatan hak asasi setiap warga negaranya oleh setiap aparatur hukumnya, tanpa memandang kaya dan miskin dan perbedaan status hukum, sosial dan politiknya.

Mencalang Kinerja DPRD

Mencalang Kinerja DPRD

Syarif Hidayat  ;   Peneliti pada Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI),
Dosen Program S-3 Ilmu Politik pada Universitas Nasional
KORAN SINDO, 04 April 2014
                                      
                                                                                         
                                                             
”Teliti sebelum membeli”, itulah pepatah tempo dulu, yang masih sangat relevan digunakan dalam memindai para calon anggota legislatif (caleg) pada pemilihan umum (pemilu) mendatang. Sebagaimana diketahui, tujuan utama dari pemilu legislatif (pileg) adalah untuk memilih para wakil rakyat yang akan menduduki kursi di DPRD kabupaten/kota, provinsi, DPR RI, DPD RI.

Sejauh ini telah cukup banyak tulisan yang diturunkan oleh para kolega— mulai dari menggunakan metafora ”politisi busuk”sampai dengan ”politisi hitam”—untuk mengingatkan masyarakat agar berhati-hati dalam memilih caleg pada pemilu mendatang. Dengan semangat yang sama, tulisan pendek ini akan lebih memfokuskan perhatian dalam ”mencalang ”(meninjau) kinerja DPRD pada kurun waktu empat tahun, untuk selanjutnya dijadikan sebagai asupan dalam memindai para caleg mendatang sehingga tidak salah dalam ”membeli”.

Peran DPRD

Secara teoretis, tiada kesangsian bahwa DPRD memiliki peranan penting dalam upaya mewujudkan tatanan pemerintahan yang demokratis di daerah. Dikatakan demikian karena sebagai lembaga legislatif daerah maka salah satu fungsi utama dari DPRD adalah menciptakan checks and balances terhadap lembaga eksekutif yang dipimpin oleh kepala daerah. Begitulah kira-kira logika teoritis dan justifikasi akademis menurut trias politica. Spirit ini pula sejatinya yang telah mendasari reformasi peran DPRD dalam UU Pemerintahan Daerah pertama pasca Orde Baru (UU No. 22 Tahun 1999).

Secara tegas disebutkan bahwa DPRD adalah lembaga legislatif daerah, atau bukan lagi sebagai lembaga komplementer bagi eksekutif daerah, sebagaimana diatur pada UU Pemerintahan Daerah Orde Baru (UU No 5 Tahun 1974). Untuk itu, tiga fungsi utama pun dilekatkan pada DPRD, yaitu fungsi legislasi, fungsi pengawasan, dan fungsi anggaran. Melalui tiga fungsi ini, DPRD diharapkan akan mampu melakukan pengawasan dan menciptakan ”perimbangan kekuasaan”( vis-a-vis eksekutif) dalam penyelenggaraan pemerintahan daerah.

Namun demikian, tercapainya ekspektasi tentang fungsi DPRD tersebut tentunya tidak cukup hanya dengan adanya pernyataan legal-formal pada UU, tetapi juga harus didukung oleh kualitas sumber daya manusia dari anggota DPRD itu sendiri. Data Indeks Demokrasi Indonesia (IDI) yang dipublikasikan oleh menko polhukam, BPS, dan Bappenas, bekerja sama dengan UNDP, sangat banyak mengindikasikan bahwa ”masih jauh panggang dari api” terkait dengan ekspektasi dan realisasi fungsi DPRD tersebut. Satu di antara lima variabel pada aspek lembaga demokrasi dalam IDI adalah peran DPRD.

Empat variabel lainnya adalah: pemilu yang bebas dan adil; peran partai politik; peran birokrasi pemerintah daerah; dan peradilan yang independen. Data IDI empat tahun terakhir (2009- 2012) menunjukkan bahwa peran DPRD merupakan variabel yang memiliki capaian kinerja paling buruk. Pada tahun 2009, capaian indeks variabel Peran DPRD (rata-rata 33 provinsi) adalah 38,3. Kemudian mengalami kenaikan pada tahun 2010 dan 2011, yaitu 42,89 dan 47,39. Tetapi pada tahun 2012 mengalami penurunan capaian indeks yang cukup signifikan, yaitu hanya sebesar 35,53.

Pertanyaannya kemudian adalah, apa faktor penyebab dari buruknya kinerja Peran DPRD tersebut? Dalam dimensi kuantitatif, jawaban atas pertanyaan ini dapat dijelaskan oleh rata-rata (tahun 2009–2012) capaian skor empat indikator yang digunakan dalam mengukur Peran DPRD di 33 provinsi, sebagai berikut: 43,94 untuk Peran DPRD dalam Alokasi Anggaran Pendidikan; 70,97 untuk Peran DPRD dalam Alokasi Anggaran Kesehatan; 11,01 untuk Peran DPRD dalam menghasilkan Perda Inisiatif; dan7,22 untuk Peran DPRD dalam menghasilkan Rekomendasi Kepada Eksekutif.

Dalam narasi kualitatif, distribusi capaian skor empat indikator di atas mengindikasikan bahwa kinerja Peran DPRD dalam memperjuangkan alokasi anggaran kesehatan termasuk pada kategori baik. Namun sebaliknya, terjadi pada kinerja peran DPRD dalam memperjuangkan alokasi anggaran pendidikan, termasuk pada kategori buruk. Sementara kinerja peran DPRD dalam menghasilkan perda inisiatif dan rekomendasi kepada eksekutif, kedua- duanya termasuk pada kategori sangat buruk. Kecenderunganini, tentunya, sangat memprihatinkan karena fakta menunjukkan telah terjadi diskrepansi yang sangat besar antara tuntutan fungsi yang seharusnya dilakukan oleh DPRD dan kenyataan yang terjadi.

Buruknya kinerja DPRD dalam memperjuangkan alokasi anggaran pendidikan mengisyaratkan bahwa dalam kurun waktu empat tahun terakhir, para anggota dewan yang terhormat itu belum sepenuh hati memiliki komitmen dalam memperjuangkan salah satu kebutuhan dasar dari masyarakat yang diwakilinya. Preposisi yang sama juga berlaku dalam menjelaskan makna tersirat dari ”sangat buruknya” kinerja DPRD dalam menghasilkan perda inisiatif dan rekomendasi kepada eksekutif.

Kenyataan ini mengindikasikan bahwa berbagai aspirasi yang disampaikan oleh masyarakat—baik ketika anggota DPRD melakukan kunjungan lapangan, pada waktu masyarakat hearing, maupun ketika berdemonstrasi— hampir dipastikan tidak banyak ditindaklanjuti . Disadari atau tidak, bahwa buruknya kinerja DPRD dalam dua hal tersebut telah berkontribusi terhadap ”penyumbatan” saluran hak-hak politik warga. Akibatnya, tidak mengherankan jika kemudian masyarakat telah memilih jalan pintas dengan lebih banyak mengekspresikan aspirasinya dalam bentuk tindak kekerasan, atau bahkan cenderung anarki.

Teliti Sebelum Membeli

Dengan tidak menutup mata terhadap sejumlah faktor struktural yang juga telah memberi andil terhadap pelemahan peran DPRD, penulis tetap berkeyakinan bahwa kualitas sumber daya manusia—khususnya terkait dengan kompetensi, dan komitmen politik—anggota DPRD itu sendiri merupakan faktor penentu bagi capaian kinerja DPRD sebagai lembaga legislatif. Dengan asumsi seperti ini, sangat beralasan bila ditegaskan bahwa pileg mendatang merupakan momen yang sangat penting dan menentukan dalam memindai sumber daya manusia para calon wakil rakyat yang akan duduk di DPRD.

Sebagai warga negara pemilik kedaulatan, kita tentunya sepakat untuk tetap mempertahankan keberadaan dan mengoptimalkan fungsi dari DPRD sebagai lembaga legislatif. Namun, kita juga tidak ingin terus mengamini realitas yang terjadi, di mana pemilu cenderung hanya dijadikan sebagai ”kuda trojan” bagi para politisi untuk menuai legitimasi politik dan untuk ”mempurifikasi” perolehan kekuasaan melalui mekanisme demokrasi (Weber, 1947; Michel, 1962).

”Teliti sebelum membeli” agar tidak terperosok pada lubang yang sama, itulah barangkali terminologi yang paling pas digunakan dalam menilik para calon anggota DPRD yang akan berkompetisi pada pileg mendatang. Jangan pilih para ”pialang politik”—baik caleg incumbent maupun baru—yang hanya tebar pesona dan janji mulia untuk menuai suara, namun tidak berisi. Para politisi seperti ini, tidak lebih seperti bunga dadap, merah merona tetapi tidak beraroma.

PR Pertanian untuk Presiden Baru

PR Pertanian untuk Presiden Baru

Muhammad Firdaus  ;   Guru Besar Fakultas Ekonomi dan Manajemen IPB
MEDIA INDONESIA, 04 April 2014
                                      
                                                                                         
                                                             
TIDAK banyak negara besar di dunia yang masih menggantungkan ekonominya pada pertanian. Sebagian besar pemain utama dalam perdagangan pertanian dunia, seperti AS, Tiongkok, dan India, kontribusi pertanian mereka terhadap total nilai ekspor sudah di bawah 10%. Kecuali Brasil dan Argentina. Pangsa pertanian kedua negara itu masih sangat tinggi. Adapun nilai ekspor pertanian Indonesia (di luar hasil hutan kayu dan nonkayu) pada 2013 mencapai Rp415 triliun, yang berarti 20% dari total nilai ekspor Indonesia. Dengan nilai produk pertanian yang diimpor Rp157 triliun, berarti dari sektor pertanian masih bisa ditabung sejumlah besar devisa; saat neraca perdagangan Indonesia mengalami defisit hampir Rp50 triliu sepanjang 2013.

Komisi Uni Eropa saat ini masih mencatat Indonesia sebagai salah satu dari delapan negara terbesar di dunia termasuk EU-27, dari indikator nilai perdagangan luar negeri produk pertanian. Sampai sekarang pun Indonesia masih diakui sebagai penghasil nomor satu dunia untuk beberapa komoditas perkebunan seperti kelapa sawit, cengkih, panili, kulit manis; nomor dua untuk kelapa, karet, dan cokelat; serta masih menempati peringkat minimal empat teratas untuk lada, kopi, dan berbagai jenis tanaman biofarmaka (EU Commission report dan Wikipedia). Beberapa negara seperti Vietnam dan Tiongkok belakangan muncul sebagai pengekspor terbesar beberapa komoditas pertanian di pasar dunia, sebagai salah satu dampak membuka diri terhadap perdagangan global sejak awal 1990-an.

Masalah utama

Sensus BPS 2013 melaporkan sekitar 26 juta lebih rumah tangga berusaha di sektor pertanian. Artinya, ada lebih dari 100 juta orang menggantungkan hidup langsung dari komoditas pertanian--jumlah yang harus menjadi konsideran utama dalam membuat program pembangunan, siapa pun yang akan memimpin Indonesia. Separuh lebih dari rumah tangga pertanian tersebut menguasai lahan kurang dari setengah hektare; dengan luas lahan yang digarap setiap petani Indonesia saat ini tidak sampai sepertiga dari rata-rata penguasaan lahan petani di dunia.

Petani dengan penguasaan lahan kecil biasanya bersifat risk-averter atau tidak berani mengambil risiko, memiliki keterbatasan akses pembiayaan dan pasar, relaktan terhadap perkumpulan atau organisasi, serta tidak memiliki perencanaan produksi dengan jangka waktu lebih dari sebulan. Akibatnya, tidak mudah untuk meningkatkan produktivitas dan nilai tambah pertanian Indonesia. Ditambah dengan lemahnya infrastruktur penunjang seperti masih buruknya jaring an irigasi, jalan perde saan, bahkan industri penghasil agriculture tools yang penting dalam upaya modernisasi pertanian.

Persoalan lain yang dihadapi ialah rendahnya nilai tambah per kapita petani Indonesia, yang setara dengan Thailand, tapi masih sepersepuluh Malaysia. Contoh yang sangat baik dalam implementasi strategi hilirisasi ialah Brasil. Saat ini Brasil mengekspor sejumlah besar etanol dengan bahan baku tebu ke AS. Sebaliknya Brasil juga mengimpor etanol berbasis jagung dari AS. Nilai ekspor etanol yang masih tiga kali dari nilai impornya menghasilkan surplus perdagangan yang besar dengan AS. 

Untuk Indonesia yang mayoritas kelapa sawitnya diekspor dalam bentuk pengolahan minimal, sudah ada goodwill untuk pengembangan kawasan industri di Maloy, Kaltim atau Sei Mangke, Sumut. Dukungan pembangunan infrastruktur dari pemerintah diperlukan segera sehingga swasta mau masuk.

Kemandirian pangan

Kemandirian dan kedaulatan pangan merupakan dua isu yang mulai mengemuka sejak disahkannya UU Pangan 2012. Dari sisi kemandirian pangan, bila mengacu pada statistik Bank Dunia, Indonesia sebenarnya relatif lebih baik jika dibandingkan dengan negara ASEAN lain dari sisi ketergantungan terhadap impor pangan pokok utama (cereal). Rata-rata seluruh negara di dunia mengimpor 15% makanan pokoknya. Dari angka yang dipublikasikan, Indonesia mengimpor sekitar 10%, yang hampir sama dengan kondisi Thailand, tetapi jauh lebih baik dari Malaysia bahkan Filipina. Memang India, Tiongkok, dan Argentina merupakan contoh negara yang paling rendah memasok pangan pokok utama dari luar negeri. Namun, negara pertanian lain di belahan Amerika Latin memiliki ketergantungan rata-rata sekitar tiga kali Indonesia.

Sering diperbincangkan di media untuk beberapa komoditas seperti jagung dan kedelai, dua komoditas yang memiliki nilai impor pangan tertinggi setelah gandum, Indonesia harusnya mempunyai peluang untuk memasok lebih banyak dari dalam negeri. Memang potensi peningkatan produktivitas keduanya masih terbuka, baik untuk di Jawa khususnya melalui penggunaan benih-benih unggul temuan baru para pakar maupun optimalisasi pemanfaatan lahan kering dan marginal di luar Jawa. 
Namun, harus disadari di luar negeri, terutama di Amerika Latin termasuk Filipina, produsen jagung dan kedelai menggunakan varietas transgenik (GMO) yang sampai saat ini belum mendapat ratifikasi dari Kementerian Pertanian.

Pernah penulis bersama Monshanto mengkaji secara komprehensif kemungkinan penggunaannya di Indonesia, sampai pada kesimpulan; memang belum ada kajian pasti tentang dampak buruk terhadap kesehatan. Namun, pertimbangan kehati-kehatian terhadap kemungkinan dampak negatifnya terhadap keseimbangan ekologi menjadi alasan utama sikap pengambil kebijakan, sehingga saat ini upaya menggeser ke penggunaan benih hibrida masih menjadi fokus utama. Ini contoh kecil kedaulatan pangan yang harus dipertahankan.

Isu lain yang sering berkembang di masyarakat ialah tentang maraknya impor hortikultura. Karena dikonsumsi langsung oleh konsumen sehingga di-display di sepanjang jalan dan pasar modern, impor produk hortikultura terkesan merepresentasikan kegagalan dalam mewujudkan kemandirian pangan Indonesia. 

Padahal nilai total impor sayur dan buah Indonesia 2013 sebenarnya sekitar seperdelapan total impor produk pertanian. Selain itu, dari sayur dan buah yang dikonsumsi, diestimasi sekitar 25%-30% total volume yang dipasok dari impor. 

Memang pemanfaatan lahan oleh petani hortikultura masih belum optimal. Produktivitas masih bisa dinaikkan secara signifikan. Diperkirakan, belum sampai 50% petani yang menerapkan standar baku budi daya (SOP). Selain itu, kepastian harga saat petani panen menjadi harapan yang belum sepenuhnya terpenuhi. Terutama saat pemerintah membuka keran impor manakala harga produk melewati batas referensinya. Padahal UU No 19/2013 tentang Perlindungan dan Pemberdayaan Petani me negaskan bahwa pemerintah harus menjamin pasar bagi produk yang dihasilkan petani.

PR presiden

Peluang penerapan tarif tertinggi (bound-tariff) serta pemanfaatan waktu genjatan senjata (peace-clause) selama 4 tahun ke depan sebagai hasil konferensi WTO di Bali tahun lalu merupakan contoh kesempatan yang harus dimanfaatkan dengan baik oleh Indonesia untuk meningkatkan kemandirian pangan, khususnya untuk hortikultura yang bisa didorong kinerjanya dalam waktu relatif lebih cepat.

Keberanian DPR menetapkan batas maksimum produksi benih dari perusahaan asing sebesar 30% dengan UU Hortikultura 2010 merupakan contoh lain kedaulatan pangan yang sedang menunggu keberanian pemerintah untuk mengimplementasikannya.
Kelompok komoditas lain yang mendominasi impor pertanian Indonesia ialah peternakan. Saat ini lebih dari 90% susu yang diolah perusahaan (multinasional) di dalam negeri bahan bakunya diimpor. Peningkatan impor memang signifikan terjadi sejak mulai turunnya tarif pada awal 1980-an.

Dalam membahas kondisi pangan nasional, sebenarnya apa saja dan berapa banyak kita harus mengimpor? Komoditas mana saja yang sebenarnya harus diperjuangkan baik di dalam negeri maupun pada forum global seperti WTO? Secara umum kriteria sudah banyak dirumuskan para ahli (Sawit; Simatupang; FAO), seperti indikator tingkat konsumsi domestik, penyerapan tenaga kerja dan kontribusi untuk pembangunan perdesaan. Dari naskah akademik yang disusun Fakultas Ekonomi dan Manajamen IPB untuk persiapan negosiasi Indonesia dalam MC-9 WTO di Bali lalu, setidaknya teridentifikasi lima komoditas yang dianggap paling strategis, yaitu beras, jagung, kedelai, gula, dan sapi.

Di luar lima komoditas tersebut, banyak produk pertanian yang saat ini konsumsi nasionalnya masih separuh atau kurang dari yang dianjurkan FAO, seperti susu dan produk peternakan lainnya, sayur serta buah.

Ke depan koordinasi lintas lembaga serta lintas pusat-daerah sangat diperlukan. Beban tersebut harus dipikul bersama. Dengan kekuatan perguruan tinggi, kementerian, LSM, dan pengusaha, diperlukan tangan yang kuat dan bijak dari seorang presiden untuk mengatasi persoalan klasik di negeri ini; koordinasi.
Keberpihakan penganggaran untuk sektor pertanian dan perdesaan juga tentunya bukan sekadar wacana.

Introspeksi dan Retrospeksi Pemilu

Introspeksi dan Retrospeksi Pemilu

Toeti Prahas Adhitama  ;   Anggota Dewan Redaksi Media Group
MEDIA INDONESIA, 04 April 2014
                                      
                                                                                         
                                                             
Dengan hitungan cepat (quick count), sekitar akhir minggu depan kita sudah mendapat gambaran partaipartai mana yang akan menang dalam Pemilu 2014. Saatsaat ini cara penghitungan itu masih menjadi kontroversi. Namun, kapan pun dan bagaimana pun hasilnya, publik tentu menanti-nanti hasil pemilu yang diharapkan akan berlangsung `jurdil', jujur dan adil.

Pemilu 2014, yang diawali dengan pemilihan anggotaanggota legislatif pada 9 April minggu depan, adalah pemilu ke-11 sejak Republik ini berdiri. Di masa Orde Lama, kita hanya satu kali menyelenggarakan pemilu, pada 1955, diikuti 29 partai politik dan individu. Di masa Orde Baru, kita menyelenggarakan 6 (enam) kali, diawali 1971, disusul lima kali berikutnya, mulai 1977, tiap lima tahun sekali; 1977, 1982, 1987, 1992 dan 1997. Lima pemilu yang terakhir itu disebut `Pemilu Orde Baru'. Di masa itu, partai-partai politik peserta pemilu mengalami fusi sesuai Undang-Undang (UU) Nomor 3 Tahun 1975. Fusi melahirkan dua partai politik; Partai Persatuan Pembangunan dan Partai Demokrasi Indonesia, ditambah dengan Golongan Karya. Asas pemilu disebut `Luber' (langsung, umum, bebas, dan rahasia).

Pemilu masa reformasi

Setelah Orde Baru runtuh, di bawah pemerintahan BJ Habibie pemilu pertama di masa reformasi berlangsung pada 1999. Jumlah partai politik peserta pemilu mekar kembali. Pemilu ke-8 itu diikuti 48 partai politik, dimenangi Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP) yang dipimpin Megawati Soekarnoputri sebagai ketua umum. Tetapi, yang menjadi presiden bukan Bu Mega, melainkan Abdurrahman Wahid dari PKB, sesuai ketetapan Sidang Umum 1999. Dalam voting Mega kalah tipis; 313 dibanding 373 untuk Gus Dur. Bu Mega kemudian menjadi wakil presiden. Persoalannya, pemilu waktu itu bertujuan memilih anggota MPR, DPR, dan DPRD. Pemilihan presiden dan wakilnya dilakukan MPR.

Megawati baru diangkat menjadi presiden setelah MPR mencabut mandat Gus Dur sebagai presiden, 23 Juli 2001. Megawati menjadi presiden ke-5 dan perempuan pertama yang menduduki jabatan kepresidenan Indonesia. Menurut Wikipedia, pemerintahannya ditandai dengan makin kuatnya konsolidasi demokrasi di Indonesia. MPR mengamandemen UUD `45 yang memungkinkan presiden dan wakil presiden dipilih langsung oleh rakyat. Itu dianggap salah satu keberhasilan proses demokratisasi di Indonesia.

Namun pada pemilu berikutnya, 2004, Bu Mega kalah (40%-60%) dari Susilo Bambang Yudhoyono, mantan menteri koordinator bidang politik dan keamanan RI pada masa pasangan dengan Muhammad Jusuf Kalla. Pilpres berlangsung dalam dua putaran karena tidak ada pasangan calon yang berhasil mendapatkan suara lebih dari 50%. Pilpres berikutnya, pada 2009, hanya berlangsung dalam satu putaran. 
Pasangan SBY-Boediono memenangi 60,80% suara, mengalahkan pasangan Megawati-Prabowo dan JK-Wiranto. Dalam Pemilu 2014 ini, tokoh-tokoh itu masih mengisi lembaran sejarah pemilu Indonesia, apakah sebagai pelaku yang bersaing atau sebagai king maker.

Kita menentukan masa depan

Bentuk kehidupan suatu masyarakat adalah paduan lingkungan teritorialnya dan bagaimana masyarakat itu mengorganisasi dirinya. Ekologi sosial memfokuskan perhatian pada hubungan antarmanusia dalam masyarakat, lingkungan hidupnya, dan kegiatan sosialnya. Pendekatan ekologis ini menegaskan bahwa sekalipun lingkungan memang penting artinya untuk mengubah perilaku manusia, tetapi pada akhirnya perilaku manusia itulah yang menentukan perubahan lingkungan sosialnya.
Itu antara lain pesan yang dapat kita petik dari mengikuti rekam jejak sederetan pemilu di Indonesia. Setiap pemilu diharapkan membawa peru bahan terhadap ekologi sosial berkat perilaku kita dalam mengorganisasi diri. Pada setiap pemilu kita mengangankan perubahan yang akan membawa masyarakat ke situasi ideal. Tetapi, bila mengikuti perkembangan masyarakat kita sekarang, rasanya masih jauh dari yang kita inginkan sesuai demokrasi yang kita kembangkan.

Ketika kita pindah dari Orde Lama ke Orde Baru, kemudian ke Orde Reformasi, kita mengharapkan akan terjadi pembangunan ekonomi demi kesejahteraan bersama, sekaligus kebebasan yang terukur. Dalam proses itu, ada unsur-unsur positif dalam masa perjuangan yang kita lalaikan; nasionalisme dan idealisme. Kebersamaan dan kegotongroyongan yang pada awal berdirinya Republik ini begitu kita banggakan, seakan tersisihkan kebutuhan pembangunan yang menuntut pragmatisme, kalau bukan individualisme.

Bila dalam masyarakat komunis/sosialis boleh dikata tidak ada persoalan adu-pressure, sebaliknya pasar bebas mengagungkan persaingan keras. Terjadi adu-pressure. Walaupun di satu sisi pertumbuhan ekonomi maju pesat, di lain sisi ketimpangan pun makin besar karena tidak semua rakyat Indonesia yang lebih dari 250 juta ini bisa bergerak serempak.

Itu rupanya inti tema kampanye yang dipilih kalangan politisi maupun partai-partai politik dalam Pemilu 2014. Mudah-mudahan itu bukan sekadar tong kosong yang ditabuh untuk mengumpulkan suara, tetapi pernyataan keyakinan untuk mengadakan perubahan. Jangan mayoritas konstituen yang selama ini ada di lapisan bawah mendapat mimpi hampa. Mudah-mudahan kita semua bisa menjadi saksi apakah Pemilu 2014 menghasilkan pemimpin-pemimpin mumpuni yang memiliki kemampuan dan moral tinggi. Kita semua, konstituen, bisa ikut menentukan. Hati-hati membuat pilihan.

Urgensi Pemilu Damai

Urgensi Pemilu Damai

Herdiansyah Rahman ;   Peneliti di Lembaga Analisa Politik dan Demokrasi (LAPD)
HALUAN, 04 April 2014
Artikel ini telah dimuat di DETIKNEWS 02 April 2014
http://budisansblog.blogspot.com/2014/04/urgensi-pemilu-damai_5.html
                                      
                                                                                         
                                                             
Jika tidak ada aral melintang, bangsa Indonesia akan melak­sana­kan Pemilu Legis­latif 2014 pada 9 April 2014, sedang­kan masyarakat Indonesia yang tinggal di luar negeri sudah menunaikan kewaji­bannya untuk memi­lih lebih awal pada 31 Maret 2014 yang lalu. Tentunya melalui pilihannya, masyarakat Indonesia sangat berharap dan merindukan adanya anggota-anggota legislatif yang benar-benar dapat mewakili aspirasi masyara­katnya, bukan anggota-anggota legis­latif yang sudah memiliki niatan jelek sebelumnya.

Memang banyak yang meragukan pelaksanaan Pemilu 2014 akan berjalan dengan aman, karena ada sejumlah masalah yang belum dapat ditangani secara secepatnya ataupun karena masalah-masalah tersebut terkait dengan irisan politik praktis yang semakin kental dan tajam mendekati 9 April 2014.

Ketua Dewan Kehor­matan Penyelenggara Pemi­lu (DKPP), Jimly Ashidiqie khawatir pemilihan umum legislatif dan presiden 2014 bakal diwarnai dengan kericuhan. Kekhawatiran ini diperkuat oleh munculnya sejumlah tulisan resmi yang menggambarkan keadaan tersebut. Jimly Ashidiqie menga­takan tidak pernah akan ada kudeta yang konsti­tusional,  sehingga mengim­bau masyarakat untuk tidak menggiring isu tersebut sehingga menjadi kenyataan, karena apa yang terjadi di Mesir, Ukraina dan Thai­land yang mengan­dal­kan militer dalam politik tidak akan terjadi di Indo­nesia, sehingga bangsa Indonesia harus memastikan Pemilu 2014 akan berjalan dengan aman dan lancar.

Menurut mantan Ketua Mahkamah Konstitusi ini, langkah yang perlu didorong adalah menghilangkan potensi golput di masyarakat, karena jika masyarakat masuk golput maka suara mereka akan digunakan oleh pihak-pihak tertentu untuk mencapai kehendak politik­nya, sehingga dapat ber­dampak buruk bagi kehi­dupan bangsa ke depan.

Penulis sepakat dengan pendapat Jimly Ashidiqie soal meminimalisir ancaman golput pada Pemilu 2014 sebagai prasyarat agar Pemilu dapat berjalan dengan damai, aman dan lancar bukan kisruh. Untuk dapat mela­ku­kannya, ma­ka langkah awal yang per­­lu se­ge­ra direa­lisa­sikan a­da­­lah meme­ta­kan kelom­pok-kelom­­pok yang selama ini a­kan ber­sikap golput pada Pe­milu 2014 melalui berbagai per­nya­taan atau sta­tement me­re­ka mela­lui pem­­­­­beri­taan media mas­sa, sosial media, se­lebaran, si­aran pers a­tau per­nyataan sikap dll.

Pernyataan kelompok-ke­lom­pok yang ke­mung­kinan be­sar akan gol­put pada Pemilu 2014 antara lain kelompok yang menya­takan bahwa Pemilu bisa menjadi ruang propaganda politik, pemilu juga bisa menjadi alat kekuatan untuk memperjuangkan melawan im­perialisme, karena kehad­iran asing sangat terkait dengan praktik-praktik kolonialisme.

Kedua, seruan boikot Pemilu 2014 yang dike­luarkan Mayjen Teria­nus Sato (Kepala Staf Umum Komando Nasional TPN-OPM). Dalam selebaran tersebut, TPN-OPM menye­rukan kepada seluruh rakyat Papua untuk tidak mem­berikan hak suaranya dalam Pemilu 2014, meminta PBB untuk mengadakan pemi­lihan bebas yang de­mok­­ratis di Papua untuk menentukan nasib rakyat Papua, rakyat Papua yang ikut memilih dalam Pemilu 2014 meru­pakan pengkhianat per­juangan bangsa Papua, dan meminta dunia internasional datang untuk melihat pelak­sanaan Pemilu 2014 di Papua guna melihat militer Indonesia memaksa rakyat Papua memilih. Sebelumnya di Kota Jayapura juga beredar seruan boikot Pemilu 2014 dari Benny Wenda (pemimpin OPM di Inggris) yang berisi antara lain, meminta Pemerintah Indo­nesia segera mening­galkan tanah Papua, meminta PBB untuk mengirim pasukan penjaga perdamaian untuk menggantikan militer Indo­nesia di Papua, meminta masyarakat internasional khususnya Amerika Serikat dan Belanda bertanggung jawab atas pelanggaran HAM di Papua, meminta PBB mengadakan refe­rendum di Papua.

Ketiga, kelompok yang menyatakan bahwa Indo­nesia telah mengalami penyimpangan sistem demok­rasi sehingga menim­bulkan berbagai konflik horizontal. Oleh karena itu, sistem demokrasi di Indonesia harus segera diganti dengan sistem khilafah Islamiyah. Mereka menyebarkan seruannya tersebut melalui media sosial (twitter, facebook, blogger dll). Mereka juga menya­takan, demokrasi adalah musuh Islam dan para penyelenggara demokrasi adalah musuh orang yang beriman. Selain itu, demok­rasi dinilai sumber perpeca­han dan pertikaian sesama bangsa, sehingga sistem demokrasi harus diganti dengan Syari’at Islam.

Kepada kelompok-kelom­pok yang berencana untuk mem­boikot Pemilu 2014 ataupun setidaknya tidak memilih atau golput, maka perlu diberikan pencerahan secara terus menerus mela­lui pemberitaan media massa yang sehat, pemikiran tokoh-tokoh masya­rakat ya­ng­ berim­bang dan ti­dak me­mi­­hak, pe­­nye­le­saian masa­lah-ma­sa­lah yang ma­sih meng­ganjal pe­­­lak­sanaan Pemilu 2014 sampai kepada mela­kukan pe­negakkan hu­kum secara proporsional jika di­temu­kan adanya kelompok-ke­lom­pok ter­ten­tu ­deng­an me­­ng­­­gu­nakan kekerasan berusaha untuk memboikot atau menggagalkan Pemilu 2014 atau melarang masya­rakat ke TPS-TPS, karena kelom­pok ini sebenarnya jelas ingin merusak negara.

Melorot dan Terpuruk

Indeks Demokrasi Indo­nesia (IDI) mengukur kebe­basan sipil, hak-hak politik dan lembaga demokrasi. Dari 3 aspek dibreakdown menjadi 11 variabel (kebe­basan berse­rikat dan ber­kum­pul, kebe­basan berpen­dapat, kebebasan berke­yakinan, kebebasan dari diskriminasi, hak memilih dan dipilih, partisipasi politik dalam pengam­bilan kepu­tusan dan pengawasan pe­­me­­rin­­tahan, Pemilu yang bebas dan jurdil, peran DPRD, peran parpol, peran birokrasi pemda dan pera­dilan yang independen). Dari hasil pengu­kuran IDI selama 2009-2012, tahun 2009 capai­an kinerja demokrasi Indo­nesia dengan indeks 67,30, 2010 turun menjadi 63,17, tahun 2011 menjadi 65,48 dan tahun 2012 men­jadi 62,63. Capaian IDI tersebut menunjukkan Indo­nesia dalam kategori demok­rasi berkinerja sedang. Sebanyak 27 propinsi berki­nerja sedang dan 6 propinsi berkinerja rendah. 5 indi­kator dari 28 indikator yang me­nyebabkan turunnya IDI tahun 2012 yaitu jumlah kekerasan atau penggunaan kekerasan oleh masyarakat yang meng­hambat kebe­basan berpen­dapat, kualitas daftar pemilih, jumlah demonstrasi/mogok yang bersifat keke­rasan, prosen­tase jumlah perda yang berasal dari hak inisiatif DPRD dan jumlah rekomen­dasi DPRD kepada eksekutif.

Provinsi yang menga­lami kenaikan indeks pada aspek kebebasan sipil pada 2012 yaitu DIY, Papua Barat, Lampung, Sulteng, Aceh, NTB, Papua, Kaltim, Sultra, Sulsel, Sumsel dan Jatim, sedangkan 21 pro­pinsi lainnya mengalami penurunan pada 2012. Propinsi yang tetap/naik indeks pada hak-hak politik pada 2012 sebanyak 19 daerah yaitu Jateng, NTB, Jabar, Sultra, Jambi, Sulteng, Papua Barat, DIY, NTT, Papua, Babel, Jakar­ta, Sulsel, Sulut, Sumsel, Gorontalo, Banten, Kaltim dan Maluku Utara. 

Sedang 14 propinsi mengalami penurunan indeks aspek hak-hak politik pada 2012. Propinsi yang meng­alami kenaikan indeks pada aspek lembaga demo­krasi pada 2012 seba­nyak 15 daerah yaitu Sum­bar, Bengkulu, Lampung, Babel, Jateng, Bali, NTB, NTT, Kalsel, Kaltim, Sulut, Sulteng, Sulbar, Maluku Utara dan Papua Barat, sedangkan 18 propinsi lainnya mengalami penu­runan.

Namun, jika pelak­sanaan Pemilu 2014 tidak berjalan dengan aman, lancar dan damai bahkan sempat ditan­dai dengan adanya asas­sination ter­hadap figur-figur capres tertentu, maka dapat di­pastikan Indonesia akan semakin melorot dan terpuruk, sehingga tidak menutup kemungkinan Indonesia akan diisolasi oleh masyarakat dunia, karena dinilai sebagai negara yang kurang beradab. Oleh karena itu, tidak ada alasan apapun juga: Pemilu 2014 harus diupa­yakan semak­simal mung­kin un­tuk ber­jalan dengan aman, lancar dan damai dengan et all cost.

Jumat, 04 April 2014

Gay marriage may not be contrary to Islam

Gay marriage may not be contrary to Islam

Faisal Kutty  ;   Assistant professor of law, Valparaiso University and Adjunct Professor of Law, Osgoode Hall; This article first appeared in The Huffington Post
JAKARTA POST, 04 April 2014
                                      
                                                                                         
                                                             
Can Muslims accept same-sex marriages? This has been a thorny question since the first jurisdictions began legalizing same-sex marriage. It took on a new urgency in the wake of the Defense of Marriage Act ruling from the US Supreme Court last June. Now, the heat is on as state courts continue to strike down same-sex marriage bans.

Islamic law, as interpreted today, unanimously classifies same-sex sexual activity as haram (prohibited). Islamic law encompasses fiqh (from pre-modern times to contemporary times) as well the state sanctioned derivatives and laws.

The prohibition is derived from the normative Islamic position that the institution of the family (preservation of which is one of the maqasid al Sharí’ah, higher objectives of the Shariah) created through marriage is the only sanctioned avenue for sex.

This policy objective is reinforced through comprehensive regulations found in classical fiqh, which is the human articulation of God’s will as expressed in the Shariah.

Under this public policy guise, homosexuality — as well as extra and pre-marital sex — are all outlawed ostensibly because they threaten the narrowly defined institution of family. Indeed, even the sexual space within marriage is further restricted through prohibitions against bestiality, anal intercourse (liwaat), masturbation, necrophilia and other such conduct considered unnatural.

The prohibition of the homosexual act is traced back to the biblical teachings against sodomy. Despite the unanimity on the prohibition, there are major disagreements on the criminalization of homosexuality, its categorization and even the punishment it should attract, if any.

Three of the four classical Sunni schools (Shafi, Hanbali and Maliki) classified liwaat as a hadd (serious crime against God with severe penalties including death) while the fourth (Hanafi) classified it as ta’zir (crime for which the state can exercise discretion in punishment).

A growing number of contemporary traditionalist Sunni and Shia scholars including Shaikh Mohamed El-Mochtar El-Shinqiti and Zaytuna College’s Shaikh Abdullah Bin Hamid Ali — while affirming the immorality of the act — assert that there is no temporal punishment stated in the two primary sources of Islamic law, the Koran and the Sunnah (teachings and sayings of the Prophet), for merely being homosexual. Prominent Iranian scholar Abdolkarim Saroush even notes that any persecution or discrimination on the basis of sexual orientation would be wrong.

Like the punishment for adultery and fornication, there is strong basis to argue, as many scholars have done, that the punishments are really for public indecency within the context of Muslim society.

In fact, this is reinforced by the fact that even in the classical Muslim era, evidence of homosexuals in Muslim lands abounded but with minimal instances of prosecution.

This may have been partly due to the combined effect of Islamic law’s strict evidentiary requirements and the prioritization and pre-eminence of privacy rights.

Though classical jurists deemed homosexual conduct immoral, they appear to have had a more sophisticated take on the issue.

Shaikh Hamid Ali in his The Homosexual Challenge to Muslim Ethics, documents how some jurists attempted to understand those who behaved effeminately (mukhannath) based on whether it was innate or by choice.

He quotes Shaikh Yahya b. Sharaf al-Nawawi (1277 CE) as writing that “there is no blame, censure, sin or punishment on this type [one acting out of natural inclination] because he is excused by virtue of having no hand in that condition”.

Shaikh Ali also refers to classical jurist, Hafiz Ibn Hajar al-Asqalaini (1448 CE) who cited Imam Ibn Jariri al-Tabari (922 CE) to conclude, that when men exhibited feminine characteristics due to their innate nature then rather than being condemned they should be taught to gradually unlearn thisn, because they may have been created this way.

Islamic law did not seek to regulate feelings, emotions and urges, but only its translation into action that authorities had declared unlawful. Indeed, many scholars — including prominent 11th century jurist Abu Muhammad Ali Ibn Hazm — even argued that homosexual tendencies themselves were not haram but had to be suppressed for the public good.

Though not what the LGBTQ community wants to hear, it reveals that even classical Islamic jurists struggled with this issue and had a more sophisticated attitude than many contemporary Muslims. Moreover, such fiqh works offer Muslims some lessons on how to live with differences.

A case in point is a ruling by Shaikh Ibn al Qayim al Jawziya, a prominent Hanbali jurist of the 14th century, who was asked whether the Muslim state should ban the Zoroastrian institution of self-marriage whereby men were encouraged to marry their mothers and sisters.

While affirming that this was unlawful and morally repugnant under Islamic law, Ibn al Qayim (a student of the puritanical Ibn Taymiyaa) ruled that the state could not ban this practice and that in fact the institution ought to be recognized under two conditions: 1) the matter is not brought to a Muslim court; and 2) the Zoroastrian community recognized self-marriage as a valid tradition.

Given the dynamism and sophistication inherent even in classical Islamic jurisprudence, it can be argued that there is plenty of room to accommodate differences within, particularly in a secular liberal democratic context. To make it workable though, both sides of this debate need to understand the other.

The question is not about legalizing sex outside of traditional marriage.

That ship sailed long ago. It left the port with the sexual revolution, and sailed off with the Supreme Court’s decision in Lawrence v. Texas; which effectively legalized consensual sex among adults.

Moreover, considering that most Muslims have no problem extending full human rights to those — even Muslims — who live together “in sin” (both homosexuality and sex outside of marriage is referred to as indecent — fahisha in Islamic law), it seems hypocritical to deny fundamental rights to same-sex couples.

Moreover, as Mohamed Fadel points out, this is not about changing Islamic marriage (nikah), but about making “sure that all citizens have access to the same kinds of public benefits”.

Similarly, same-sex advocates must accept that others cannot be forced to approve of what they sincerely believe is wrong. They can demand full constitutional entitlements, but not the right to dictate or interfere in the religious dogma of others.

The essence of religious freedom is that individuals and communities must have freedom to determine their core doctrinal beliefs and they must be tolerated in the public sphere. As Ronald Dworkin says:

“We can’t ask people to set aside their most profound convictions about the truth of deep moral and ethical issues when we are also asking them to make...the most basic and fundamental moral and ethical decisions.”