Selasa, 07 Februari 2012

Potensi Pajak Migas


Potensi Pajak Migas
Chandra Budi, BEKERJA DI DITJEN PAJAK, ALUMNUS PASCASARJANA IPB
Sumber : REPUBLIKA, 7Februari 2012


Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) 2012 diperkirakan mengalami defisit sebesar Rp 124 triliun atau mencapai 1,5 persen terhadap Produk Domestik Bruto (PDB). Untuk menutupi defisit ini, pemerintah berencana untuk membiayainya melalui utang luar negeri dan dalam negeri. Kondisi ini sebenarnya mengindikasikan bahwa pemerintah membutuhkan dana lebih banyak dari yang kemungkinan diperoleh untuk menjalankan program-programnya.

Walaupun pemerintah juga semakin mudah untuk memperoleh pinjaman, sebagai efek dari peningkatan investment grade, tetapi harus diakui bahwa instrumen pembiayaan melalui utang juga membebani APBN itu sendiri. Setiap tahun, APBN mengalokasikan lebih dari Rp 100 triliun untuk pembayaran utang, baik pembayaran jatuh tempo dan buyback Surat Berharga Negara (SBN) maupun pembayaran cicilan pokok pinjaman luar negeri.

Dengan kebutuhan belanja pembangunan yang sudah sangat terbatas, maka langkah penghematan pada sisi belanja sudah tidak relevan lagi. Mau tidak mau, pemerintah harus bergerak dari sisi penerimaan negara agar citacita mewujudkan kemandirian pembiayaan negara dapat terwujud. Meningkatkan penerimaan negara berarti secara tidak langsung meningkatkan penerimaan perpajakan. Kajian akademis menunjukkan, masih banyak potensi perpajakan yang belum tergali optimal. Langkah Ditjen Pajak dengan merilis tujuh langkah strategis pengamanan penerimaan perpajakan pada 2012 merupakan wujud nyata untuk menggapai kemandirian bangsa melalui kemandirian APBN. Salah satu langkah strategis tersebut adalah penggalian potensi pajak sektor Minyak dan Gas Bumi (migas).

Cost Recovery Sektor

Minyak dan Gas Bumi (migas) masih menjadi primadona dalam menyumbang penerimaan negara. Pada 2012, target penerimaan negara sektor migas mencapai Rp 220,4 triliun atau 16,8 persen dari target penerimaan negara sebesar Rp 1.311,4 triliun. Sebesar Rp 60,9 triliun berasal dari penerimaan pajak penghasilan (PPh) migas. Namun, karena keterbatasan akses dan minimnya data, maka pemerintah, termasuk Ditjen Pajak, mengalami kesulitan untuk menguji kebenaran besarnya nilai-nilai tersebut.

Dua komponen utama penerimaan migas berasal dari penerimaan bagi hasil migas dan penerimaan pajak penghasilan (PPh) migas atau pajak migas. Keduanya sangat tergantug kepada besaran nilai produksi migas yang dapat dibagi (equity to be split). Dengan asumsi besarnya produksi kotor (lifting) sudah benar, maka besar kecilnya equity to split tergantung pada besar kecilnya biaya yang dapat dikembalikan (cost recovery). Karena itu, titik kritis penerimaan negara sektor migas sebenarnya ada pada jenis dan jumlah biaya-biaya pembentuk cost recovery.

Sejak diterbitkannya peraturan pemerintah (PP) Nomor 79 Tahun 2010 tentang Biaya Operasi yang Dapat Dikembalikan serta Perlakuan Pajak Penghasilan di Bidang Usaha Hulu Minyak dan Gas Bumi atau dikenal dengan PP Cost Recovery. Maka, biaya-biaya pembentuk cost recovery sudah dibuat aturan mainnya. Prinsipnya, cost recovery harus memenuhi persyaratan bahwa biaya yang dikeluarkan memang digunakan untuk mendapatkan, menagih, dan memelihara penghasilan. Selain itu, biaya tersebut harus menggunakan harga wajar yang tidak dipengaruhi hubungan istimewa.

Aturan cost recovery kemudian dipertegas lagi dengan penetapan batasan maksimal untuk biaya pengeluaran kantor pusat dan biaya remunerasi tenaga kerja asing. Selain memperketat syarat bagi biaya pengeluaran kantor pusat untuk menjadi cost recovery, pemerintah juga menetapkan batasan paling tinggi dua persen dari biaya modal dan bukan modal untuk diklaim sebagai cost recovery. Sehingga, pemerintah dapat mengontrol melonjaknya cost recovery yang berasal dari pos ini.

Biaya remunerasi bagi tenaga kerja asing yang akan menjadi biaya dalam cost recovery perlu juga untuk dibatasi. Tidak menutup kemungkinan, cost recovery ini menjadi pusaran biaya (cost center) bagi perusahan-perusahan migas yang berada dalam satu grup. Yang paling mudah untuk dimanipulasi adalah biaya remunerasi tenaga kerja asing. Sudah mafhum bahwa tenaga kerja asing dalam suatu grup perusahan ruang lingkup tugasnya meliputi keseluruhan anak perusahaan. Seharusnya, tenaga kerja asing ini dibayar oleh induk perusahannya.

Akan tetapi, pada kenyataanya biaya gaji dan tunjangannya-yang sangat besar--dibebankan hanya pada salah satu anak perusahaanya saja. Parahnya lagi, ketika anak perusahan yang harus membayar remunerasi tersebut merupakan kontraktor kontrak kerja sama migas yang sedang menyiapkan laporan cost recovery. Pembatasan maksimum biaya remunerasi per golongan dan per negara, setidaknya juga bertujuan mengurangi risiko kemungkinan terjadinya manipulasi ini.

Dengan terbitnya aturan pelaksana pada sektor migas ini, Ditjen Pajak seharusnya sangat diuntungkan. Besaran cost recovery akan otomatis mendekati kondisi sebenarnya, jauh lebih kecil dari tahun-tahun sebelumnya. Efeknya, equity to be split akan semakin besar, yang mengakibatkan penerimaan pajak migas juga meningkat. Selain itu, kewenangan akses menentukan komponen biaya-biaya dalam cost recovery pada tahapan eksplorasi. Ditjen Pajak juga dapat sekaligus melakukan intensifikasi pemungutan pajak.

Belum lagi tambahan jenis pajak final atas transaksi-transaksi yang terjadi. Yang sudah diatur jelas adalah pengenaan pajak final atas penghasilan lain kontraktor, yaitu sebesar 20 persen atas uplift atau imbalan yang diterima sehubungan dengan penyediaan talangan dan sebesar lima persen atau tujuh persen atas imbalan yang diperoleh dalam pengalihan hak atau participating interest.
 
Tidak tertutup kemungkinan, kegiatan intensifikasi juga menemukan potensi pajak atas kegiatan jasa yang dilakukan subkontraktor. Yang pasti, aturan migas yang baru ini membuat ruang gerak Ditjen Pajak dalam menggali potensi pajak sektor migas semakin terbuka lebar. ●

Tidak ada komentar:

Posting Komentar