Selasa, 28 Mei 2013

Bisnis Politik Jelang Pemilu 2014

Bisnis Politik Jelang Pemilu 2014
Abd Hannan ;  Anggota Tim Riset Fakultas Ilmu Sosial
dan Ilmu Budaya Universitas Trunojoyo Madura
SUARA KARYA, 28 Mei 2013


Menjelang perhelatan akbar Pemilu 2014, diperkirakan gonjang-gonjang politik akan semakin membahana. Bahkan, hampir menapaki puncak inti klimaks. Di pertengahan tahun ini saja, sudah banyak dinamika yang mengarah ke sana. Diawali dari mengemukanya kasus pengaturan daging impor sapi yang diduga melibatkan mantan Presiden PKS, Luthfi Hasan Ishaq sehingga mengakibatkan PKS menjadi 'bulan-bulanan' media. Kemudian, diikuti oleh prahara internal partai penguasa, Demokrat. Disusul kemudian oleh keluarnya Hary Tanoesoedibjo, sang taipan grup media massa MNC yang manarik diri dari barisan partai Nasdem.

Menjelang perhelatan Pemilu 2014, dinamika politik di negeri kita dalam waktu-waktu dekat praktis akan mengalami peningkatan. Sedini mungkin setiap parpol akan memasang jurus kuda-kuda untuk menguatkan dukungan publik sebagai langkah meningkatkan elektabilitas partai. Tak ketinggalan pula para petinggi partai yang kebetulan menduduki kursi penting di berbagai struktural kenegaraan tentu tidak akan tinggal diam. Seoptimal mungkin mereka akan berpikir dan berupaya keras bagaimana parpol kepunyaannya mampu menduduki kursi teratas.

Mencuatnya isu-isu personal kepartaian yang akhir-akhir mengemuka di berbagai media mengindikasikan betapa para petinggi parpol sudah mulai memperhatikan kepentingan personal partainya. Kepentingan personal di sini mereka wujudkan dengan cara melakukan konsolidasi internal kepartaian serta merealisasikan konsep komunikasi dan sosialisai politik secara lebih intens dan aktif. Dengan begitu, maka kegaduhan politik di sektor internal kenegaraan kita akan tambah menggeliat lantaran banyak petinggi pemerintahan kita semakin menyibukkan diri mengurusi kepentingan partai ketimbang persoalan kebangsaan.

Fenomena kepentingan personal yang kental dalam diri partai bukan tidak mungkin mengakibatkan dinamika politik kita akan semakin tidak jelas arahnya. Demikian dikarenakan partai politik yang bergerak di dalamnya tidak betul-betul berangkat atas dasar kepentingan rakyat. Melainkan, lebih dikarenakan berangkat atas dasar kepentingan kelompok partai secara kolektif.

Karenanya, tak sedikit parpol yang keberadaannya tidak bersahabat dengan rakyat dan belum cukup amanah mewakili kebutuhan-kebutuhan rakyat. Mereka hanya datang saat menjelang pemilu untuk berkampanye, membawa sempalan-sempalan janji yang enak didengar. Namun, itu hanya musiman, setelah masa-masa pemilu usai, sesigap mungkin parpol menghilang. Janji tinggal janji, sedangkan rakyat gelisah menanti.

Sampai di sini, maka kehadiran parpol sebagai mesin politik telah gagal dalam menjalankan fungsi-fungsi yang semestinya mereka jalankan dengan baik, yaitu menjadi wahana bagi warga negara untuk berpartisipasi dalam pengelolaan kehidupan bernegara dan memperjuangkan kepentingannya dihadapan penguasa. (Budiardjo, 2008: 405)

Kegaduhan politik di negeri yang (katanya) demokratis ini bisa saja ditengarai karena sulitnya parpol dan politisi kita melepaskan diri dari sifat pragmatis. Bukan rahasia umum lagi, kita dapati berbagai aktivitas politik yang kerapkali menjadikan uang sebagai subtansi utama. Bahkan, jika boleh mengatakan, dinamika politik kita sejauh ini masih terbelit dengan krisis idealis kepartaian. Tahun politik yang sejatinya dijadikan ajang memperkenalkan visi-misi partai, kini dijadikan moment melakukan transaksi jabatan. Bisnis politik seperti ini biasanya dijalankan dengan cara melakukan rekrutmen politik lewat jalan "tawar menawar" antara parpol dan kader rekrutannya.

Bisnis politik di tahun politik memang menjanjikan begitu banyak keuntungan. Karena, pada tahun-tahun ini kaum elite berduit berbondong-bondong mendaftarkan diri sebagai anggota kader supaya bisa memiliki 'kendaraan' menduduki kursi legislatif. Tak pelak, mereka yang duduk di Senayan adalah pentolan kaum-kaum berduit yang sejatinya kapasitas mereka sebagai politisi belum teruji. Istilah miring perihal politisi dadakan berkembang pesat, sebagai refleksi atas model rekrutmen politik yang terlampau bersifat pragmatis.

Bisnis politik sebagai bagian dari kegaduhan politik bisa pula kita dapati ketika muncul kemungkinan adanya penyelewengan para aktor politik yang memiliki wewenang di kursi parlemen, dalam hal ini adalah para wakil rakyat. Sebagaimana kita tahu keberadaan para wakil rakyat di Gedung Senayan tidaklah independen, melainkan berangkat atas nama fraksi-fraksi kepartaian. Bukan bermaksud buruk sangka, namun bukan rahasia umum lagi, jika kebanyakan para anggota dewan memiliki kecenderungan lebih memprioritaskan kepentingan partai dan dirinya ketimbang rakyat.

Karenanya, menghadapi Pemilu 2014, kecendrungan para politisi Senayan untuk mendapatkan 'dana siluman' sangat potensial. Modusnya pun beraneka ragam, ada yang melalui pengelambungan anggaran, permainan kebijakan, dan ada pula yang melalui permainan tender dan proyek. Untuk itulah, kesigapan elemen masyarakat dalam melakukan kontrol dan pengawasan memiliki peran sentral, agar tahun politik saat ini tidak dijadikan ajang menjarah kekayaan negara.


Sampai di sini, maka kehadiran konsensus politik sebagai langkah mengantisipasi kegaduhan politik mutlak diperhatikan. Beberapa faktor kegaduhan politik yang terjadi belakangan ini bisa saja disebabkan tidak adanya sebuah konsensus bersama yang betul-betul mengarah pada kepentingan nasional dan masa depan bangsa, serta belum mampu menyelamatkan bangsa Indonesia dari hiruk-pikuk politik yang bersifat pragmatis. Untuk itu, reformasi politik dari model pragmatis menuju idealis perlu ditanamkan pada diri masing-masing partai. Jika perlu lakukanlah perbaikan, syukur-syukur bila sampai menciptakan perubahan. Semoga! 

SBY Telah Berkata dan Berbuat

SBY Telah Berkata dan Berbuat
Daddi Heryono Gunawan ;  Pengajar Sosiologi FISIP UI,
Wakil Sekretaris Pribadi Presiden RI
KORAN TEMPO, 28 Mei 2013


Soal penghargaan yang akan diberikan ACF kepada Presiden SBY harus dimaknai sebagai dorongan bagi kita semua untuk berbuat lebih banyak di masa depan.
Akhir bulan ini, di sela kunjungan kerjanya di New York, Amerika Serikat, Presiden SBY akan menerima penghargaan World Statesmen Award (WSA) 2013 dari Appeal of Conscience Foundation (ACF). ACF adalah suatu yayasan internasional yang berjuang memajukan kebebasan agama dan hak asasi manusia, khususnya dalam rangka mendorong perdamaian, toleransi, dan penyelesaian konflik etnis di dunia.
Usulan untuk menerima WSA disampaikan langsung oleh pendiri dan Presiden ACF, Rabbi Arthur Schneir. Ini tentu dengan persetujuan Dewan Pendiri ACF, yang terdiri atas para tokoh berbagai agama yang dikenal luas di dunia internasional. Beberapa pemimpin dunia yang pernah menerima penghargaan serupa adalah Stephen Harper (Perdana Menteri Kanada, 2012), Lee Myung-bak (Presiden Korea Selatan, 2011), Gordon Brown (PM Inggris, 2009), dan Nicolas Sarkozy (Presiden Prancis, 2008).
Rencana pemberian penghargaan WSA untuk Presiden SBY ternyata mengundang reaksi penolakan dari beberapa kalangan di dalam negeri. Penolakan ini terutama dipicu oleh surat Romo Magnis kepada ACF yang isinya mempertanyakan keputusan ACF itu. Dalam surat itu, SBY dianggap tidak melakukan apa-apa dan enggan mengatakan sepatah kata pun untuk melindungi kelompok minoritas.
Beberapa kelompok yang selama ini memang selalu kritis (dan bahkan sinis) terhadap pemerintahan SBY segera menjadikan surat Romo Magnis sebagai pijakan untuk menyatakan sikapnya. Mereka menyatakan SBY tidak pantas menerima penghargaan itu, karena dinilai belum berbuat banyak dalam mendorong perdamaian, toleransi, dan penyelesaian konflik etnis di Indonesia.
Dalam negara yang kebebasan dan demokrasinya semakin berkembang seperti di Indonesia sekarang ini, tentu saja perbedaan sikap serta pandangan adalah sah dan lumrah. Tapi menganggap bahwa Presiden SBY belum berbuat apa-apa untuk mendorong perdamaian, toleransi, dan penyelesaian konflik etnis, tentu terlalu berlebih-lebihan, kurang berdasarkan fakta yang ada. Dalam masalah penyelesaian konflik etnis yang terjadi di Tanah Air, misalnya, tentu harus diakui kemajuan yang dicapai selama ini.
Sebagai gambaran, antara 1997 dan 2002, misalnya, kita masih menghadapi konflik etnis dalam skala yang sangat luas di Indonesia, dengan jumlah korban tewas diperkirakan mencapai 10 ribu orang (Jacques Bertrand, 2004). Sebagian besar dari mereka adalah korban konflik kekerasan di Kalimantan Barat dan Tengah yang melibatkan orang-orang dari etnis Dayak dan Madura (1996/1997 dan 2001).
Sedangkan konflik berciri agama di Maluku, yang melibatkan kelompok agama Islam dan Kristen, telah memakan korban jiwa tidak kurang dari 5.000 orang. Konflik ini mulai menjalar pada 1999 dan terus meluas hingga 3 tahun kemudian (2002), sebelum akhirnya mereda dan pulih kembali. Lalu konflik di Aceh, yang pada 2000-2001 diperkirakan telah menelan korban tidak kurang dari 1.800 jiwa. Belum lagi terhitung di Papua.
Dalam perkembangannya, khususnya selama pemerintahan Presiden SBY (sejak 2004), secara berangsur-angsur situasi konflik yang telah menelan ribuan korban jiwa itu bisa teratasi. Kita bisa lihat bahwa situasi di wilayah-wilayah bekas konflik di Kalimantan, Maluku, Aceh, dan Papua dewasa ini keadaannya jauh semakin membaik.
Di Ambon, Maluku, memang kadang kala masih terjadi letupan-letupan kecil, tapi harus diakui konflik tidak mampu menjalar karena kesigapan pihak aparat, dan yang paling utama, telah tumbuh kesadaran kelompok-kelompok masyarakat yang tak sudi lagi terlibat dalam konflik yang tidak masuk akal itu. Di Aceh, konflik yang telah berlangsung puluhan tahun bisa diselesaikan secara damai, dan harus diakui, itu terjadi selama pemerintahan Presiden SBY.
Semuanya itu tentu suatu hasil nyata bersama yang patut diapresiasi, dan sama sekali jauh dari retorika yang menyatakan seolah-olah Presiden SBY tidak berkata dan berbuat apa-apa untuk perdamaian, toleransi, dan penyelesaian konflik etnis di Indonesia. Tentu ini tidak berarti bahwa semuanya itu bisa dicapai hanya berkat Presiden SBY. Peran para pemimpin Indonesia sebelumnya, khususnya sejak masa reformasi, harus diakui tidak kurang artinya.
Tiga pilar
Terjadinya berbagai konflik sosial, apakah berciri agama, etnis, atau yang lainnya, sering kali dihubungkan dengan munculnya zaman kebebasan politik sejak era reformasi (1997/1998). Zaman kebebasan yang datang seperti tiba-tiba itu tampaknya telah mendorong berbagai kelompok tertentu untuk mengekspresikan kepentingan dan identitasnya secara lebih bebas dan terbuka, yang kadang-kadang malah berlebihan, sehingga berbenturan dengan kelompok yang lain. Bermula dari sini, benih konflik yang sudah ada dalam masyarakat yang majemuk seperti di Indonesia ini seolah-olah seperti mendapat pupuk untuk bisa tumbuh subur.
Kalau semangat kebebasan itu ingin terus dikembangkan sebagai salah satu landasan untuk membangun tatanan masyarakat Indonesia yang demokratis dan harmonis, kebebasan itu serentak harus dibarengi oleh aturan hukum dan toleransi. Jadi, kebebasan (freedom), aturan hukum (rule of the law), dan toleransi (tolerance) adalah tiga pilar politik yang ingin ditegakkan oleh Presiden SBY dalam mewujudkan perjuangan demokrasi berdasarkan UUD 1945 (pidato Pancasila SBY, 1 Juni 2006).
Dalam konteks ini, tentu kurang tepat kalau membandingkan cara penyelesaian konflik sosial di masa lalu dengan keadaan dewasa ini. Zaman sudah berubah, kebebasan dan demokrasi sudah menjadi ukuran, sehingga tidak mungkin lagi sedikit-sedikit menggunakan alat-alat kekerasan. Sebaliknya, aturan hukum yang harus dikedepankan, dan dengan serentak memperkuat kesadaran kognisi masyarakat tentang pentingnya toleransi untuk menegakkan harmoni sosial.
Dengan perkembangan zaman seperti ini, tentu penanganan terhadap persoalan konflik sosial menjadi lebih kompleks dan rumit, menuntut bukan cuma peran besar pemerintah/negara, tapi juga keterlibatan aktif masyarakat secara keseluruhan. Jadi di sini pilihan utamanya bukan di antara pemerintah/negara atau masyarakat, tetapi justru kedua-duanya secara serentak dan simultan.
Dalam konteks ini, kritik keras terhadap Presiden SBY berkaitan dengan rencana pemberian penghargaan WSA harus dibaca sebagai kritik terhadap kita semua. Sudahkah kita semua cukup berbuat bagi kemajuan kebebasan beragama dan HAM? Soal penghargaan yang akan diberikan ACF kepada Presiden SBY harus dimaknai sebagai dorongan bagi kita semua untuk berbuat lebih banyak di masa depan.

Karena itu, kita harus menyambut dan memaknai pemberian penghargaan itu dengan baik serta menjadikannya sebagai bahan refleksi untuk berbuat lebih baik ke depan, dan tidak justru saling mencaci. Bagaimanapun, cukup banyak yang telah dilakukan Presiden SBY dan kita bersama dalam memajukan kebebasan beragama dan HAM. Meski demikian, masih cukup banyak PR yang harus dikerjakan oleh kita semua ke depan.

Otonomi Tergadai RUU

Otonomi Tergadai RUU
Irfan Ridwan Maksum ;  Guru besar Ilmu Administrasi Publik FISIP-UI,
Anggota Dewan Pertimbangan Otonomi Daerah (DPOD) RI 
JAWA POS, 28 Mei 2013



SAAT ini DPR sedang menggodok berbagai rancangan UU (RUU). Terdapat lima RUU yang terkait dengan pelaksanaan kebijakan otonomi. Yaitu, RUU pemerintahan daerah, RUU desa, RUU pilkada, RUU hubungan keuangan pusat daerah (HKPD), dan RUU aparatur sipil negara (ASN). 

Idealnya, lima RUU itu berjalan harmonis, kompak, dan sinergis agar masing-masing kebijakan dapat berjalan efektif, terutama dalam pelaksanaan otonomi daerah, ujung tombak pemerintahan RI. Jika tidak, efektivitas pemerintahan bisa terganggu.

Dari pengamatan akademik, masing-masing memiliki paradigma berbeda. Dalam pemerintahan daerah, Indonesia telah lama mengadopsi sistem prefektur terintegrasi. Sistem itu dianut sepanjang masa Hindia Belanda, dilanjutkan zaman Jepang. Sistem tersebut tidak dianut pada masa kemerdekaan hanya pada masa berlakunya UU No 1/1957 yang diganti dengan UU No 18/1965. Pada saat itu juga, Indonesia menganut pilkada langsung yang menyulut pecah kongsinya Bung Hatta dan Bung Karno. Di luar masa tersebut, Indonesia menganut sistem prefektur yang mengenal adanya wakil pemerintah. 

Sistem prefektur tidak dibarengi pilkada langsung. Pilkada, baik langsung maupun tidak, pada sistem itu hanya dianut Jepang pada masa 60-an, untuk memastikan kepala daerah diterima masyarakat atau tidak, selain harus memenuhi kriteria lain untuk menjadi kepala daerah terpilih.

Dari sudut pandang ini, terjadi konflik antara RUU pemda dan RUU pilkada. Secara akademik, dapat diprediksi konflik tersebut menyulut kegamangan pemerintahan di level peraturan perundangan dan praksis. Negara yang tidak menjalankan sistem prefektur juga tidak semua mengadopsi pilkada langsung sebagai satu-satunya kriteria penetapan kepala daerah.

Terkait dengan desa, pemerintahan daerah merupakan bangun formal struktur negara yang jelas terakomodasi secara organisatoris. Desa, dalam konsep the founding fathers, adalah otonomi informal (kaki). Materi RUU desa menyistematisasi desa dalam struktur negara melalui sektretaris desa. Perbenturan antara RUU pemda dan RUU desa tidak terasa dalam level paradigma, tetapi membawa struktur formal amat rumit, bahkan terbebani. Perbenturan yang terjadi adalah inkonsistensi pandangan mengenai desa dengan apa yang tertuang dalam kedua RUU. Kerumitan tersebut juga membuat ranah praksis kelak bermasalah.

Perlu Harmonisasi 

Perbenturan paradigmatis berikutnya adalah dengan RUU ASN. Di dunia ini, pengelolaan SDM pusat dan daerah selalu memperhatikan kotak besar organ negara yang terpisah karena desentralisasi. Kotak organ negara yang diperhatikan adalah adanya organ pemegang political authority. Sumber daya manusia negara terpisah menjadi dua, yakni lokal dan nasional. 

Akibatnya, terdapat tiga sistem besar paradigmatis pengelolaan SDM daerah. Yakni, pertama, terpisah (separated system), kekuasaan penuh pengelolaan SDM mulai A sampai Z ada pada daerah otonom. Pusat membuat code of conduct untuk dipatuhi sekaligus mengawasi. 

Dalam sistem tersebut, pegawai daerah tidak diperkenankan pindah antardaerah dan apalagi menjadi pegawai pusat. Tidak ada unit di pusat yang mengelola manajemen teknis SDM daerah. Semua urusan manajemen SDM diatur dan diurus daerah otonom. Manajemen SDM pusat dalam sistem ini, dengan demikian, memiliki jalur tersendiri. Tampak RUU ASN tidak menganut sistem itu.

Sistem kedua adalah sistem kesatuan (unified). Dalam sistem tersebut, terdapat unit di pusat yang bersifat independen yang dibentuk daerah-daerah otonom untuk mengelola manajemen teknis seluruh pegawai daerah otonom dalam negara yang bersangkutan. Pegawai daerah diperkenankan pindah antardaerah otonom, tetapi tidak menjadi pegawai pusat. 

Urusan A sampai Z dikelola unit tersebut. Pemerintah pusat kembali membuatkan code of conduct dan pengawasannya. Pegawai pusat memiliki manajemen tersendiri dan memiliki badan pengelola tersendiri. Tampaknya, RUU ASN juga tidak menganut sistem tersebut.

Sistem ketiga adalah sistem terintegrasi (integrated). Dalam sistem ini, pegawai pusat dan pegawai daerah diatur dan diurus oleh sebuah badan di bawah pemerintah pusat. Daerah otonom memiliki wewenang yang sangat kecil dalam manajemen kepegawaian daerah.

Kembali RUU ASN tampak tidak dengan jelas menganut sistem itu. Kotak SDM daerah dan pusat tidak tegas. Siapa atasan manajemen SDM tidak diperhatikan. Sejauh mana wewenang daerah otonom tidak jelas. Dapat dikatakan, RUU ASN tidak memiliki paradigma apa pun dari sudut kepentingan daerah otonom. Sungguh dapat merancukan otonomi daerah.

Terkait dengan RUU HKPD, dianut campuran antara paradigma yang ingin menguatkan sumber keuangan sendiri dalam daerah otonom (perimbangan keuangan) dan paradigma yang mengandalkan kemampuan pengelolaan pelayanan publik tanpa memperhatikan dari mana sumber keuangannya (hubungan keuangan). 

Jika dibenturkan dengan RUU pemda, tampak persoalannya lebih bersifat teknis dalam jalur-jalur instrumen pemerintahan. Karena itu, sepanjang instrumen yang dibuat masuk akal, bisa diperkirakan dapat mendorong harmonisasi dan sinergitas antar kedua RUU. 

Yang jadi permasalahan adalah termuatnya sistem pembagian urusan yang tidak jelas dalam RUU pemda, sedangkan RUU HKPD beraliran ''money follow function''. Dapat diprediksi, kesulitan muncul mengukur kebutuhan uang daerah yang riil menuruti materi kedua RUU kelak jika dilaksanakan.

Perbenturan keras adalah ketika pelaksanaan UU. Perbenturan RUU masih dapat didiskusikan di gedung DPR. Perbenturan pelaksanaan jika RUU tersebut kelak menjadi UU dapat bernuansa pelanggaran hukum sampai ketidakefektifan pemerintahan. Korbannya adalah masyarakat banyak. Perbenturan tersebut bersifat sistemik.

Melihat perbenturan tersebut, langkah harmonisasi harus dilakukan, bukan soal bunyi pasal saja, tetapi sejak pilihan paradigma kelima RUU. Pemerintah dan DPR harus duduk bersama agar keputusan yang diambil tidak menyimpan masalah.

Constraint-Based Thinking

Constraint-Based Thinking
Rhenald Kasali ;  Ketua Program MM UI
JAWA POS, 28 Mei 2013



BANYAK orang yang tidak menyadari hidupnya dikendalikan oleh sebuah ''loop'' (pusaran) yang bergerak dari constraint yang satu ke constraint yang lain. Pernyataan-pernyataannya kurang lebih: ''Aku anak petani miskin''; ''Otakku nggak nyampe''; ''Jangan bermimpi, kita ini orang susah'', ''Modalnya enggak ada''; atau ''Sekolah kita bukan sekolah unggulan''. 

Kalau diteruskan, kita juga temukan gocekan-gocekan liar dari tulisan-tulisan di berbagai blog dan milis yang disertai ancaman, ejekan, serta segala alasan seperti: ''Sok tahu kamu''; ''Itu tidak akan bisa''; ''Tidak bernalar''; ''Pasti akan gagal''; ''Waktunya tergesa-gesa, tidak ada yang bisa''; ''Siapkan dulu anunya''; dan seterusnya. ''Anunya'' itu bisa berarti uang, tenaga, prasarana, dan sebagainya. 

Kalimatnya pun beragam, mulai yang pesimistis hingga kalah sebelum bertarung, namun terkesan heroik karena ''berani menantang'' sebuah legacy. Tetapi, intinya terpantek atau terpaku pada constraint. Constraint itu berarti keterbatasan, pembatas, garis batas, bahkan dapat berbuntut cornering  (menyudutkan), membatasi, menghalang-halangi, meragukan, menyimpulkan sesuatu yang negatif. 

Orang-orang yang memiliki constraint-based thinking biasanya dibesarkan dalam kultur yang mengajarkan ketidakmampuan, biasa bekerja dibatasi, atau bisa egosentris yang beranggapan, ''Kalau saya tidak bisa, yang lain apa lagi.'' Intinya sederhana saja, tidak bisa karena tidak mau, tidak terima, dan yang lain juga dilarang mengikuti untuk membuktikan bahwa perlawanan itu benar: gagal!

Constraint-based adalah karakter yang membuat perusahaan tidak maju, karir seseorang stagnant (tidak berkembang), dan bangsa ini tidak berkembang. Setiap melangkah selalu dimulai dengan ''harus ada dulu'' prasyarat-prasyaratnya. Harus ada uangnya dulu, kesehatan, waktu, tenaga, bangunan, tanah, pabrik, ahli, dan seterusnya.

Opportunity-Based 

Sebaliknya, ada kelompok lain yang pola pikirnya 180 derajat berkebalikan dengan constraint-based, yaitu opportunity-based thinking. Setiap ada dinding, mereka selalu percaya ''ada pintunya''. Mereka tidak melihat ''constraint'' atau suatu ketidakadaan sebagai hal yang membatasi. Pikiran mereka menembus segala batas, menemukan jalan keluar.

Mereka itulah pemilik masa depan yang mengawali tindakan-tindakannya dari jendela-jendela keindahan. Dan anehnya, terjadi paradoks. Bangsa-bangsa yang dibesarkan dalam ''keterbatasan'' bisa menjadi bangsa wirausaha dengan mengembangkan jaringan-jaringan usaha seperti Singapura. 

Bangsa itu tidak punya sumber daya alam, tidak ada pasar yang memadai, namun mereka mampu menjadi negeri perdagangan yang solid dan sejahtera. Sementara itu, bangsa-bangsa yang memiliki alam yang kaya justru menjadi bangsa ''pegawai'' atau bangsa politis. Cita-citanya menjadi bupati, PNS, atau ketua partai. Issueyang muncul seputar ''pribumi'' atau ''pendatang'' dan bagi-bagi kawasan. Bukan isu-isu perdagangan atau inovasi.

Bisakah itu kita ubah?

Tentu saja bisa. Bangsa ini harus mulai mengubah paradigma dari bangsa pegawai yang constraint-based menjadi bangsa dengan pegawai-pegawai yang cara berpikirnya opportunity-based. Dari situ, barulah kita mengembangkan  wirausaha-wirausaha yang cerdas dan dinamis yang mulai mengembangkan inovasi danglobal brand. Bangsa yang demikian bukanlah bangsa pengeluh, bukan yang main protes, bahkan bukan yang gemar menghalangi perubahan.

Mengapa harus menghalangi kalau mampu melihat ''celah'' atau ''jendela''? Hampir setiap perubahan yang gagal diterapkan selalu dihalang-halangi bukan oleh orang-orang yang tidak pandai dalam arti yang sebenarnya, melainkan oleh orang-orang yang hidupnya tak berjendela. Hidup yang demikian selalu dimulai dari constraint,dari kesulitan dan hanya melihat ''susahnya'' hidup atau ''bakal susahnya''.

Sebab, opportunity-based thinking sangat berkebalikan dengan orang yang selalu melihat susahnya. Prinsipnya, ''every single problem'' is opportunity.  Mereka melihat setiap kesulitan atau constraint sebagai kesempatan. Karena itu, mereka bukanlah pengeluh, bukan juga penghalang, karena mereka melihat kesempatan. Masuk tipe apakah Anda? 

Ksatria dan Srikandi Century

Ksatria dan Srikandi Century
Bambang Soesatyo ;  Anggota Tim Pengawas 
Penyelesaian Kasus Bank Century DPR RI  
KORAN SINDO, 28 Mei 2013



Sri Mulyani siap mempertanggungjawabkan Rp632 miliar dana talangan Bank Century. Lalu, siapa yang akan mengambil alih tanggung jawab atas sisa dana talangan lebih dari Rp6 triliun? 

Rakyat masih menunggu seorang ksatria yang berani tampil mengungkap kebenaran. Beberapa hari setelah tim penyidik KPK kembali ke Tanah Air pasca pemeriksaan SriMulyanidi Kedutaan Besar RI di Washington DC, Amerika Serikat, komunitas pers di Jakarta mendapat bocoran hasil pemeriksaan atau pengakuan Sri Mulyani selaku mantan menteri keuangan/ketua Komite Stabilitas Sistem Keuangan (KSSK). 

Dia diperiksa terkait dana talangan Rp6,7 triliun untuk Bank Century. Bocoran informasi dari tim KPK tentang hasil pemeriksaan Sri Mulyani tidak baru sebab disebutkan bahwa direktur Bank Dunia itu semasa menjabat ketua KSSK menyetujui dana talangan Rp632 miliar. Tidak baru karena di hadapan rapat Pansus DPR untuk Hak Angket Bank Century awal Januari 2010 dia sudah menegaskan hal yang sama. 

Kepada Pansus DPR waktu itu, dia tegaskan bertanggung jawab penuh atas keputusan penyelamatan Bank Century berdasarkan data awal nilai bailout dari BI sebesar Rp632 miliar. Angka Rp632 miliar ditetapkan BI sebagai acuan menangani Bank Century. Model pertanggungjawaban seperti ini tentu saja aneh. Keanehan ini saja sudah menjadi petunjuk yang sangat jelas bahwa bailout Bank Century sarat masalah sebab keputusan dan pertanggungjawaban KSSK mestinya bulat alias satu suara. 

Bukankah KSSK hanya beranggotakan menteri keuangan sebagai ketua merangkap anggota dan gubernur BI sebagai anggota. KSSK memang bertugas memelihara stabilitas sistem keuangan melalui pencegahan dan penanganan krisis. Salah satu pekerjaannya mengevaluasi skala dan dimensi masalah likuiditas atau solvabilitas bank dan lembaga keuangan, bukan bank (LKBB) yang ditengarai berdampak sistemik. Tentu saja aneh kalau ketua KSSK hanya mau mempertanggungjawabkan Rp632 miliar dari total dana talangan yang Rp6,7 triliun itu. 

Padahal, bagi siapa pun di republik ini, angka Rp6,7 triliun itu dimaknai sebagai keputusan bulat KSSK. Kalau menjadi keputusan KSSK, berarti keputusan itu kolektif; produk ketua KSSK (menteri keuangan) dan anggota (gubernur BI). Bukan keputusan personal. Mengikuti logika ini saja, KPK seharusnya sudah melakukan pendalaman kasus sejak awal 2010. Penuturan mantan Presiden Jusuf Kalla seputar curahan isi hati Sri Mulyani kepadanya membuat kasus ini makin terang. 

Kepada Kalla, Sri Mulyani mengaku merasa tertipu dengan data yang diberikan BI dalam keputusan bailout Bank Century. Hal ini diceritakan Kalla di forum rapat Pansus Bank Century, 14 Februari 2010. Kalla merinci, Sri Mulyani menemuinya di kediaman resmi wakil presiden pada 30 September 2009. Dalam pertemuan empat mata itulah, ketua KSSK itu mengaku tertipu dengan pembengkakan nilai penyelamatan Bank Century. Awalnya BI merekomendasikan dana talangan yang diperlukan Bank Century hanya Rp632 miliar. Ternyata, nilai bailout membengkak menjadi Rp6,7 triliun. 

Menanti Ksatria 

Dari situasi yang demikian, konstruksi persoalannya sudah sedemikian gamblang. Sudah cukup alasan bagi KPK tahun itu memanggil, memeriksa, atau meminta pertanggungjawaban ketua dan anggota KSSK saat itu. Setidaknya, persoalan pertamanya ketua KSSK secara tidak langsung sudah menyatakan sikapnya menolak mempertanggungjawabkan nilai talangan yang besarnya lebih dari Rp6 triliun itu sebab dia tetap berpegangan pada angka Rp632 miliar. 

Konstruksi permasalahan yang demikian mestinya sudah sangat memudahkan KPK membidik pihak yang paling layak dimintai pertanggungjawabannya atas Rp6 triliun lebih dana talangan Century. Publik yang awam hukum pun akan dengan mudah langsung menunjuk hidung. Siapa lagi kalau bukan gubernur BI saat itu yang juga anggota KSSK? Berkait dengan besaran nilai dana talangan itu, menteri keuangan/ketua KSSK bahkan terang-terangan mengaku kepada wakil presiden bahwa dia telah dibohongi BI. 

Namun, tahun itu KPK belum juga bergerak sekalipun kasus penipuan terhadap seorang pejabat tinggi negara ini bahkan sudah dibeberkan di ruang publik. Katakanlah benar bahwa tidak ada indikasi tindak pidana korupsi dalam penyelamatan Bank Century. Tetapi, bukankah tindak penipuan oknum BI kepada menkeu/ketua KSSK dalam konteks persoalan itu sudah layak untuk ditangani penegak hukum? 

Kalau Sri Mulyani sudah mengaku siap mempertanggungjawabkan dana talangan Rp632 miliar, masyarakat berharap pihak lain yang ikut merumuskan dana talangan menjadi Rp6,7 triliun segera tampil secara ksatria menjelaskan pertanggung jawabannya. Mudah-mudahan KPK jernih menangkap dan memahami aspirasi sebab terus mengambangkan proses hukum skandal ini akan merongrong wibawa semua institusi hukum. 

Sulit untuk menghilangkan skandal ini dari ingatan publik. Lihatlah, ratusan mahasiswa anggota aliansi Badan Eksekutif Mahasiswa seluruh Indonesia menggelar unjuk rasa di depan Gedung KPK, Selasa (21/5). Mereka mendesak KPK segera menuntaskan megaskandal ini. Mereka juga mendesak KPK memeriksa Wakil Presiden Boediono. Sudah sangat jelas bahwa kasus Century akan menjadi megaskandal tak terlupakan. Sudah barang tentu bakal masuk catatan sejarah bangsa. 

Kinerja semua institusi penegak hukum era terkini akan dicatat dengan tinta emas jika skandal besar ini bisa diselesaikan sebagaimana mestinya, proporsional, dan tanpa rekayasa melindungi sosok-sosok yang mendalangi pencurian besar-besaran atas kekayaan negara ini. Pencurian oleh sekelompok orang dengan modus menyalahgunakan kekuasaan dan kewenangan mereka. 

Namun, pekerjaan untuk menyelesaikan kasus ini menjadi tidak mudah dan butuh waktu panjang. Rakyat Indonesia pun dipaksa terus bersabar. Ada keyakinan di sebagian kalangan bahwa kasus ini akhirnya bisa dituntaskan. Namun, bagi masyarakat kebanyakan, persoalannya bukan sekadar dituntaskan dengan menjadikan mereka yang lemah sebagai korbannya. Bagaimanapun ini pencurian uang negara yang dibungkus dengan paket kebijakan memberi dana talangan untuk menyelamatkan bank bermasalah. 

Sosok- sosok yang mengotaki kebijakan itulah yang seharusnya dihadapkan ke muka hukum. Baru-baru ini upaya Tim Pengawas (Timwas) DPR menggelar rekonstruksi fasilitas pinjaman jangka pendek (FPJP) kepada Bank Century gagal karena ketidakhadiran pimpinan KPK. Kegagalan itu tentu saja sangat mengecewakan. Karena itu, rekonstruksi proses pemberian FPJP oleh Timwas DPR harus ditunda. Pimpinan KPK tidak hadir dengan alasan menjaga objektivitas dan menghindari konflik kepentingan dalam penanganan perkara Bank Century. 

Seperti itulah kompleksitas proses hukum sebuah kasus di negara ini. Alasannya, rapat Timwas DPR itu juga dihadiri sejumlah pihak yang sudah dan yang akan dimintai keterangan oleh KPK. Selain pimpinan dan penyidik KPK yang menangani kasus Bank Century, pihak lain yang diundang dalam rapat itu adalah pejabat BI yang menerima surat kuasa gubernur BI, meliputi Eddy Sulaiman Yusuf (direktur Direktorat Pengelolaan Moneter), Sugeng (kepala Biro Pengembangan dan Pengaturan Pengelolaan Moneter), dan Doddy Budi Waluyo (kepala Biro Operasi Moneter). Mempertemukan mereka dengan jajaran KPK dinilai tidak pada tempatnya. 

Krisis Partai Politik

Krisis Partai Politik
Vishnu Juwono ;  Kandidat Doktor Sejarah Internasional
di London School of Economics (LSE) dan Dosen FISIP UI        
KORAN SINDO, 28 Mei 2013



Saat menulis disertasi studi doktoral saya, kebetulan literatur-literatur akademik dari peristiwa politik di Indonesia terbentuknya demokrasi terpimpin pada masa Presiden Soekarno akhir 1950-an menjadi salah satu menu bacaan wajib. 

Akibatnya, saya menjadi tertarik dengan mencoba membandingkan salah satu masa terendah dari sejarah partai politik Indonesia tersebut dengan berbagai macam insiden yang menimpa partai politik besar Indonesia saat ini akibat rentetan kasus korupsi. Proses investigasi terhadap mantan Presiden Partai Keadilan Sejahtera (PKS) Luthfi Hasan Ishaaq yang dilakukan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dan pengusaha Fathanah terkait dugaan kasus suap impor daging di Kementerian Pertanian, mewarnai berbagai berita nasional, merupakan kelanjutan dari buruknya citra partai politik di Indonesia. 

Sebelum PKS, media massa Indonesia terus menyorot kasus korupsi yang menimpa pimpinan Partai Demokrat seperti Nazaruddin, Angelina Sondakh, dan yang masih dalam tahap investigasi oleh KPK di mana dugaan korupsi menimpa diri mantan Menteri Pemuda Olah Raga Andi Mallarangeng dan mantan Ketua Umum Anas Urbaningrum. Akibatnya popularitas Partai Demokrat menurun tajam. 

Delegitimasi Partai Politik 

Buku klasik yang ditulis Herbet Feith berjudul The Decline of Constitutional Democracy in Indonesia, yang diterbitkan Cornell University Press(1962), menyoroti bagaimana partaipartai politik di Indonesia menjadi salah satu penyebab utama dari runtuhnya sistem demokrasi parlementer di Indonesia. Dimulai pada masa kabinet pertama Ali Sastroamidjojo (Juli 1953–Juli 1955), kemudian kabinet yang dipimpin Burhanuddin Harahap (Agustus 1955–Maret 1956), dan terakhir kabinet kedua Ali Sastroamidjojo (Maret 1956–Maret 1957). 

”Pada masa itu terdapat suasana antipati dan ketidakpuasan pada situasi politik pada saat itu… Terutama hal yang menyangkut perkara korupsi yang melibatkan pimpinan partai politik,” tulis Herbert Feith. Menurut pengamatan Indonesianis terkemuka lainnya, Daniel Lev, di bukunya berjudul The Transition to Guided Democracy, juga terbitan Cornell University (1966), pada waktu itu Angkatan Darat yang dipimpin Jenderal Nasution berperan besar dalam pembentukan demokrasi terpimpin. 

”Angkatan Darat beranggapan bahwa partai politik dan para pemimpin sipil pada waktu karena korupsi, pertentangan ideologi, ketidakstabilan korupsi menjadi penghambat kemajuan bangsa dan menyebabkan tentara Indonesia terpecah-pecah,” seperti yang ditulis Daniel Lev. Kombinasi antara popularitas Presiden Soekarno yang masih tinggi pada waktu itu dan Angkatan Darat yang memiliki organisasi luas dan pasukan yang banyak membuat kerja sama keduanya menjadi kekuatan politik yang amat berpengaruh di Indonesia seperti yang diterangkan John Legge pada buku biografi yang klasik mengenai presiden pertama Indonesia itu—Soekarno a Political Biography, terbitan Penguin Press (1972). 

Kerja sama keduanya membawa Indonesia meninggalkan sistem demokrasi parlementer menuju ke bentuk demokrasi terpimpin di mana puncaknya dengan dikeluarkan Dekrit Presiden 5 Juli 1959 yang menandakan kembalinya pada pelaksanaan Undang-Undang Dasar 1945 dan berakhirnya peranan besar partai politik dalam menentukan percaturan politik di Indonesia. 

Akankah Sejarah Terulang? 

Seperti yang ditulis Herbert Feith (1962), Daniel Lev (1966), dan John Legge (1972), proses dari penurunan kepercayaan terhadap partai politik dimulai pada kurun waktu 1949, kemudian secara de facto dengan keadaan darurat militer pada awal 1957 tentara nasional Indonesia secara politik berperan signifikan, hingga akhirnya secara resmi menjadi demokrasi terpimpin pada pertengahan 1959. 

Kurang lebih selama 10 tahun partai politik pada waktu itu tidak dapat memelihara kepercayaan konstituennya, terutama setelah pemilihan umum pada 1955 telah berlangsung secara baik dan mencederai ekspektasi bahwa pemerintah yang dibentuk unsur-unsur partai politik dapat mewujudkan mandatnya untuk menyediakan lapangan pekerjaan, serta mendirikan fasilitas kesehatan dan pendidikan yang layak pada masyarakat luas. Saat ini partai politik Indonesia generasi Era Reformasi telah berdiri rata-rata lebih dari 10 tahun. 

Tentu saja penyelenggaraan pemilihan umum yang berlangsung relatif lancar sejak 1999 perlu diapresiasi sebagai instrumen demokrasi dan seharusnya sistem demokrasi Indonesia sudah harus lebih terkonsolidasi dengan partai politik menjadi aktor politik utamanya. Bisa dikatakan parlemen (dikenal dengan DPR) dan partai politik Indonesia saat ini dari segi otoritas mempunyai peranan yang sama atau bahkan lebih dari partai politik pada 1950- an.

Dalam membuat undangundang dan komposisi Anggaran Perencanaan Belanja Negara (APBN), persetujuan DPR merupakan syarat mutlak. Sayangnya, otoritas yang luas tersebut tidak diikuti kinerja partai politik yang kurang baik, setidaknya yang dipersepsikan oleh publik. Tentu saja konteks situasi politik pada 1950-an amat berbeda bila dibandingkan dengan situasi saat ini. Presiden Susilo Bambang Yudhoyono mempunyai keterlibatan dalam yang cukup ekstensif pada Partai Demokrat dengan menjabat sebagai ketua umum. 

Sedangkan Presiden Soekarno pada waktu itu tidak terlibat begitu jauh dalam kepengurusan sehari-hari dari partainya yakni Partai Nasional Indonesia (PNI). Ditambah lagi posisi TNI pada Era Reformasi ini secara politik tidak begitu kuat lagi dibandingkan pada masa pimpinan Jenderal A H Nasution yang relatif independen dari pimpinan politik, bahkan dalam beberapa kasus dari presiden. Belum lagi lingkungan politik internasional saat ini tidak kondusif lagi terhadap pemerintahan otoriter, terlebih sebuah rejim yang dipimpin militer hampir dipastikan sulit memperoleh dukungan internasional. 

Tetapi, tentunya situasi ketidakpercayaan terhadap partai politik di Indonesia saat ini tidak bisa dibiarkan secara terus menerus. Terlepas dari berbagai kelemahan yang ada, partai politik merupakan institusi politik yang penting optimal dalam mekanisme demokrasi guna menyalurkan aspirasi masyarakat dibandingkan alternatif lain dari sistem politik yang ada. 

Karena itu, ini menjadi pekerjaan rumah dari elite politik Indonesia, terutama pimpinan partai politik untuk terus memperbaiki institusi partai politik baik pada aspek peraturan dan perundang- undangan maupun dari segi organisasi dan manajemennya. Masalah pendanaan partai, rekrutmen kader berkualitas dan berintegritas, serta pembangunan institusi partai yang modern dengan platform kebijakan publik berpihak pada kepentingan umum merupakan agenda utama dari perbaikan partai politik. 

Pendidikan yang Menindas

Pendidikan yang Menindas
Saeful Millah ;  Dosen IAIN Cirebon, Alumnus Sekolah Pascasarjana (S3) UPI Bandung
KORAN SINDO, 28 Mei 2013


Ironis sekaligus menyedihkan. Di tengah banyaknya anak bangsa yang sibuk memperingati Hari Kebangkitan Nasional, seorang anak dari keluarga miskin yang masih duduk di kelas IX SMP PGRI Kota Depok, Fanny Wijaya, 15, nekat mengakhiri hidupnya dengan menggantung diri (KORAN SINDO JABAR, 20/5/2013). 

Motifnya, selain diduga karena khawatir tidak bisa lulus ujian nasional (UN), dia juga cemas tidak bisa melanjutkan pendidikannya ke jenjang SMA karena kemiskinan yang melilitnya. Itulah satu dari sekian banyak potret gelap dunia pendidikan bagi anak dari keluarga miskin di negeri ini pada saat ini. Persisnya, pendidikan yang sejatinya membahagiakan, buat anak dari keluarga miskin tak jarang dirasakan begitu menindas, bahkan menyakitkan. 

Saking menindasnya, pendidikan tak jarang hadir menjadi penyebab seorang harus rela mati dengan cara yang sangat memilukan, bunuh diri. Bukan hanya itu, pendidikan yang sejatinya menyenangkan sekaligus membebaskan, buat si miskin sering dirasakan hadir sangat membelenggu. Saking membelenggunya, pendidikan tak jarang hadir menjadi sumber tekanan, bahkan sumber malapetaka bagi mereka yang ingin mendapatkannya. 

Di situlah pula relevansinya bagi para praktisi pendidikan, juga bagi para pembuat kebijakan di negeri ini, untuk merenungkan ulang pemikiran kritis sosok tokoh bernama Paulo Preire, seorang pakar pendidikan asal Brasil yang gagasan-gagasannya masih sangat relevan untuk memotret sekaligus membantu memecahkan banyak persoalan pendidikan yang muncul di negeri ini. 

Humanis-Revolusioner 

Dalam salah satu karyanya yang berjudul The Pedagogy of The Opressed (1973), Preire pernah menyadarkan banyak orang dengan kritik tajamnya sebagai berikut: pendidikan yang selama ini nyaris dianggap sakral karena sarat kebajikan, ternyata juga mengandung penindasan, kira-kira persis seperti yang dialami Fany Wijaya. 

Dengan kritiknya itu, Preire punya gagasan besar untuk menjadikan pendidikan sebagai sarana mewujudkan sebuah tatanan dunia yang dia sebut sebagai menos feio, menos malvado, dan menos desumano (less ugly, less cruel, less inhuman), sebutlah tatanan dunia yang lebih baik. Karena itu, Preire di kalangan pakar pendidikan adalah seorang humanis. Menurut saya, ke sanalah pula arah dan substansi Kurikulum 2013 salah satunya diarahkan dan ditekankan. 

Tentu saja, gagasan Preire yang humanis-revolusioner itu tidaklah datang sendiri, kecuali sebagai sebuah gugatan terhadap berbagai ketidakberesan struktur sosial yang terjadi pada saat itu. Seperti pernah diungkapkannya bahwa kebanyakan hubungan sosial dalam masyarakat kapitalis, seperti yang terjadi masyarakat kita, termasuk hubungan yang terlibat dalam dunia pendidikan, selalu didasarkan pada hubungan penindasan. 

Menurut Preire yang secara kebetulan meninggal pada 2 Mei 1997, tanggal Hari Pendidikan Nasional (Hardiknas) tiap tahunnya kita peringati, pada dasarnya manusia adalah makhluk yang tidak sempurna, incomplete and unfinished being. Karena itu, manusia selalu dituntut berusaha menjadi subjek yang mampu mengubah realitas eksistensialnya, yakni menjadi subjek yang manusiawi. Di situlah pula arti pentingnya kehadiran pendidikan yang membebaskan (liberation). 

Dalam pemikiran filosofisnya, humanisasi adalah inti dalam pendidikan karena dia merupakan panggilan ontologis manusia. Sebaliknya, dehumanisasi adalah distorsi atas panggilan ontologis manusia. Pemikiran filosofis Preire bertumpu pada keyakinannya bahwa secara fitrah, manusia mempunyai kapasitas untuk mengubah dirinya, dan ke sanalah arah pemikiran pendidikannya ditujukan, yakni mengantarkan manusia menjadi subjek.

 Misi Pembebasan 

Atas dasar pemikirannya itu pula, tugas utama pendidikan dalam pemikiran Preire mesti memiliki misi ganda, yakni meningkatkan kesadaran kritispeserta didik sekaligus mentransformasikan struktur sosial yang menindas. Baginya, kesadaran manusia itu berproses secara dialektis antara diri dan lingkungan yang membentuknya. Baginya pula, setiap manusia punya potensi untuk berkembang dan memengaruhi lingkungan. 

Namun sebaliknya, dia juga bisa dipengaruhi dan dibentuk oleh struktur sosial tempat dia berkembang. Kesadaran kritis yang dimaksud Preire adalah bentuk kesadaran yang selalu melihat struktur sosial sebagai sumber masalah. Itu sebabnya, arah pendidikan dalam pemikiran Preire adalah menciptakan ruang dan kesempatan agar peserta didik terlibat dalam setiap proses penciptaan struktur yang secara fundamental baru dan lebih baik. 

Itulah pula yang kemudian melahirkan gagasan Preire tentang arti pentingnya peran guru sebagai pekerja kultural (cultural workers). Dengan perannya itu, guru dalam penyelenggaraan pendidikan selain memiliki tugas untuk memberikan pengajaran di kelas, juga harus mampu menjadikan pendidikan sebagai medium untuk mereproduksi struktur sosial yang membebaskan. Itu pula sebabnya, Preire berpendapat bahwa pendidikan juga harus merupakan tindakan politik. 

Seperti dikutip Michael W Apple dkk, dalam Joy A Palmer (2003), Preire menulis: “Pendidikan untuk orang tertindas, sebutlah pendidikan untuk anak dari kalangan miskin, seperti anak yang bernama Fanny Wijaya asal Depok, (adalah) pendidikan yang harus dilaksanakan dengan, bukan untuk, kaum tertindas dalam perjuangan tanpa henti untuk meraih kembali kemanusiaan mereka. 

Pendidikan ini membuat penindasan dan penyebabnya menjadi objek refleksi kaum tertindas, dan dari refleksi itulah lahir pembebasan (liberation)”. Dengan gagasan-gagasannya itu, tidak keliru jika kemudian banyak pihak yang menempatkan Paulo Preire sebagai seorang humanis-revolusioner. 

Dengan gagasan-gagasannya itu pula, kehadiran Preire menjadi sangat berharga untuk kita simak karena arah politik pendidikannya yang begitu jelas berporos pada keberpihakannya terhadap kaum tertindas (the oppressed), sebuah arah politik pendidikan yang relevan dengan kondisi kekinian dunia pendidikan di republik ini pada saat ini. Wallahu a’lam bisshawab. 

Menafsir Kemenangan Ganjar-Heru

Menafsir Kemenangan Ganjar-Heru
Joko Riyanto ;  Koordinator Riset Pusat Kajian dan Penelitian Kebangsaan (Puskalitba) Solo
KORAN SINDO, 28 Mei 2013



Hasil hitung cepat (quick count) Pilgub Jateng yang dilansir sejumlah lembaga survei menunjukkan kemenangan telak pasangan Ganjar Pranowo-Heru Sudjatmoko (Gagah) dengan meraih hampir 50% suara, mengungguli pasangan nomor urut dua Bibit Waluyo-Sudijono Sastroatmodjo (Bissa) dan pasangan nomor urut satu Hadi Prabowo (HP)-Don Murdono. 

Faktor personal Jokowi, yang dicitrakan sebagai sosok yang bisa dipercaya, bersih, dekat dengan rakyat, dan bisa membawa perubahan dinilai menjadi kunci kemenangan pasangan yang diusung PDI-P itu. Ada beberapa tafsir untuk mengungkap kemenangan pasangan Ganjar-Heru di Pilkgub Jateng 2013. 

Pertama, pola kampanye yang lebih kreatif dan masif. Cara kampanye Ganjar- Heru yang blusukan ke sejumlah tempat mampu mendongkrak popularitas dan elektabilitas di masyarakat. Hal itu ditambah dengan gencarnya bersosialisasi dan menawarkan visi-misi dan program lewat poster, pamflet, dan iklan di media (radio, televisi) untuk meraih simpati rakyat. Selain itu, tim sukses Ganjar-Heru bekerja maksimal mendulang suara. 

Kedua, program-program Ganjar-Heru sederhana, riil, laku dijual di Jateng, dan membumi. Ganjar-Heru punya kemudahan menyusun program dibanding rivalnya karena hanya diusung satu partai. Hal ini berbeda dari pasangan lain yang diusung partai koalisi. Pasangan lain tidak konsisten karena antarpengusung memiliki visimisi berbeda. Apalagi, tingkat kepuasan publik yang rendah (40%) terhadap pemerintahan Bibit Waluyo. Publik Jateng sudah tidak percaya akan janji perubahan sang incumbent dan memutuskan memilih Ganjar- Heru yang diyakini mewujudkan perubahan untuk Jateng. 

Ketiga, efektif dan bekerjanya mesin politik. Meski Ganjar-Heru diusung hanya PDI-P, mampu meraih hampir 50% suara. Faktor pergerakan, soliditas, kekompakan, dan loyalitas semua komponen PDI-P berjalan dengan baik. Mulai dari Ketua Umum PDI-P, sekjen, anggota legislatif, pengurus partai hingga massa akar rumput, serta dukungan Gubernur DKI Jakarta Joko Widodo (Jokowi) sangat membantu perolehan suara kemenangan Ganjar-Heru. 

Berbeda dengan mesin politik pasangan Bissa dan HP-Don relatif lamban. Ditambah dengan banyak isu negatif yang menerpa Hadi Prabowo, jadi banyak suara yang dialihkan ke Ganjar atau Bibit. Ditambah lagi, Partai Demokrat saat Pilgub Jateng mengalami kemerosotan popularitas karena kader dan ketua umum diduga terlibat kasus korupsi. Hal ini tentu saja sangat memengaruhi pemilih karena Partai Demokrat yang mengusung “Katakan tidak pada korupsi!” justru terbelit masalah korupsi.Soliditas di internal Partai Demokrat dan Golkar juga tak maksimal mendukung pasangan Bissa. 

Keempat, soal kepemimpinan. Bibit Waluyo selama kepemimpinannya dikesankan sebagai sosok yang kaku dan elitis. Padahal, rakyat Jateng merindukan sosok yang hangat, cair, merakyat, dan punya keberpihakan terhadap kepentingan masyarakat kecil. Mayoritas pemilih merasa tidak puas dengan kinerja Bibit Waluyo. 

Kinerja Bibit Waluyo selama ini tidak merepresentasikan sebagian besar wajah warga Jateng yang termarginalkan oleh derap pembangunan Jateng. Kepemimpinan Bibit Waluyo ternyata tidak mampu memberikan apresiasi positif mendongkrak perolehan suara. Masyarakat Jateng sudah mempunyai kecerdasan politik yang tinggi, di mana mereka menyalurkan aspirasi tidak terpengaruh oleh kepentingan apa pun. Rakyat Jateng sudah cerdas dalam menentukan masa depannya sendiri. 

Kelima, publik Jateng sudah bosan dengan janji perubahan yang tak dapat teraktualisasi secara nyata, padahal mereka merindukan perubahan yang konkret. Masyarakat Jateng lapisan bawah dan menengah juga cenderung menolak status quo politik. Masyarakat sudah jenuh dengan kepemimpinan Bibit Waluyo yang cenderung otoriter dan terkesan angkuh dan tak menyentuh rakyat kecil. 

Kerinduan rakyat Jateng akan perubahan mereka nilai ada pada pasangan Ganjar-Heru sehingga perolehan suara Bissa terpaut jauh dengan Ganjar-Heru. Ganjar dengan karakter yang dikenal masyarakat tenang, jujur, dan bersih menjadi sosok yang diidamkan memimpin Jateng saat ini. Ganjar yang juga putra asli Jateng sudah di kenal dengan kedekatannya dengan masyarakat baik dari kelas bawah, menengah dan atas membuat tingkat elektabilitasnya tinggi. 

Ganjar-Heru menjadi sosok yang timbul karena kepenatan masyarakat. Rekam jejak Ganjar-Heru memenuhi harapan masyarakat yang merindukan birokrat dan politikus yang bersih. Mereka tidak pernah terlibat kasus apa pun. Mereka berdua telah terbukti menjalankan kepemimpinan dengan baik sebagai politikus dan bupati Purbalingga. Bagi gubernur dan wakil gubernur terpilih, kita juga mengingatkan bahwa kemenangan bukanlah akhir dari perjuangan panjang yang menguras energi dan uang. 

Kemenangan justru merupakan awal untuk bekerja lebih keras demi merealisasikan janji-janji manis yang mereka tebar selama kampanye. Tantangan yang dihadapi Jateng lima tahun ke depan amat tidak ringan. Setelah pesta demokrasi ini usai, warga Jateng harus segera menyatukan diri kembali dalam satu komunitas Jawa Tengah yang baru. Sungguh membanggakan karena provinsi ini akan dipimpin oleh seorang gubernur yang muda. 

Semangat kemudaan Ganjar Pranowo diharapkan akan membawa Jateng gumregahdan tangkas bekerja. Gubernur dan wakil gubernur terpilih diharapkan menjadi pemimpin yang representatif; berkarakteristik; responsif terhadap aspirasi masyarakat; mampu mengartikulasikan isu-isu, program, dan janji-janji dalam kampanye menjadi sebuah kebijakan publik yang akuntabel. 

Selamat kepada pemenang Pilgub Jateng 2013. Buktikan bahwa kemenangan Anda adalah kemenangan warga Jateng yang berharap kehidupan menjadi lebih baik. 

Islam dan Nasionalisme

Islam dan Nasionalisme
Azis Anwar Fachrudin ;  Koordinator Forum Studi Arab dan Islam,
 Pengajar PP Nurul Ummah, Yogyakarta
MEDIA INDONESIA, 28 Mei 2013


APAKAH Islam di Indonesia mampu bersenyawa dengan nasionalisme? Sejarah perdebatan dan jawaban terhadap pertanyaan ini sama tuanya dengan sejarah Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI).
Untuk memperingati Hari Kebangkitan Nasional dan menjelang hari lahirnya Pancasila, kita layak mengulas kembali pertanyaan itu. Sebab, reformasi dan terbukanya keran demokrasi serta kebebasan berpendapat telah menyeruak sebagian kelompok yang antinasionalisme untuk tampil ke permukaan. Karena itu, debat ihwal kompatibilitas Islam dengan nasionalisme masih relevan untuk diajukan kembali.

Mereka yang menolak ide nasionalisme, secara ringkas, dapat disimpulkan alasannya dalam tiga argumen. Pertama, argumen paling mendasar adalah, dalam kredo Islam, persatuan diwujudkan atas dasar kesamaan iman atau akidah. Biasanya yang dijadikan dalil adalah QS 49:10, innamal-mu’minun ikhwah (kaum beriman itu bersaudara). Islam diyakini bersifat universal, melintasi batas kebangsaan, dan wilayah geografis. Karena itu, Islam diyakini bertentangan dengan nasionalisme.

Kedua, kelompok antinasionalisme berpandangan bahwa ide nasionalismelah yang menyebabkan runtuhnya Khalifah Islam (Uthmaniyah). Akibat nasionalisme, Khalifah Islam terpecah-pecah menjadi negara-negara kecil yang satu sama lain saling bersengketa. Nasionalisme juga membuat umat Islam di negara yang satu tidak peduli dengan nasib umat Islam di negara lain. Misalnya, persoalan Palestina dianggap bukan persoalan umat Islam di Indonesia. Umat Islam, menurut mereka, jadi egoistis dan lebih mementingkan negaranya sendiri karena paham nasionalisme.

Ketiga, alasan yang klise, tapi terus diulang-ulang: nasionalisme adalah ideologi bikinan dan impor dari Ba rat. Argumen ini kurang lebih serupa dengan mereka yang antinasionalisme serta menolak demokrasi. Alasan penguatnya kemudian adalah ideologi nasionalismedemokrasi impor ini menjadi alat Barat untuk memecah-belah umat Islam.

Argumen sanggahan

Pertama, dalil yang dipakai untuk menjusti fikasi antinasionalisme di atas tidak tepat. Ayat `kamu mukminin itu bersaudara' bersifat deklaratif (khabariyyah) dan sama sekali tidak mengandung larangan, baik eksplisit maupun implisit terhadap nasionalisme. Yang dilarang adalah bercerai-berai (la tafarraqu). Namun, justru sebaliknya, beberapa ayat sebelum ayat itu, masih dalam surat yang sama, Alquran mengonfirmasi fakta bahwa manusia diciptakan berbangsa bangsa dan bersuku-suku (syu'uban wa qaba'ila).

Sejauh yang saya tahu, kebanyakan dalil nash yang dipakai untuk membenarkan anti nasionalisme ditafsirkan dengan agak memaksakan pendapat. Soalnya, memang tiada larangan eksplisit dan tegas dalam nash. Kalaupun ada, itu adalah larangan fanatisme sempit (`ashabiyyah).

Pun demikian, sesungguh nya nasionalisme sebagai ko munitas terbayang (imagined community) sebagaimana diterapkan di Indonesia sudah melampaui itu karena meleburkan berbagai suku bangsa dalam wadah NKRI. Sebaliknya, sejarah kekhalifahan dulu banyak yang masih berparadigma kesukuan-dinasti (Umayyah, Abbasiyah, Seljuk, Fathimiyah, Buwaih, dst) dan tidak egaliter. Soalnya, masih kental dengan perbedaan strata sosial antarumat Islam dan kafir zimi serta hak orang merdeka dan budak.

Kedua, menjadi nasionalis tidaklah otomatis berarti tidak peduli pada umat Islam di belahan dunia lain. Lagi pula, ide menyatukan seluruh umat Islam yang menyebar di berbagai negara itu susah--untuk tak dikatakan utopis. Lha wong untuk merukunkan Indonesia dengan Malaysia saja susah, seperti merukunkan antara Sunni dan Syiah bukanlah perkara mudah, apalagi mau menyatukan umat Islam di belahan dunia yang jauh dengan tantangan yang begitu banyak.

Justru, jika kembali melihat sejarah, khalifah Islam masa Abbasiyah dulu sudah terpecah-pecah sebelum umat Islam mengenal ide nasionalisme. Abbasiyah tercerai-berai menjadi dinasti-dinasti kecil karena fanatisme ke sukuan. Sekali lagi, dalam konteks ini In donesia masih lebih baik. Bukankah slogan `Bhinneka Tunggal Ika' itu adalah upaya me nyatukan berbagai suku bangsa dalam bingkai kesamaan sejarah, ba hasa, dan budaya?

Ketiga, suatu ide tak bisa disalahkan hanya karena ide itu berasal dari si ini atau si itu. Yang penting tetaplah substansinya dan dalam tataran ini Islam tidaklah bertentangan dengan nasionalisme dan demokrasi. Sejarah kekhalifahan klasik terbukti juga menyerap pola pemerintahan dari sistem peradaban tetangganya. Sistem kementerian (wizarah) misalnya, menyerap dari Persia.

Sejarah itu berlaku progresif. Misalnya, kita tidak bisa mengadopsi kembali konsep budak hanya karena konsep perbudakan itu ada dan diakui Islam baik di masa nabi maupun kekhalifahan. Tentunya, kita tidak ingin menolak penghapusan perbudakan hanya karena upaya menghapus perbudakan itu datang dari deklarasi internasional HAM 1948.

Fakta sejarah

Fakta sejarah perlu menjadi rujukan syariat. Sebab, menolak fakta sejarah, sebagaimana argumen yang kerap dipakai kelompok antinasionalisme, berarti berangkat dari ruang hampa untuk menerapkan bunyi teks kitab suci dalam realitas.

Kalaupun kita tak boleh melihat fakta kebobrokan yang terjadi dalam sebagian sejarah kekhalifahan klasik, kita masih bisa melihat pengalaman umat Islam di Madinah saat masih dipimpin Nabi Muhammad.
Di Madinah, masyarakat yang dihadapi Nabi sangat plural: muslim Muhajirin, muslim Anshar (Aus & Khazraj), 3 suku Yahudi (Nadhir, Quraizhah, & Qainuqa'), dan sebagian kecil Nasrani serta penyembah berhala. Bahkan, di masa awal, umat Islam masih minoritas jika dibandingkan dengan ahli kitab yang mayoritas. Pluralitas etnik dan agama disikapi Nabi dengan membuat traktat politik bernama Piagam Madinah (mitsaq al-Madinah).

Teks Piagam Madinah bisa kita dapatkan dari kitab sirah Nabi tertua yang pernah ditemukan, yakni as-Sirah an-Nabawiyyah, karya Ibnu Hisyam, pada Bab ar-Rasul Yuwadi'u al-Yahud (Rasulullah Mengikat Perjanjian dengan Yahudi). Poin pertama piagam itu menyebutkan begini: `Surat perjanjian ini dari Muhammad; antara orang beriman dan muslimin dari Quraisy dan Yatsrib, serta yang mengikuti mereka, menyusul mereka, dan berjuang bersama mereka; bahwa mereka adalah satu umat'.

Poin yang bisa kita ambil: Nabi Muhammad menyatukan setiap elemen masyarakat dalam ummah yang bahumembahu mempertahankan Madinah bila ada musuh menyerang. Madinah adalah gambaran tentang negara atau lebih tepatnya chiefdom, yang secara substantif sama dengan nasionalisme yang dibatasi wilayah geografis.

Pada tatarannya, Piagam Madinah itu adalah kontrak sosial yang kurang lebih sama dengan Pancasila. Dengan demikian, jelas bahwa Islam tidak bertentangan dengan nasionalisme. 

Mendongkrak Pangan Berbasis Kelautan

Mendongkrak Pangan Berbasis Kelautan
Andi Perdana Gumilang ;  Peneliti di Rokhmin Dahuri Institute for Marine and Fisheries
MEDIA INDONESIA, 28 Mei 2013


LEMBAGA kajian ternama McKinsey Global Institute pernah menyebutkan bahwa ekonomi Indonesia akan menempati posisi ketujuh dunia mengungguli Jerman dan Inggris. Pada 2030 diprediksikan perekonomian Indonesia akan ditopang empat sektor utama, yaitu bidang jasa, pertanian, perikanan, dan sumber daya alam. Dari sisi preferensi, ketersediaan pangan akan mengalami pergeseran pola pikir menuju pola makan sehat dari daging merah ke daging putih atau ikan.

Masuknya perikanan sebagai sektor utama penopang perekonomian Indonesia merupakan hal yang wajar, sebab luas wilayah Indonesia yang 75% teritorial laut (5,8 juta km2) lebih besar jika dibandingkan dengan wilayah daratan. Potensi kelautan dan perikanan telah menjadikan Indonesia memiliki modal dasar potensi pembangunan yang jauh lebih besar dan beragam daripada negara-negara lain. Karena itu, Indonesia semestinya bisa lebih maju dan mandiri ketimbang negara-negara di kawasan ASEAN lainnya terutama pada saat menjelang ASEAN Economic Community(AEC) 2015.

Namun, alih-alih kenyataannya menjadi maju, hingga kini kehidupan sosial-ekonomi keseharian rakyat masih banyak pekerjaan rumah yang harus diselesaikan. Sebab, sampai sekarang jumlah pengangguran dan penduduk miskin masih terlalu banyak. Keadilan dan kesejahteraan masih belum terwujud. Kasus korupsi semakin menggila. Perhatian pemerintah terhadap potensi sumber daya laut yang terhampar luas tidak mendapat perhatian secara serius. Karena itu, menjelang Hari Kelautan Dunia (World Ocean Day) yang diperingati setiap 8 Juni, kebijakan industrialisasi perikanan dan program berbasis blue economyyang menjadi program pemerintah saat ini harus mampu mengangkat kesejahteraan khususnya nelayan tradisional dan momentum dalam optimalisasi potensi sumber daya laut.

Dalam rangka itu, kita perlu mengoptimalkan kelautan sebagai sumber kedaulatan pangan. Luas laut Indonesia yang mencapai 5,8 juta km2 terdiri dari 0,3 juta km2 perairan teritorial, 2,8 juta km2 perairan pedalaman dan kepulauan, 2,7 juta km2 Zona Ekonomi Eksklusif (ZEE), serta terdiri dari jumlah pulau 13.466 yang menyimpan kekayaan luar biasa untuk dieksplorasi. Potensi total ekonomi dari sektor kelautan bisa mencapai US$1 triliun (sekitar Rp9.300 triliun) per tahun (Dahuri, 2013) atau dapat dikatakan setara dengan lebih dari 5 kali lipat APBN 2013.

Potensi laut Indonesia yang besar seharusnya menjadi fokus untuk membawa Indonesia ke masa depan yang lebih baik di tahun politik ini. Penelitian dan industri sudah saatnya mengembangkan dan memanfaatkan potensi laut. Apabila seluruh potensi kelautan ini dikelola dengan baik, diperkirakan, 85% perekonomian nasional bakal sangat bergantung pada sumber daya kelautan termasuk pangan.

Kemauan Politik

Laut merupakan kontributor terpenting bagi ketahanan pangan di Indonesia. Isu ketahanan pangan tak mesti bersumber dari darat. Banyak sumber pangan dari laut belum dioptimalkan. Padahal, biota laut dapat menjadi sumber makanan alternatif dan obat-obatan.

Berdasarkan penelitian yang dilakukan di perairan laut selatan Jawa dan barat Sumatra dari 2004-2006, terdapat 529 biota yang berpotensi untuk mendukung ketahanan pangan. Masing-masing 415 termasuk dalam jenis ikan, 68 jenis udang dan kepiting, serta 46 lainnya adalah jenis cumi-cumi. Indonesia memiliki sekitar 35 ribu spesies biota laut. Hal ini terdiri atas 910 spesies karang (75% total karang dunia), 850 spesies spons, 13 dari 20 spesies lamun dunia, dan 682 spesies rumput laut. Kemudian 2.500 spesies moluska, 1.502 spesies krustasea, 745 spesies ekinodermata, 6 spesies penyu, 29 spesies paus, dan lumba-lumba, serta 1 spesies dugong, dan lebih dari 2.000 spesies ikan.

Potensi industri bioteknologi pangan kelautan nilainya bisa mencapai US$50 miliar per tahun (Dahuri, 2012). Ironisnya, setiap tahun Indonesia justru kehilangan devisa sekitar US$5 miliar untuk mengimpor berbagai produk industri bioteknologi kelautan. Mulai teripang, omega-3, squalene, viagra, kitin, chitosan, dan spirulina. Indonesia hanya mengekspor biota laut mentah. Karena itu, sudah saatnya pangan dari sumber daya perikanan dan kelautan digarap dengan optimal.

Ada beberapa hal yang perlu dilakukan segera dalam upaya mendongkrak pangan berbasis kelautan. Tentunya ini membutuhkan kemauan politik dari pemerintah.

Pertama, pada tingkat makro, pemerintah perlu mengubah paradigma sumber pangan dari orientasi daratan ke arah lautan sebagai sumber pangan alternatif. Secara bertahap industri bioteknologi pangan kelautan perlu dibangun di setiap daerah pesisir lautan yang memiliki potensi produksi perikanan melimpah seperti di Indonesia kawasan timur. Dalam hal ini diperlukan ketersediaan infrastruktur yang memadai, logistik perikanan, keterampilan SDM, iklim investasi yang kondusif serta analisis potensi pasar domestik ekspor.

Kedua, menghapus impor seluruh bahan pangan yang bisa diproduksi di Tanah Air sendiri secara berkesinambungan. Hal ini butuh keberanian dan visi politik pangan yang tegas dan benar. Kasus korupsi berkaitan pangan harus diberantas secara masif dan pelakunya diberi hukuman berat. Ketiga, pemerintah perlu segera menjadikan sektor kelautan menjadi sumber kekuatan ekonomi nasional. Saatnya pembangunan nasional melebar ke kawasan pesisir. Permasalahan ekonomi, sosial, dan budaya masyarakat pesisir mutlak diperhatikan. Pembangunan infrastruktur di daerah pesisir lautan perlu dibenahi menjadi lebih baik.

Keempat, anggaran dan penelitian pangan laut mesti di tingkatkan. Dengan adanya riset penelitian di bidang pangan kelautan, akan menumbuhkembangkan inovasi dan daya saing produk. Identifikasi komoditas kelautan yang menjadi unggulan di setiap kabupaten/kota pesisir perlu dikembangkan sebagai kompetensi inti industri suatu daerah sehingga dapat terwujud 1 desa 1 produk unggulan pangan kelautan yang bernilai tambah. Pada akhirnya akan berkontribusi terhadap perekonomian regional secara umum.

Kelima, perlunya peran pemerintah dalam melindungi dan menyejahterakan nelayan sebagai pelaku usaha pangan. Penanganan hasil tangkapan laut oleh nelayan perlu dibenahi agar kualitasnya bagus dan harga tidak dimonopoli tengkulak. Program bantuan kapal Inka Mina yang ditargetkan sebanyak 1.000 kapal pada 2010-2014 dengan anggaran Rp1,5 triliun perlu dievaluasi untuk mendorong kemandirian pangan.


Dengan upaya tersebut, diharapkan pangan dari sektor kelautan dapat diaplikasikan di lapangan. Berbagai kendala sosiologi dan budaya masyarakat pesisir yang subsisten perlu diatasi. Karena itu, dibutuhkan kerja sama antar-stakeholder perikanan dalam mendongkrak pangan berbasis kelautan. Dari sini, sumber pangan dari laut akan berkontribusi besar sebagai penyangga pangan nasional. 

Ujian Nasional dan Urgensinya

Ujian Nasional dan Urgensinya
Teuku Ramli Zakaria ;  Dosen Fakultas Tarbiyah UIN Syarif Hidayatullah, Jakarta
MEDIA INDONESIA, 27 Mei 2013


BAGI bangsa Indonesia, upaya peningkatan dan pemerataan mutu pendidikan merupakan suatu yang mendesak untuk segera dilakukan. Kemajuan suatu masyarakat dan bangsa mensyaratkan sumber daya manusia (SDM) yang bermutu. Banyak bangsa, meskipun dengan sumber daya alam (SDA) sangat terbatas, dapat maju dan makmur karena mutu SDM sangat baik. SDM yang bermutu hanya dapat diwujudkan dengan pendidikan baik dan terukur.

Pasal 11 ayat (1) Undang-Undang No 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional mengamanatkan ‘Pemerintah dan pemerintah daerah wajib memberikan layanan dan kemudahan, serta menjamin terselenggaranya pendidikan bermutu bagi setiap warga negara tanpa diskriminasi’.

Ujian nasional (UN) 2013 sudah berlalu meskipun dalam suasana yang kurang produktif dan kondusif. Hasil UN SMA/ MA, SMK, SMALB, dan paket C sudah diumumkan pada 24 Mei 2013 dan akan disusul hasil UN SMP/MTs, SMPLB, dan paket B pada 1 Juni 2013. Hasil UN SD/MI dan paket A akan diumumkan 8 Juni 2013.

Kontroversi tentang UN dan kekisruhan dalam penyelenggaraannya tahun ini semakin memperkuat alasan pihak yang kontra untuk mendesak UN dihapus. Usulan penghapusan UN itu perlu dikaji dengan kehati-hatian. Jika dilihat dari perspektif peningkatan dan pemerataan mutu pendidikan, UN merupakan salah satu instrumen penting yang perlu untuk dipertahankan.

Namun, berbagai kelemahan baik secara institusional maupun administrasinya harus terus disempurnakan. Urgensi UN bagi peningkatan dan pemerataan mutu pendidikan, antara lain, mengukur pencapaian standar kompetensi lulusan secara nasional.

Kompetensi minimal

Tujuan UN ialah mengukur pencapaian standar kompetensi lulusan (SKL) secara nasional pada suatu jenjang dan jenis pendidikan dasar dan menengah. SKL ialah kompetensi minimal yang harus dikuasai siswa untuk lulus, bukan kompetensi maksimal atau kompetensi unggulan. Sekolah diberi kewenangan
untuk mengembangkan dimensi keunggulan, sesuai dengan tuntutan lingkungan serta visi dan misi masing-masing. Hal itu merupakan perwujudan dari prinsip otonomi dalam bidang pendidikan, sesuai dengan tuntutan peraturan perundang

-undangan yang berlaku. Pada tingkat daerah, pendidikan merupakan salah satu bidang pemerintahan yang diotonomikan. Pada tingkat sekolah disebut dengan manajemen berbasis sekolah (MBS), dengan kepala sekolah diberi kewenangan untuk mengoptimalkan potensi sekolah secara kreatif dan inovatif guna peningkatan mutu di sekolah. Pada tingkat guru diwujudkan dalam bentuk kewenangan guru untuk mengembangkan standar kompetensi (SK) dan kompetensi dasar (KD) secara kreatif dan inovatif, sesuai dengan tuntutan lingkungan serta visi dan misi sekolah, yang mengacu kepada kurikulum tingkat satuan pendidikan (KTSP) yang dikembangkan di sekolah.

Sesuai dengan prinsip otonomi pendidikan tersebut, pengukuran pencapaian SKL sebagai kriteria minimal mutlak diperlukan karena dua alasan utama. Pertama, sebagai acuan bersama untuk dicapai, yang secara bertahap dan sistematis menuju kepada tercapainya salah satu tujuan nasional, yakni mencerdaskan kehidupan bangsa. Kedua, supaya sekolah tidak memberikan pendidikan semu kepada peserta didik, yakni sekadar memberi ijazah, tidak membekali mereka dengan kompetensi yang mencukupi, sesuai dengan jenjang dan jenis pendidikan yang telah mereka tempuh.

Praktik itu pernah kita alami pada era 1970an, ketika kewenangan penyelenggaraan ujian akhir sepenuhnya diberikan kepada sekolah, yang disebut dengan evaluasi belajar tahap akhir (EBTA). Pada era itu, semua sekolah, belajar atau tidak, cenderung meluluskan siswa mereka 100%. Akibatnya, kita tidak memiliki tolok ukur tentang mutu pendidikan. Nilai rapor dan nilai surat tanda tamat belajar (STTB) tidak dapat dijadikan kriteria tentang pencapaian kompetensi siswa dan tidak dapat dibandingkan antarsekolah dan antartahun.
Nilai rapor dan nilai STTB sangat bergantung pada setiap sekolah. Nilai rapor dan nilai STTB dari sekolah-sekolah yang kurang baik bahkan pada umumnya lebih tinggi jika dibandingkan dengan nilai rapor dan nilai STTB sekolah-sekolah yang termasuk kategori baik. Atas dasar itu, pengukuran dan penilaian pencapaian kompetensi lulusan secara nasional mutlak diperlukan di era otonomi daerah saat ini.

Peningkatan mutu

Mutu pendidikan yang baik tidak dapat diraih secara instan, tetapi harus dengan kerja keras semua pihak yang terkait. Mutu pendidikan yang baik hanya dapat di wujudkan bila siswa dapat belajar dengan benar, guru berkesungguhan dalam melaksanakan tugas, orangtua memberi perhatian yang baik terhadap pembela jaran anak-anak di rumah, dan kepala sekolah bersungguh sungguh dalam menyeleng garakan manajemen sekolah yang mendukung tumbuh dan berkembangnya budaya mutu di sekolah.

UN sejatinya dapat mendorong semua pihak tersebut untuk bekerja keras guna mencapai kelulusan yang baik. Namun, dalam praktiknya setidaknya ada dua kendala yang menjadi faktor penghalang terwujudnya kemampuan kerja keras yang bersinergi dan konstruktif di antara pihak-pihak terkait. Pertama, faktor psikis masyarakat dan sekolah yang menginginkan lulus 100%. Sejak diimplementasikan ujian sekolah dan sampai pada saat pelaksanaan ebtanas, sudah berkembang budaya lulus 100%. Kedua, faktor otonomi daerah, karena pendidikan merupakan salah satu bidang yang diotonomikan, hasil UN sering dijadikan sebagai indikator kinerja pemerintah daerah. Oleh karena itu, di daerah-daerah tertentu ditengarai kepala daerah menekan kepala dinas pendidikan supaya hasil UN di daerah mereka baik.

Selanjutnya kepala dinas pendidikan menekan kepala sekolah dan kepala sekolah menekan guru. Faktor itu bisa menjadi pemicu bagi pihak-pihak tertentu untuk melakukan berbagai kecurangan dalam pelaksanaan UN. Berkaitan dengan faktor kedua itu kita mungkin bisa becermin dengan Malaysia. Negara jiran itu, meskipun menganut sistem pemerintahan negara serikat, punya acuan bahwa pendidikan tetap menjadi urusan pemerintah federal karena pendidikan dipandang sangat strategis dan penting bagi kemajuan bangsa. Hasil UN pada jenjang pendidikan dasar dan menengah di Malaysia tidak serta-merta dijadikan sebagai indikator kinerja pemerintah daerah atau pemerintah negara bagian.

Pemerataan mutu

Hasil UN yang jujur dan transparan sangat bermanfaat bagi upaya pemerataan mutu pendidikan. Berdasarkan hasil UN, pada tingkat sekolah, dapat diketahui kekuatan dan kelemahan pada berbagai mata pelajaran. Dengan demikian, dapat dilakukan upaya-upaya sistematis dan terarah untuk perbaikan. Pada tingkat daerah, dapat diketahui kekuatan dan kelemahan dari berbagai satuan pendidikan yang ada di daerah sehingga pemerintah daerah dapat melakukan upaya-upaya pembinaan dan pemberian bantuan secara tepat kepada satuan pendidikan. Pada tingkat nasional, dapat diketahui kekuatan dan kelemahan daerah masing-masing. Dengan demikian, pemerintah pusat dapat melakukan pembinaan dan pemberian bantuan secara tepat pula kepada daerah dalam rangka pemerataan mutu pendidikan.

Upaya pembangunan bidang pendidikan, terutama dalam rangka peningkatan dan pemerataan mutu pendidikan, harus didasarkan pada data empiris yang valid, tidak boleh didasarkan pada persepsi dan asumsi para pejabat, apalagi memanfaatkan opini yang dibangun melalui media massa. Hasil analisis daya serap UN dapat dimanfaatkan untuk perbaikan mutu pendidikan pada tingkat sekolah, daerah, dan pusat.
Negara-negara yang menyelenggarakan ujian yang bersifat high-stakes, seperti ujian nasional, membentuk badan yang diberikan otoritas penuh (examination authority) dalam penyelenggaraan ujian. Lembaga Peperiksaan di Malaysia, sebagai misal, meskipun berada di bawah Kementerian Pendidikan, independen dari pengaruh kementerian dan perdana menteri. Singapore Examination and Assessment Board (SEAB) di Singapura (swasta) juga sangat independen dalam penyelenggaraan ujian dan bertanggung jawab kepada parlemen.

Kedua lembaga penilaian di muka memiliki kewenangan penuh dalam penyelenggaraan ujian dan punya perangkat serta sumber daya yang mencukupi, sampai di daerah tempat diselenggarakannya ujian.
Itu sangat berbeda dengan di Indonesia saat ini. Menurut PP No 19 Tahun 2005 tentang Standar Nasional Pendidikan, penyelenggara UN ialah Badan Standar Nasional Pendidikan (BSNP). Namun, lembaga itu tidak memiliki otoritas penuh serta tidak memiliki perangkat dan sumber daya yang mencukupi untuk menjamin terselenggarakannya UN dengan baik dan kredibel.


Banyak tangan yang berperan dalam penyelenggaraan UN; banyak kepentingan pula yang dapat bermain. Dengan demikian, kejujuran dan kredibilitas dalam penyelenggaraan UN sangat sukar diwujudkan.