Selasa, 31 Januari 2012

SBY dan Perspektif Kebajikan


SBY dan Perspektif Kebajikan
Jannus T.H. Siahaan, ANALIS SOSIAL KEMASYARAKATAN, TINGGAL DI PINGGIRAN BOGOR
Sumber : KOMPAS, 1Februari 2012


Dalam strata kepemimpinan nasional, Susilo Bambang Yudhoyono berada di tingkat teratas. Ia presiden, kepala negara, dan kepala pemerintahan sekaligus. Bahkan karena jabatan itu, beberapa jabatan informal dan nonformal melekat kepadanya.

Jabatan-jabatan itu telah membuat Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) hadir hampir pada setiap momen dalam kehidupan rakyat. Itu sebabnya, sosoknya gampang dikenal. Tentu dengan bentuk pengenalan yang berbeda pada setiap orang. Bergantung pada beragamnya perspektif yang melekat pada diri SBY, seberagam label yang ia bawa selama mengurus negeri ini.

Sebagai pemimpin, SBY harus pandai berbagi empati dengan semua lapisan masyarakat tanpa kecuali. Ia juga harus sukarela menyelami bagian terdalam samudra kehidupan rakyat karena di pundaknya diletakkan amanat mulia sebagai representasi kehadiran misi Tuhan di tengah- tengah kehidupan ini.

Karena tanggung jawabnya amatlah besar di mata manusia dan di mata Tuhan, ia harus selalu berada dalam posisi siaga memikul dan mengambil alih segenap tugas dan wewenang yang secara sadar telah ia delegasikan kepada para pembantunya, termasuk kepada Polri dan TNI.

Beberapa waktu lalu, Presiden menunjukkan betapa ia memang telah membuktikan hal itu. Empati yang tinggi ia berikan kepada kepolisian ketika, menurut dia, kinerja aparat penegak hukum ini berada di ujung tanduk sebab disorot secara kritis oleh masyarakat meskipun para pemangku keamanan dan ketertiban umum ini telah melakukan pencapaian tertentu dalam tugas.

Terhadap mereka, SBY menegaskan posisinya yang senasib. ”Kekurangan Polri memang demikian kelazimannya. Saya berharap tak perlu Saudara terlalu gundah. Saya pun mengalami,” kata SBY saat membuka Rapim Polri di Mabes Polri.

Tak lama berselang, SBY kembali memberi pengarahan pada acara rapat pemimpin TNI/Polri 2012 di Auditorium PTIK, Kebayoran Baru, Jakarta Selatan: ”Biasanya untuk jajaran TNI dan Polri, kalau ada kesalahan dan kekurangan, itu segera mencuat dan beritanya beredar ke mana-mana. Tetapi, kalau ada prestasi dan capaian-capaian baik, suka nyaris tak terdengar. Tetapi, sebagaimana yang saya sampaikan kemarin di Kemayoran, tak perlu Saudara gundah.”

Beginilah kira-kira perspektif SBY tentang kebajikan yang lahir dari kebaikan sebuah pranata atau lembaga tertentu. Negara ini dibentuk dengan tujuan demi tercapainya kemaslahatan bersama. Untuk kepentingan itu, secara nasional bangsa ini memiliki konsensus dalam menentukan peta masa depan dan dalam memilih para pemimpin untuk diserahi amanat melaksanakan konsensus dimaksud.

Konsensus itu bisa berupa garis-garis besar haluan negara atau rencana pembangunan berjangka pendek, menengah, dan panjang. Para aparatur negara harus berjalan di atas garis-garis yang sudah disepakati bersama. Garis- garis itu juga berfungsi sebagai rambu agar penyelenggaraan negara tak meleset.

Konsensus serupa biasa dibuat sekelompok orang untuk tujuan tertentu dengan skala dan jangka waktu tertentu pula. Anggota kelompok harus berkomitmen menegakkan misi bersama untuk tujuan pembentukan kelompok itu.

”Summum Bonum”

Jika ada anggota yang melaksanakan fungsinya sebagaimana disepakati dan ditetapkan, memang begitulah yang seharusnya dia lakukan. Pada titik itu, ia baru sebatas menegakkan eksistensi kelompok. Untuk tujuan lahirnya summum bonum, masih diperlukan komitmen lain bagi terciptanya kebajikan untuk bersama. Kebajikan dalam makna yang sangat luas, yang memiliki daya jangkau dari langit tertinggi ke ceruk terbawah bumi.

Kalau aparat kepolisian mengayomi dan melayani masyarakat tanpa pretensi apa pun sebagaimana telah digariskan, memang begitulah yang seharusnya terjadi. Begitu pula jika mereka melakukan penyidikan suatu kasus sesuai dengan hukum beracara, memberantas aksi premanisme, membabat habis para penjahat, perang mati-matian menghadapi para koruptor, menjadi tempat berlindung masyarakat dari berbagai ancaman, dan memberi rasa aman. Itulah beberapa di antara garis-garis yang dibuat untuk terciptanya keamanan umum yang diamanatkan oleh undang-undang kepada kepolisian.

Lalu, apakah yang berjalan sesuai dengan ketetapan harus disebut prestasi? Prestasi adalah sebuah capaian yang berada di atas rata-rata garis yang sudah dipancangkan. Seorang pelajar yang mampu naik kelas akan di- anggap biasa, tetapi namanya akan disebut sebagai satu di antara the best ten kalau ia mencapai nilai di atas rata-rata alias di atas garis yang ditentukan. Prestasinya akan kian memunculkan kebajikan jika kepintarannya menular kepada kawan-kawannya di sekolah dan menjadi sumber hikmah bagi adik-adiknya di rumah untuk ikut berprestasi.

Jika seorang penganut agama tertentu menjalankan perintah tertentu dalam agamanya, memang begitulah komitmennya terhadap agama. Namun, agama bukan semata-mata pranata. Demikianlah, pemerintahan sebagai roda penggerak negara juga bukan semata-mata pranata.

Di sinilah pentingnya kita membuat dan terus mengembangkan sudut pandang atau perspektif tentang kebajikan hidup. Kalau perspektifnya adalah berlangsungnya penyelenggaraan pemerintahan sesuai rencana pembangunan berjangka pendek, menengah, dan panjang, memang demikianlah target capaian yang telah dibuat presiden sebagai kepala pemerintahan. Jika dengan modal tertentu seseorang melakukan kegiatan bisnis, lalu di ujung usaha modal kembali sebagaimana jumlah asalnya, tentu ia belum dapat dikatakan beruntung. Untung adalah kelebihan dari modal dan itulah yang kita sebut dengan kebajikan.

Balik Modal

Namun, seseorang yang balik modal saja sudah dianggap selamat jika kita menggunakan perspektif tertentu. Seperti perspektif yang digunakan SBY saat menilai dan membesarkan hati anak buahnya di kepolisian. SBY menyebut pelaksanaan SEA Games yang aman sebagai prestasi, yang ia nilai kurang diapresiasi semestinya. Padahal, penyelenggaraan SEA Games yang aman adalah sebuah keniscayaan dari tugas kepolisian.

Cukuplah disampaikan ”salut” karena tak melakukan kesalahan dalam melaksanakan tugas pengamanan. Tak perlu dengan pembelaan berlebihan sehingga membuka ruang melupakan kesalahan yang terjadi di bagian lain dari banyak tugas yang melekat pada lembaga kepolisian.

Kasus pencurian sandal jepit di Sulawesi Tengah, dua remaja yang mati tergantung di tahanan Polsek Sijunjung, aksi koboi anggota Brimob yang menyebabkan tewasnya warga di Bima (NTB), kasus pencurian tandan pisang, serangkaian aksi kekerasan di Papua dan Aceh, atau kasus berkelas nasional, seperti dugaan adanya rekening gendut, hanyalah beberapa di antara begitu banyak kasus yang menyebabkan kepolisian kita bukan semata-mata balik modal, melainkan justru menghanguskan modal yang diberikan rakyat.

Kebajikan itu berada di atas modal. Bukan karena ia meluap ke lingkungan sekitar sebab berlebih, tetapi ia selalu siap dituangkan tanpa menunggu isi harus memenuhi gelas dan cawan.

Simbolisme dalam Korupsi


Simbolisme dalam Korupsi
Indra Tranggono, PEMERHATI KEBUDAYAAN
Sumber : KOMPAS, 1Februari 2012


"Ketua Besar” dan ”Bos Besar” sama- sama menyukai ”apel malang” dan ”apel washington” segar. Sesaji itu harus disediakan jika ingin urusan lancar.
Sesaji atau sajen hanya dikenal dalam masyarakat yang memercayai mistikisme, saat makrokosmos ini dikuasai kekuatan besar tak tampak, semacam danyang (makhluk penunggu) dan kaum demit lain.

Simbolisme tak hanya dikenal dalam seni, tetapi juga korupsi. ”apel malang” dan ”apel washington” pada kalimat di atas tidak hadir dalam makna denotatif, tetapi konotatif-simbolis, yakni uang suap dalam bentuk rupiah dan dollar Amerika Serikat. Betapa ”cerdas” aktor-aktor korupsi ini secara semiotik. Mereka mampu menghadirkan praktik korupsi dalam realitas simbolis.

Simbol merupakan kata, tanda, dan isyarat yang digunakan untuk mewakili sesuatu yang lain: arti, kualitas, abstraksi, gagasan, dan obyek (Lorens Bagus, 1996). Simbolisme adalah pencapaian tertinggi kebudayaan: sublim dalam makna, gaya, dan pesan.

Simbolisme dalam korupsi, tak ayal membuat kita cemas. Pasalnya, para aktor korupsi telah mengadopsi khazanah budaya untuk mempercanggih praktik korupsi. Bukankah kejahatan paling sempurna adalah kejahatan yang mampu memanipulasi nilai dan makna yang selama ini merupakan wilayah garapan kebudayaan?

Kejahatan Sistemis

Ironis dan menakutkan jika nilai dan makna dimonopoli aksi kejahatan. Kejahatan yang berlangsung sistemis (didukung kekuasaan, aparatus, dan uang) memiliki potensi besar untuk menjungkirbalikkan nilai dan makna. Dengan rasionalisasinya, kejahatan bisa mengubah cara pandang terhadap nilai dan makna. Korupsi bisa dimaknai sebagai ”perbuatan wajar dan biasa” ketika dunia nilai dan makna dikuasai para koruptor.

Kita jadi ingat sebuah adagium: peradaban lemah akan dilibas oleh peradaban kuat. Kebenaran tak lagi bergantung pada nilai yang dikandungnya, melainkan pada kekuasaan penopangnya. Logikanya, jika ”peradaban” para koruptor kuat, ”kebenaran” yang dikonstruksi mereka akan mendominasi kehidupan. Korupsi pun dikonstruksi menjadi ”kebenaran” melalui berbagai cara: penaklukan hukum, manipulasi nilai, makna, dan realitas. Para koruptor pun jadi komunitas kuat yang memborong kebenaran. Mereka menghadirkan diri menjadi ”manusia terhormat” melalui pembentukan citra.

Korupsi tak hanya berkaitan dengan perampokan ”apel malang” atau ”apel washington”. Korupsi merupakan kejahatan yang melampaui etika, moral, kepantasan, kemanusiaan, dan peradaban (politik, ekonomi, sosial, dan budaya). Sifat korupsi lebih dari sekadar bengis dalam melakukan dehumanisasi.

Watak korupsi juga lebih dari sekadar brutal dalam merusak negara-bangsa. Kata-kata bengis, rakus, brutal, dan jahat tak lagi mampu menampung makna korupsi. Kata-kata itu kini terasa terlalu lunak dan sopan untuk menyebut sifat korupsi. Karena itu, para ahli bahasa perlu merumuskan makna dan kata baru atas kejahatan korupsi.

Tikus Lebih Mulia

Begitu juga dengan simbol tikus untuk koruptor. Binatang pengerat yang lincah itu terlalu remeh sebagai simbol perampok uang negara. Perilaku tikus jauh lebih sederhana dibandingkan ulah koruptor. Tikus hanya mencuri secuil kelapa, tetapi koruptor bisa merampok kebun kelapa berjuta-juta hektar.

Tikus tidak doyan minum minyak tanah, bensin, gas, timah, pasir besi, dan emas, sedangkan koruptor sangat doyan melahapnya, bahkan dari tambangnya. Tikus juga tidak pernah mencuri uang negara karena tikus memang tak punya negara dan tidak pernah mengenal uang. Tikus juga tidak pernah menyengsarakan rakyatnya karena tikus tidak pernah jadi bagian dari lembaga eksekutif, legislatif, dan yudikatif.

Tikus terlalu ”bermoral” untuk semua itu! Jadi, tikus terlalu ”mulia” menjadi simbol koruptor. Karena itu, para ahli makna, ahli semiotika, sudah saatnya mencari simbol baru untuk koruptor.

Di samping tindakan yuridis, hal penting dalam pemberantasan korupsi adalah pencegahan melalui nilai-nilai yang menjadi orientasi pikiran dan tindakan. Kita membutuhkan revolusi simbolis dan semantik untuk melawan kaum koruptor yang mengangkangi negeri ini.

Revolusi juga dibutuhkan untuk menandingi budaya simbolis yang kini diam-diam dibangun para koruptor. Revolusi simbolis dan semantik itu bisa terkait dengan bahasa/kata/makna dan pencitraan. Mari kita hukum koruptor secara simbolis dan semantik agar mereka tidak memonopoli nilai, simbol, dan makna serta menjadikan kejahatan mereka ”kebenaran”.

Sangat berbahaya jika kebenaran bukan ditentukan oleh etika, moral, nilai, norma, dan hukum, melainkan oleh kejahatan yang sistematis. Kita tak hanya membutuhkan Komisi Pemberantasan Korupsi, tetapi juga Komisi Penyelamatan Kebenaran Nilai (KPKN).

Manajemen Risiko dan Aspek Sosial


Manajemen Risiko dan Aspek Sosial
Achmad Deni Daruri, PRESIDENT DIRECTOR CENTER FOR BANKING CRISIS
Sumber : SINDO, 1Februari 2012



Krisis sosial yang kembali meletup akhirakhir ini seperti kasus Newmont dan Freeport memperlihatkan akan pentingnya manajemen risiko secara aspek sosial.  Dengan adanya kasus itu,perbankan juga harus mampu mengantisipasi letupan aspek sosial tersebut dalam operasi perbankan yang berbasis manajemen risiko. Manajemen risiko memiliki dampak terhadap aspek sosial di masyarakat. Masyarakat yang memiliki budaya menganggap penting manajemen risiko akan memiliki disiplin dan kesadaran yang sangat tinggi terhadap segala macam risiko yang berpotensi akan terjadi di masyarakat tersebut.

Dimensi kehidupan masyarakat akan secara sistematis menciptakan alur kehidupan yang bukan hanya memperhitungkan munculnya potensi risiko, tetapi juga mengeliminasi risiko tersebut. Karl Popper (1971) mengingatkan: “The piecemeal engineer will adopt the method of searching for, and fighting against,the greatest and most urgent evil of society, rather than searching for, and fighting for, its greatest ultimate good.” Namun ada satu tipe kesalahan yang akan muncul dari corak masyarakat yang berbudaya seperti itu,yaitu moral hazard.

Kesalahan ini dapat dieliminasi jika program masyarakat untuk menghindari risiko dapat memberikan pendidikan yang penting akan dampak negatif yang muncul dari moral hazard tersebut. Informasi asimetris merupakan sumber dari munculnya kegagalan pasar sehingga memerlukan intervensi terhadap pasar tersebut. Intervensi akan berhasil jika problem informasi asimetris dapat dieliminasi. Manajemen risiko sosial lebih luas ketimbang manajemen risiko bisnis.

Bisnis merupakan bagian dari kehidupan sosial. Penerapan manajemen risiko dalam kehidupan sosial akan menuntut berjalannya program rekayasa sosial. Untuk itu perlu dilibatkan seluruh ahli ilmu sosial. Bagi perbankan akan diperoleh manfaat yang sangat besar jika rekayasa sosial memberikan kontribusi bagi pembentukan budaya manajemen risiko di masyarakat itu sendiri.Dengan adanya kesadaran masyarakat, tercipta willingness to pay untuk produk manajemen risiko.

Jika kondisi ini sudah tercipta, tugas regulator adalah memberikan pelatihan-pelatihan bagi seluruh komponen masyarakat akan manajemen risiko tersebut. Bukan hanya itu, pemerintah dapat membentuk lembaga khusus yang bertugas mendalami penelitian dan pengembangan manajemen risiko. Lembaga ini sebaiknya disubsidi negara. Dengan demikian ada upaya sistematis untuk menciptakan masyarakat Indonesia masa depan sebagai masyarakat center of excellent dalam bidang manajemen risiko. Pada gilirannya manajemen risiko dapat menyebar bukan saja melulu pada sektor perbankan.

Terjadinya krisis keuangan di Amerika Serikat dan Uni Eropa sebetulnya memperlihatkan bahwa manajemen risiko belum melembaga pada kehidupan masyarakat mereka karena masih bersifat top down approach. Jadi mereka seyogianya mengembangkan task forcekhusus untuk melembagakan dan mengembangkan manajemen risiko di masyarakat mereka. Tanpa upaya ini, krisis keuangan akan berpotensi untuk kembali lagi di masa depan.

Pengawasan

Manajemen risiko masih merupakan pendekatan yang bersifat menara gading. Sehebat apa pun metodologi manajemen risiko yang dikembangkan, pada akhirnya sangat tergantung pada manusia yang menjalankannya.Kasus bobolnya UBS beberapa bulan yang lalu menjadi contoh bahwa manusia atau the man behind the gun masih merupakan faktor yang sangat penting dalam penerapan manajemen risiko. Untuk itu, aspek sosial dari penerapan manajemen risiko harus mendapatkan perhatian yang sangat serius.

Program pendidikan dari taman kanak-kanak hingga universitas seyogianya memberikan materi tentang manajemen risiko.Tentu materi itu dalam konteks memberikan kesadaran akan pentingnya manajemen risiko dalam kehidupan masyarakat.Masyarakat yang sadar akan pentingnya manajemen risiko merupakan modal untuk menghadapi konjungtur perekonomian dunia yang semakin liar.

Masyarakat Uni Eropa dan Amerika Serikat secara relatif memiliki tingkat pendidikan yang lebih tinggi ketimbang masyarakat negara berkembang lainnya, tetapi terbukti bahwa penerapan manajemen risiko masih sangat rapuh di negaranegara tersebut. Manajemen risiko masih merupakan menara gading yang hanya menjadi slogan untuk meninabobokan konsumen dan regulator. Untuk itu setiap universitas harus memiliki lembaga kajian manajemen risiko.

Lembaga ini harus merupakan lembaga yang bersifat otonom dan bebas pajak. Lembaga ini juga harus mendapatkan subsidi dari pemerintah. Pemerintah harus berani mengubah cara pandang bahwa pengembangan manajemen risiko tidak dapat diserahkan kepada pasar semata-mata. Buku-buku mengenai manajemen risiko harus disebarluaskan dengan harga semurahmurahnya. Untuk menghasilkan buku-buku manajemen risiko yang murah,pemerintah dapat belajar dari Pemerintah India.Setiap disiplin keilmuan juga harus mewajibkan mahasiswanya untuk mengambil paling tidak satu mata kuliah tentang manajemen risiko.

Bursa efek, komoditas, dan future harus memiliki lembaga pengembangan manajemen risiko yang sesuai dengan bisnis usaha bursa tersebut.Atau paling tidak ada persentase dari keuntungan yang diperoleh dari bursa tersebut yang dialokasikan bagi lembagalembaga manajemen risiko di perguruan tinggi nasional. Dengan upaya rekayasa sosial,diharapkan manajemen risiko dapat berjalan efektif bukan hanya pada sistem perbankan nasional, tetapi juga perekonomian Indonesia secara keseluruhan.

Dengan adanya lembaga-lembaga manajemen risiko di perguruan tinggi, diharapkan akan keluar modul- modul sosialisasi manajemen risiko yang cocok bagi masyarakat Indonesia yang dapat diaplikasikan bukan hanya oleh perbankan sehingga tidak ada lagi kasus sosial seperti kasus Newmont dan Freeport. Jika program ini berjalan dengan baik, bukannya tidak mungkin Indonesia akan menjadi pusat keuangan dunia di masa depan.

Indonesia mampu membangun pusat keuangan dunia baru dengan paradigma baru melalui rekayasa sosial berbasis manajemen risiko. Bukan hanya itu, perguruan tinggi di Indonesia juga akan menjadi pusat penelitian dan pengembangan manajemen risiko dunia.

Pajak untuk UKM


Pajak untuk UKM
Irwan Wisanggeni, DOSEN DAN ALUMNUS MAGISTER AKUNTANSI TRISAKTI
Sumber : KOMPAS, 1Februari 2012


Pemerintah, khususnya Direktorat Jenderal Pajak, sedang menggodok besaran tarif pajak untuk usaha kecil menengah. Saat ini, besaran pajak sektor UKM masih di bawah 5 persen.

Upaya ini bertujuan untuk mendorong ekstensifikasi peningkatan pajak ke kalangan usaha kecil menengah (UKM). Alasan pemerintah, pengusaha sektor ini sudah meraup omzet penjualan puluhan juta hingga miliaran rupiah, tetapi kontribusi pajaknya sangat sedikit.
Menteri Koperasi dan UKM Syarifuddin Hasan mengusulkan pendapatan UKM sebesar Rp 300 juta hingga Rp 4,8 miliar per tahun dikenai pajak 2 persen dari pendapatan. Untuk UKM berpenghasilan di bawah Rp 300 juta per tahun, besaran pajak diusulkan 0,5 persen.

Semua usulan itu bagus untuk dipertimbangkan. Namun, pengenaan pajak untuk UKM ini perlu diimbangi langkah-langkah pemerintah untuk lebih memberdayakan mereka, dan negara hadir saat pengusaha UKM dihadang kesulitan.

Perkembangan perekonomian di Indonesia dijiwai konsep pembangunan yang meletakkan akumulasi kapital sebagai determinan penting. Semangat ini telah menyebabkan terputusnya diskursus ekonomi berbasis kerakyatan atau UKM. Alih-alih menciptakan kebijakan pro-rakyat kecil, pemerintah malah menguntungkan industrialisasi dan konglomerasi.

Contoh paling heboh, gelontoran uang untuk menyelamatkan Bank Century. Kasus Bank Century tampak jelas bagaimana dana talangan (bail out) dengan mudah dikucurkan, sementara UKM harus jungkir balik mencari pinjaman modal.

Padahal, UKM sebagai salah satu pilar kekuatan ekonomi yang dapat menciptakan lapangan pekerjaan bukan sekadar omong kosong. Di saat krisis ekonomi 1997-1999, keberadaan merekalah yang membuat perekonomian Indonesia tetap berjalan. Saat itu, denyut perekonomian terus berdetak bukan hasil kehebatan pemikiran para menteri dan pebisnis kelas kakap yang selalu dimanjakan dengan pinjaman dari bank, tetapi berkat andil kalangan UKM.

Potensi Pajak

Potensi pajak dari sektor UKM memang besar. Jumlah UKM, termasuk pedagang kaki lima, berdasarkan data Asosiasi Pedagang Pasar Seluruh Indonesia, sekitar 11 juta. Jika rata-rata omzet mereka Rp 100.000 per hari kemudian dikalikan dengan jumlah pedagang kaki lima alias sektor informal, jumlah pajak mencapai Rp 1,1 triliun per hari.

Jumlah itu dihitung dari barang yang dijual, yang di dalamnya sudah melekat Pajak Pertambahan Nilai (PPN) sebesar 10 persen. Perhitungan ini adalah opini penulis, sedangkan berdasarkan penelitian yang lebih akurat—yang diteliti oleh dua ekonom kelahiran Jerman, Enste dan Scheneider—persentase ekonomi UKM di negara maju mencapai 14-16 persen dari produk domestik bruto (PDB).

Khusus untuk Indonesia, para ekonom memperkirakan andil UKM 30-40 persen dari PDB. Jika kegiatan ekonomi tahun 2010 sebesar Rp 6.422,9 triliun, itu berarti sekitar Rp 2.000 triliun hingga Rp 2.600 triliun. Jika asumsi tarif pajak untuk UKM sekitar 5 persen, potensi penerimaan pajak dari sektor ini lebih kurang Rp 100 triliun hingga Rp 130 triliun per tahun.

Dari perhitungan kasar di atas dapat diintisarikan bahwa potensi pajak UKM sangat besar. Hal ini membenarkan apa yang dikatakan JS Uppal, penulis buku Tax Reform in Indonesia, bahwa potensi pajak Indonesia sebenarnya tiga kali lebih besar daripada penerimaan saat ini.

Pajak Ilegal

Ironisnya, keberadaan UKM di Indonesia yang berpotensi menyumbang segala sektor—baik dari penciptaan lapangan pekerjaan maupun dari sektor penerimaan pajak—itu sering kali dalam beraktivitas justru dibebani dengan berbagai pungutan liar dan ”pajak preman”. Aksi pajak preman yang menimpa UKM seakan-akan menjadi hal yang lumrah dan biasa saja. Apalagi, upaya pemerintah dalam membersihkan praktik pajak ilegal masih minim sehingga praktik yang sangat membebani sektor UKM ini terus terjadi dari hari ke hari.

Cara kerja dari pemerasan ini dapat dibilang sama di seluruh pelosok kota di Tanah Air. Mereka membuat pungutan berupa uang keamanan atau retribusi untuk lokasi tempat usaha dari UKM. Pajak ilegal ini belum termasuk uang kebersihan, listrik, dan air yang harus dibayar secara rutin harian atau bulanan.

Keberadaan pajak ilegal ini akan menjadi kontradiktif: di satu sisi pemerintah ingin menggenjot pajak untuk meningkatkan penerimaan negara, tetapi di sisi lain pemerintah menutup mata atas terjadinya pajak ilegal yang tentunya membebani UKM. Oleh karena itu, pemerintah perlu segera memikirkan jalan keluar atas persoalan pajak ilegal ini.

Contoh konkret: pemerintah perlu membuat tata kelola yang memberikan tempat untuk UKM di setiap pelosok Tanah Air sehingga mereka bebas dari gangguan pajak ilegal (pajak preman). Hal ini bersanding lurus dengan apa yang dikatakan anggota Komisi Keuangan DPR, Kemal Azis Stamboel, yang mengingatkan pemerintah sebaiknya menata regulasi yang menghambat UKM ketimbang menetapkan besaran pajaknya. ”Masih banyak pungutan liar terhadap UKM. Contohnya, pungutan saat pendaftaran UKM,” katanya.

Sudah selayaknya pemerintah membayar lunas atas kesetiaan para pengusaha sektor UKM yang telah membantu perekomian Indonesia, yakni dengan melindungi mereka dari praktik pajak ilegal dan pungutan liar. Jika tempat usaha mereka dibuat nyaman, otomatis akan meningkatkan penghasilan mereka. Pada gilirannya tentu UKM akan membayar pajak dengan penuh kerelaan sehingga pemerintah tidak kehilangan potensi penerimaan pajak dari sektor UKM.