Senin, 31 Maret 2014

Merubah atau Mengubah?

Merubah atau Mengubah?

Holy Adib  ;   Wartawan Haluan
HALUAN, 01 April 2014
                                      
                                                                                         
                                                             
Kata dan penggunaannya dibentuk oleh kesepakatan bersama melalui aturan tertulis. Namun, tampaknya ada yang membuat kesepakatan bersama di luar aturan yang tidak tertulis. Tentu saja penggunaan kata di luar aturan tertulis merupakan sebuah kesalahan (besar), sebab telah diatur dalam Ejaan Yang Disempurnakan (EYD).

Saya sering membaca kata dalam sebuah tulisan atau lagu, yang penggunaan katanya berada di luar EYD, namun kata tersebut sepertinya sudah sepakat untuk dikatakan benar atau sesuai aturan. Kesalahan tersebut mungkin berasal dari budaya tutur, bukan budaya tulis.

Salah satu contoh kata tersebut adalah merubah. Bila diuraikan menjadi awalan dan kata dasar, maka tampaklah kesalahan kata merubah. Di dalam Bahasa Indonesia tidak ada awalan mer. Sedangkan kata dasar dari merubah adalah ubah. Lalu dari mana datangnya awalan mer dalam kata merubah?

Bila maksud kata merubah adalah menjadikan berbeda dari semula atau menukar bentuk misalnya warna atau rupa, maka kata yang tepat untuk mengganti kata merubah adalah mengubah. Kata mengubah jelas dapat diuraikan. Kata dasarnya adalah ubah yang kemudian diberi awalan meng sehingga menjadi mengubah. Awalan meng jelas terdapat dalam Bahasa Indonesia.

Kesalahan kata merubah tampak sangat kentara ketika dijadikan kata pasif, yakni dirubah. Awalan dir tidak terdaftar dalam Bahasa Indonesia.

Kesalahan penggunaan kata merubah juga terlihat ketika diketik di halaman Microsoft Office Word yang menggunakan fitur Auto Correct Bahasa Indonesia. Jika ditulis kata merubah, maka Microsoft Office Word akan menggarisbawahi kata tersebut secara otomatis dengan warna merah sebagai tanda kesalahan. Namun, jika dituliskan kata mengubah, Microsoft Office Word tidak akan memberikan garis berwarna merah. Microsoft Office Word adalah mesin yang tidak bisa menipu dan ditipu seperti manusia.

Variasi lain dalam kesalahan penggunaan kata mengubah selain merubah adalah merobah. Sudahlah awalan mer merupakan awalan ilegal, ditambah pula dengan kata dasar obah yang juga ilegal.

Dengan mengetahui awa­lan, akhiran dan kata dasar sebuah kata, maka akan mudah terlihat betul atau salah penggunaan sebuah kata.

Lalu dari mana datangnya awalan mer pada kata merubah? Saya mencoba menjawabnya sesuai kemampuan saya. Saya menduga, kata merubah disepakati untuk digunakan berdasarkan kata berubah. Penggunaan kata berubah sudah tepat, sebab kata tersebut berasal dari kata dasar ubah yang diberi awalan ber. Awalan ber adalah awalan yang terdaftar dalam Bahasa Indonesia sebagai awalan yang legal. Barangkali, penggunaan kata merubah didasari oleh kemiripan bunyi dengan kata berubah, yakni sama-sama mengandung bunyi er; mer dan ber.

Kata adalah unsur bahasa yang diucapkan atau dituliskan. Pengguna yang sering menggunakan kata yang salah, maka dengan sendiri akan mewariskan kata yang salah kepada pengguna kata lainnya. Dengan menggunakan kata yang salah, maka rusaklah bahasa!

Salah satu lagu yang saya dengar mewariskan penggunaan kata yang salah adalah lagu yang dinyanyikan oleh Once Mekel yang berjudul Aku Mau. Pada bait pertama larik ketiga lagu tersebut terdapat lirik, “tapi takkan merubah perasaanku”. Lagu itu cukup digemari oleh masyarakat sehingga cukup populer terutama di kalangan generasi muda. Kepopuleran lagu tersebut adalah keuntungan bagi label rekamannya dan merupakan kerugian bagi bahasa. Kenapa bahasa dirugikan oleh lagu itu? Karena mensosialisasikan kata merubah kepada pendengar yang juga merupakan pengguna bahasa. Akibatnya, kata merubah disepakati sebagai kata yang benar bagi mereka yang tidak mengetahui penggunaan kata yang sebenarnya. Karena orang terbiasa mendengar kata merubah, maka kata tersebut menjadi tidak asing lagi di telinga dan enak didengar serta diucapkan. Orang yang terbiasa mendengar kata merubah, telinganya akan aneh mendengar kata mengubah dan cenderung menganggapnya salah.

Lagu Once tersebut adalah contoh kecil perusakan bahasa melalui media, yakni musik. Yang paling menakutkan adalah, perusakan bahasa melalui media massa seperti suratkabar cetak mau pun online, televisi dan radio. Ribuan orang setiap hari menikmati media massa. Media adalah penyebar bahasa. Jika media salah menggunakan bahasa, maka rusaklah pengetahuan orang tentang penggunaan bahasa yang benar.

Bahasa di media tidak terlepas dari wartawan dan redaktur. Wartawan sebagai orang yang mewartakan kebenaran, juga harus mewartakan kebenaran bahasa. Jika wartawan salah menggunakan bahasa, maka redaktur bisa mengoreksinya. Namun jika wartawan salah menulis sebuah kata, lalu kata yang salah tersebut lolos dari pemeriksaan redaktur, maka ribuan orang berpotensi menggunakan kata yang salah itu, kecuali orang yang berpedoman kepada EYD dan mempelajari bahasa sampai ke akar-akarnya.

Sembari terus mempelajari kata dan bagaimana menggunakannya dengan benar, saya teringat status Facebook kawan saya, Heru Joni Putra, “belajar memang menyakitkan, tapi ketidaktahuan lebih menyakitkan.”

Keputusan Rasional Menaikkan BI Rate

Keputusan Rasional Menaikkan BI Rate

Sabaruddin Siagian  ;   Dosen Institut Perbanas Jakarta
KORAN JAKARTA, 01 April 2014
                                      
                                                                                         
                                                             
Kebijakan menurunkan suku bunga acuan atau BI Rate sudah sirna kendati inflasi menurun dan nilai tukar rupiah menguat. Bahkan, Bank Indonesia (BI) kemungkinan besar masih bakal menaikkan BI Rate untuk menstabilisasi rupiah dan perekonomian.

Alasan kuat BI tidak menurunkan BI Rate karena bank sentral AS (The Federal Reserve/The Fed) akan menaikkan suku bunga acuan atau Fed Fund Rate 1 persen tahun 2015 dari sekarang yang hanya 0,25 persen. Kemudian, tahun 2016, The Fed akan menaikkan lagi Fed Fund Rate menjadi 2,25 persen.

Ditambah lagi, The Fed konsisten mengurangi (tapering off) kebijakan stimulus moneter, quantitative easing, sekarang 55 miliar dollar AS dari semula 85 miliar dollar AS.

Kenaikan Fed Fund Rate dan adanya konsistensi pengurangan stimulus moneter The Fed membuat maka dana-dana global, khususnya dari negara emerging markets, menuju perekonomian AS. Hal itu yang membuat dollar AS menguat terhadap mata uang negara-negara lain, termasuk rupiah, baru-baru ini.

Pada saat Joko Widodo dideklarasikan oleh Partai Demokrasi Perjuangan (PDIP) menjadi calon presiden, rupiah menguat ke level 11.200-an per dollar AS dari 11.400-an. Ketika Gubernur The Fed Janet Yellen mengeluarkan pernyataan rencana kenaikan suku bunga acuan rupiah melemah lagi ke 11.400-an.

Melemahnya rupiah, kendati ada dorongan Joko Widodo, mencerminkan kuatnya efek Yellen dalam menentukan arah perekonomian nasional Indonesia, khususnya menyangkut rupiah dan kebijakan moneter yang akan BI ambil ke depan.

Dengan penguatan rupiah 7 persen dari Januari sampai saat ini dan penurunan inflasi menuju target 3,5–5,5 persen, kalau tidak melihat secara hati-hati memang BI dapat ditekan supaya menurunkan BI Rate.

Padahal, penguatan rupiah secara tiba-tiba bukan karena kekokohan fundamental ekonomi saja, tetapi lebih besar dipengaruhi oleh aliran dana jangka pendek atau hot money yang masuk ke Indonesia.

Besarnya aliran dana jangka pendek itu karena adanya kekhawatiran investor global terhadap pertumbuhan ekononi AS akibat dampak bencana alam atau cuaca ekstrem di Negeri Paman Sam sehingga pemodal menambah portofolionya ke negara emerging markets, termasuk Indonesia.

Besarnya dana global berjangka pendek yang masuk ke perekonomian Indonesia telah membuat rupiah menguat tiba-tiba dari Januari sampai kini mencapai 28 triliun rupiah. Kalau ada usulan berbagai analisis dari para ekonom perlunya BI menurunkan BI Rate untuk mencegah rupiah yang kuat terlalu besar, maka usulan penurunan BI Rate itu sangat keliru atau tidak tepat.

Tahan Pertumbuhan

Penguatan rupiah, saat ini, adalah karena guyuran hot money dari investor global. Bila bank sentral Indonesia menurunkan BI Rate tentu akan meningkatkan risiko krisis rupiah dan ekonomi, sedangkan tujuan bank sentral menaikkan BI Rate menjadi 7,5 persen bukan untuk meredam inflasi, tetapi dalam rangka menormalisasikan atau menurunkan pertumbuhan ekonomi karena kapasitas perekonomian Indonesia kurang mampu mendorong pertumbuhan yang tinggi.

Kapasitas perekonomian tidak mampu mendorong pertumbuhan yang tinggi seperti mencapai target yang ditetapkan APBN 2014, dalam kisaran 5,8–6,2 persen, yang tecermin masih tingginya defisit transaksi berjalan (current account).

Pada kuartal II-2013 mencapai 9,9 miliar dollar AS atau 4,4 persen dari pendapatan domestik bruto (PDB). Walaupun transaksi tahun berjalan 2013 menurun menjadi 3,2 persen dari PDB.

Tetapi, Januari 2014, necara perdagangan mengalami defisit lagi 430 juta dollar AS. Hal ini mencerminkan bahwa supply dan demand dollar AS pada perekonomian Indonesia belum sehat. Dengan demikian, rupiah masih rentan terhadap tekanan eksternal dan internal perekonomian.

Karenanya, BI sering mengeluarkan pernyataan bahwa kebijakan moneternya ketat dalam rangka menstabilisasi rupiah dan perekonomian. Dengan stabilisasi perekonomian, tentu memerlukan penurunan pertumbuhan ekonomi.

Dengan kebijakan stabilisasi sedemikian, BI mengoreksi pertumbuhan ekonomi tahun 2014 menjadi 5,5–5,9 persen dari 5,8–6,2 persen. Koreksi pertumbuhan ekonomi tersebut diperkuat Bank Dunia yang memperkirakan pertumbuhan ekonomi Indonesia hanya 5,3 persen pada 2014.

Dengan pertumbuhan ekonomi 5,5–5,9 persen, BI minta kepada perbankan meningkatkan pertumbuhan kreditnya hanya 15–17 persen. Tujuannya supaya mampu mengurangi pendanaan impor barang modal, bahan baku, bahan pembantu, dan barang konsumsi. Dengan demikian, juga otomatis mengurangi defisit transaksi tahun berjalan.

Pencapaian pertumbuhan ekonomi 5,5–5,9 persen dan pertumbuhan kredit perbankan hanya 15–17 persen, maka target mengurangi defisit transaksi tahun berjalan di bawah 3 persen dari PDB dapat dicapai. Idealnya, target defisit mencapai 2,5 persen dari PDB.

Dengan mencapai target, maka rupiah dan perekonomian stabil. Jika transaksi tahun masih di atas 3 persern dari PDB pada periode kuartal I-2014, mau tidak mau, BI harus menaikkan BI Rate lagi pada Rapat Dewan Gubernur pada April ini.

Selain untuk memastikan target pencapaian transaksi tahun berjalan di bawah 3 persen, kebijakan menaikkan BI Rate lagi untuk mengantisipasi pelarian modal atau hot money secara masif karena tingkat suku bunga perbankan nasional tidak kompetitif lagi karena negara-negara lain, khususnya emerging markets, sudah lebih bulu menaikkan suku bunganya cukup besar untuk mengantisipasi kenaikan suku bunga acuan AS.

Dengan menaikkan BI Rate pada Rapat Dewan Gubernur nanti, aset-aset rupiah menjadi menarik sehingga mencegah pelarian modal secara masif dan otomatis mengurangi risiko krisis rupiah dan ekonomi.

Alhasil, kebijakan moneter BI kelak kemungkinan besar menaikkan BI Rate lagi dan mustahil menurunkannya. Kebijakan moneter ketat tahun 2014 adalah rasional dan strategik untuk melindungi atau memitigasi perekonomian nasional dari gelombang tekanan eksternal.

Membangun Jakarta Baru

Membangun Jakarta Baru

Sabam Sirait  ;   Calon Anggota DPD DKI Jakarta
KORAN SINDO, 01 April 2014
                                      
                                                                                         
                                                             
Dalam sebuah diskusi yang diadakan Radio SINDO Trijaya FM minggu lalu Wakil Gubernur DKI Jakarta Basuki Tjahaja Purnama (alias Ahok), yang menjadi panelis bersama saya, menyatakan bahwa untuk membangun sebuah Jakarta Baru tidak bisa dilakukan oleh pemerintah dan aparat Provinsi DKI Jakarta saja.

Membangun Jakarta Baru juga membutuhkan dukungan dan sinergi dari pemerintah daerah di sekitarnya. Memang, untuk mewujudkan Jakarta Baru butuh penataan yang serius. Apalagi hingga kepemimpinan Jokowi- Ahok dua problem dasar DKI Jakarta yakni kemacetan lalu lintas dan masalah banjir belum dapat diatasi secara tuntas. Berbagai hambatan, baik secara teknis maupun struktural, kerap menghalangi keinginan gubernur dan wakil gubernur untuk membenahi Jakarta.

Namun, sesungguhnya bukansaja dukungandari pemerintah daerah sekitar Jakarta seperti Bogor, Depok, Tangerang, dan Bekasi yang dibutuhkan untuk membangun Jakarta, melainkan juga dukungan dari berbagai lembaga yang memiliki keterkaitan dengan urusan Ibu Kota seperti MPR/DPR, Dewan Perwakilan Daerah (DPD), dan pemerintah pusat (presiden beserta menteri-menterinya). Dukungan seluruh stakeholder Jakarta itulah yang dibutuhkan guna membangun Jakarta Baru.

Sinergi antara pemerintah daerah DKI Jakarta dan pemerintah pusat sebuah keniscayaan dalam membangun Jakarta. Presiden dan gubernur DKI Jakarta harusmemilikivisidanpandangan yang sama soal Jakarta Baru. Mantan Gubernur DKI Jakarta Ali Sadikin yang terkenal dengan ketegasan dan ide-ide kreatifnya tentang Jakarta itu saja selalu mengatakan kepada saya bahwa dirinya hanyalah menjalankan apa yang menjadi kebijakan dan impian Presiden Soekarno tentang Jakarta.

Para wakil rakyat, terutama anggota Dewan Perwakilan Daerah (DPD) yang merupakan perwakilan daerah, seharusnya berperan dalam membangun Jakarta— tentu saja sesuai tugas dan kewenangannya. Apalagi kewenangan lebih besar yang diberikan untuk DPD periode mendatang salah satunya bersama- sama DPR menyusun APBN dan undang-undang desentralisasi dan pemerintahan daerah, bagi saya, merupakansebuah kesempatan yang harus dimanfaatkan sebesar-besarnya bagi anggota DPD.

Salah satu hal yang dapat dilakukan DPD adalah bagaimana memperjuangkan anggaran untuk daerah-daerah di sekitar DKI Jakarta. Sampai saat ini perbandingan anggaran Jakarta dan daerah sekitar masih sangat timpang. Pada tahun anggaran 2014 APBD DKI Jakarta disahkan sebesar Rp72 triliun. Sementara APBD Provinsi Jawa Barat tidak sampai sepertiganya, hanya sebesar Rp 21,6triliun, dan APBD Provinsi Banten lebih kecil lagi sebesar Rp7,3 triliun. Apalagi untuk tingkat kabupaten/kota pasti lebih kecil lagi anggarannya. Ketimpangan anggaran yang begitu besar itu dapat menimbulkan kesulitan tersendiri bagi Jakarta Baru.

Bagi saya, yang disebut dengan Jakarta Baru bukanlah sebuah gambaran tentang kota metropolitan yang penuh dengan gedung-gedung bertingkat dan kesibukan yang luar biasa seperti kota New York, Tokyo, ataupun kota-kota besar di dunia lain. Jakarta Baru yang saya bayangkan adalah sebuah kota yang tertata rapi, aman, nyaman dan manusiawi, serta masyarakatnya tertib dan disiplin.

Sebagai sebuah ibu kota negara Republik Indonesia, Jakarta harus mencerminkan tingkat peradaban masyarakat yang lebih tinggi yang dapat diperlihatkan oleh tata perilaku masyarakatnya yang tertib dan disiplin. Karena itu, yang tidak kalah penting dari itu semua adalah juga peran dari masyarakat itu sendiri. Komunitas-komunitas masyarakat yang ada di DKI Jakarta harus dilibatkan untuk membangun Jakarta Baru. Kesadaran masyarakat untuk hidup bersih dan tertib harus terus ditingkatkan.

Hal yang sederhana adalah membuang sampah pada tempatnya. Saya saksikan dengan mata kepala sendiri saat berkendara di jalan masih banyak penumpang di dalam mobil membuang sampah seenaknya di jalan raya melalui jendela mobilnya. Saya juga mengingatkan agar pemerintah daerah DKI Jakarta tidak lagi menggunakan cara-cara kekerasan dalam menangani berbagai masalah sosial di Jakarta. Boleh-boleh saja bersikap tegas dalam menghadapi para pemukim liar ataupun pedagang kaki lima, tapi sedapat mungkin jangan memakai cara-carakekerasan.

Memang setiap kebijakan politik pastilah tidak bisa menguntungkan atau mengenakkan semua pihak. Untuk itu, perlu dipikirkan dan direncanakan secara cermat sehingga tidak merugikan banyak orang, apalagi yang berkaitan dengan rakyat kecil. Mewujudkan Jakarta Baru butuh kerja keras semua pihak. Perubahan di wajah Jakarta diyakini akan mampu mengubah wajah Indonesia secara keseluruhan.

Untuk itu, kemampuan pemimpin DKI Jakarta untuk membangun kesadaran semua pihak sehingga mau secara sukarela bersama-sama membangun Ibu Kota kita yang tercinta ini amat dibutuhkan. Saya yakin Jokowi-Ahok adalah orang yang tepat untuk mewujudkan Jakarta Baru.

Ekonomi, Lingkungan dan Monorel

Ekonomi, Lingkungan dan Monorel

Prima Gandhi  ;   Pengajar pada Departemen Ekonomi Sumber Daya
dan Lingkungan FEM IPB
KORAN SINDO, 01 April 2014
                                      
                                                                                         
                                                             
Perbincangan tentang monorel kembali ramai dibahas di media massa dan media sosial. Monorel seakan menjadi trending topic, mungkin karena banyak alasan.

Pertama, kesemrawutan lalu lintas di Jakarta semakin parah sehingga orang menuntut adanya alat transportasi massal yang efektif. Kedua, ada segelintir orang penting yang mengusahakan agar program Gubernur DKI untuk mengatasi kemacetan ini dibatalkan. Penyebab utama kesemrawutan di Jakarta adalah arus lalu lintas melampaui kapasitas jalan akibat jumlah kepemilikan kendaraan yang tidak bisa dikendalikan oleh pemerintah.

Selain macet, pemborosan energi, kerugian waktu, peningkatan polusi udara, dan peningkatan stres pengguna jalan merupakan dampak lain kesemrawutan Jakarta. Melihat realitas dan dampak kesemrawutan lalu lintas ini, memang sangat disayangkan jika ada segelintir orang berusaha membatalkan program monorel.

Secara makro, monorel dibutuhkan Jakarta karena moda transportasi massal ini juga dapat melestarikan lingkungan. Jakarta adalah kota dengan tingkat polusi yang buruk. WHO (2010) menempatkan Jakarta bersama-sama Mexico City, Beijing, dan Kairo sebagai metropolitan dengan udara yang paling tercemar. Masih dalam skala global, kadar partikel debu (particulate matter) yang terkandung dalam udara Jakarta adalah yang tertinggi nomor 9 (104 mikrogram per meter kubik) dari 111 kota dunia yang disurvei oleh Bank Dunia.

Penyebab paling signifikan dari polusi udara di Jakarta adalah gas buang kendaraan bermotor yang menyumbang andil sebesar kurang lebih 70 persen dari total polusi udara. Situasi ini bisa bertambah buruk mengingat setiap harinya meluncur 1.000 unit mobil baru dan 5.000 unit sepeda motor baru di jalanan ibu kota. Monorel yang sedang dikembangkan di Jakarta adalah alat transportasi massal dengan rata-rata enam gerbong sekali jalan, melaju setiap tiga menit, dengan kapasitas penumpang bisa mencapai 600 ribu orang per hari.

Dengan adanya monorel yang berbahan bakar listrik, sehingga amat ramah lingkungan, maka diharapkan polusi udara di Jakarta bisa turut terkurangi. Pelajaran dari Las Vegas, Amerika Serikat, pada tahun 2007 menunjukkan, sistem monorel di sana sudah membantu menghapus emisi sebanyak lebih dari 58 ton karbon monoksida (CO), senyawa organik volatil (VOC), dan nitrogen oksida (NOx) selama setahun. Adanya monorel di sana memang sanggup mengurangi laju kendaraan sejauh 3,2 juta mil di jalan raya utama Southern Nevada.

Monorel juga memakai roda karet yang tidak berisik saat dipakai melintas di atas rel beton. Ini merupakan kelebihan monorel dibandingkan MRT dan KRL Commuter Line yang memakai roda besi dan berjalan di atas rel besi pula, sehingga menimbulkan polusi suara. Sepertinya monorel memang pas untuk Jakarta. Moda transportasi ini hanya membutuhkan ruang kecil untuk tiang-tiang penyangganya.

Monorel juga bisa didesain untuk mengatasi belantara beton ibukota. Moda ini bisa dibawa menanjak, menurun, berbelok lebih tajam dan cepat dibanding kereta biasa. Utamanya lagi, monorel juga aman karena keretanya yang seakan memegang erat jalur rel. Jalur monorel yang berada di atas jalan raya untuk menghindarinya dari ancaman tabrakan dengan pejalan raya dan pengendara lainnya. Menurut catatan the monorails society di Amerika, dari sebanyak 2 miliar pengguna monorel di seluruh dunia, angka kecelakaannya ternyata masih 0.

Selain itu monorel juga menguntungkan secara bisnis. Dengan pengelolaan yang tepat dan efisien, kita bisa mengambil contoh Tokyo-Haneda Monorail yang sudah beroperasi sejak 1964. Layanan ini dimiliki oleh swasta dan terus menghasilkan keuntungan setiap tahun. Begitu pula The Seattle Center Monorail, yang dibangun tahun 1962, dijalankan oleh swasta pula dan sanggup memberikan pajak signifikan setoran ke pemerintah kota Seattle. Belakangan, kota-kota berpenduduk padat di seluruh dunia terus mengembangkan monorel.

Ambil contoh Mumbai dan Chennai di India, Beijing dan Xi’an di Tiongkok, Bangkok (Thailand), dan Sao Paolo (Brasil). Di sini, monorel juga bisa diharapkan mampu meningkatkan daya saing ekonomi Indonesia. Jakarta sebagai pusat ekonomi Indonesia dinilai sudah tidak efisien dan efektif untuk berbisnis. Di kota ini, mobil hanya melaju dengan kecepatan rata-rata 8,7 kilometer per jam! Dan setiap hari, setiap orang terpaksa membuang waktu setidaknya dua jam hanya untuk beperjalanan.

Kesemrawutan, kemacetan dan banjir memiliki opportunity cost yang tinggi terhadap bisnis. Pusat Penelitian Pusat Pengkajian dan Pengembangan IPB (P4W) Institut Pertanian Bogor menyatakan, kesemrawutan Jakarta mengakibatkan merosotnya daya saing Jakarta sebagai kota bisnis di mata Internasional. Jika ini terus berlangsung maka Jakarta bisa kehilangan daya saing bisnis dan ekonomi di tahun 2030 (Ernan Rustiadi, 2010).

Selain itu, berdasarkan data Kadin DKI yang didapatkan dari kajian Universitas Indonesia di akhir tahun 2013, kerugian ekonomi akibat kemacetan di Jakarta ini setiap tahunnya berkisar Rp12,8 triliun. Sementara, monorel lebih murah dibangun dan dirawat dibanding kereta bawah tanah. Jika ada monorel, dan moda transportasi massal ini berkembang di Jakarta, maka setiap orang bisa merasa lebih nyaman hidupnya. Waktu bisa dialokasikan secara lebih produktif.

Manfaat lain dari proyek monorel adalah terciptanya lapangan kerja. Tak kurang dari seribu pekerja baru akan terserap dalam proyek ini. Monorel juga bisa membuat Jakarta tidak lumpuh saat banjir. Jakarta, sebagai kota pesisir, rentan pada tingginya curah hujan dan peningkatan permukaan laut. Kedua hal itu merupakan penyebab banjir yang mampu melumpuhkan kota.

National Geographic dalam laporan akhir tahun 2013 menyatakan Indonesia sebagai kota kesebelas rawan banjir dari 101 negara yang disurvei di dunia. Ini berarti sampai 20 tahun ke depan Jakarta tetap rawan banjir. Monorel dengan jalur menggunakan tiang penyangga, memberikan solusi bagi masyarakat agar bisa bertransportasi saat banjir.

Dengan banyaknya manfaat dari monorel, kebijakan membangun monorel harus segera dimulai. Kita harus melihat monorel ini sebagai suatu kesatuan sistem transportasi massal di Indonesia. Monorel adalah salah satu penyangga dalam sistem tersebut yang ke depannya diharapkan sistem transportasi massal di Jakarta akan kian besar dengan berbagai pilihan yang memudahkan warga Jakarta.

Jika kita masih bercita-cita menjadi negara besar dan sejahtera, kita harus bisa melepas vested dan political interest pribadi sebagai warga negara. Terakhir, untuk membuat Jakarta lebih baik, masyarakat Jakarta harus mementingkan kepentingan bersama dibanding kepentingan pribadi atau kelompok.

Berpolitik dengan Bahasa Hati

Berpolitik dengan Bahasa Hati

Mohamad Sobary  ;   Esais, Anggota Pengurus Masyarakat Bangga Produk Indonesia,
untuk Advokasi, Mediasi, dan Promosi
KORAN SINDO, 31 Maret 2014
                                      
                                                                                         
                                                             
Dalam drama Rendra, ”Panembahan Reso”, ada ketegangan antargenerasi. Raja tua, yang sudah 85 tahun usianya, masih senang menikmati kekuasaan. Tanpa menyadari— atau pura-pura tidak menyadari— bahwa para pangeran, yang banyak jumlahnya, sudah mulai kasak-kusuk tentang tahta.

Masing-masing menimbang bahwa dirinya yang paling pantas mengganti kedudukan Baginda. Dan kemudian, diamdiam, mulai muncul persaingan, yang makin lama makin terbuka. Intrik, fitnah, dan usaha saling menjegal, tampak di permukaan. Baginda Raja tua, akhirnya menyindir mereka, bahwa mereka belum akan becus memerintah. Mereka dianggap masih mentah. Ibarat permainan silat, para pangeran, generasi muda, dianggap kebanyakan gerak tanpa arti.

Orang tua, yang sudah matang, dengan satu gerak lembut, tanpa membuang-buang tenaga, dengan mudah bisa melumpuhkan musuh. Kita tahu, ini gambaran bahwa di dalam kekuasaan yang mengasyikkan, dan penuh pesona, generasi tua tak mau berbagi dengan generasi tua. Ibarat orang mengemut gula—biasanya gula merah—makin lama terasa manis, dan orang tak mungkin mau begitu saja melepaskannya. Di dalam drama itu diperlukan suatu pertumpahan darah untuk menyingkirkan Raja tua.

Dan para pangeran habis di dalam pertempuran membasmi pemberontakan. Sementara para pemberontak sendiri juga kehabisan tenaga. Panembahan Reso bersekongkol dengan Ratu Dhara, untuk menempatkan seorang Pangeran bodoh, lemah dan kaget-kagetan, ke atas tahta. Dia bernama Pangeran Rebo, putra Ratu Dhara sendiri. Dan Pangeran Rebo pun menjadi raja boneka, yang disetir Panembahan Reso dan Ratu Dhara tadi. Tanpa berkeringat, Panembahan Reso naik tahta yang berdarah, dan penuh ketidaknyamanan. Dia menang. Tapi dalam hidup, menang dan kalah itu begitu tipis batas-batasnya.

Dalam politik, kita pun begitu. Kita bisa bertanya: apakah dalam sepuluh tahun yang kosong akhir-akhir ini Bapak Presiden kita menang? Menjadi presiden, dan berkuasa secara resmi, tapi para pendukung kemudian kecewa, marah-marah, dan mencerca: ini tanda orang menang apa kalah?

Esai ini tidak berniat membahas perkara itu lebih lanjut. Kita memilih prioritas lain: langkah orang-orang tua, sisa-sisa Orde Baru, yang tampak masih gigih itu. Saya kagum akan optimisme mereka, dan sikap pantang menyerah, apapun yang mereka hadapi.

Ini satria sejati? Ini pemimpin yang bakal membebaskan bangsa dari sikap lembek, cengeng dan tahu ke mana kaki harus melangkah? Ini pemimpin yang kita dambakan, dengan penuh rindu, siang dan malam, hingga kita rela tak bisa tidur karena menanti pemimpin sejati ini? Orang-orang tua, sisa-sisa Orde Baru, yang dibubarkan oleh kekuatan rakyat dalam gerakan perlawanan yang disebut ”reformasi” itu, kini merasa ”angin buruk” kemarahan rakyat sudah reda. Jadi, sudah masanya mereka tampil kembali untuk mencalonkan diri menjadi ”ini” atau ”itu”, dan siap bertarung, mempertaruhkan kualitas kemanusiaan dan kepemimpinan masingmasing.

Momentum politik telah membukakan pintu bagi mereka, dengan senyum semanis iklan-iklan terbaik yang bisa dibuat biro iklan kelas dunia. Jadi apa salahnya momentum tak digunakan. Momentum sejati, tak mau datang lagi untuk kedua kalinya. Jadi, sekarang inilah yang tua-tua, ikut lagi berderet bersama yang mudamuda, saling mendesak, saling memojokkan. Kalau perlu, saling meniadakan. Kita boleh bertanya pada para pemimpin kita itu. Namanya juga pemimpin. Mereka pasti siap dengan jawaban manis, taktis dan melegakan.

Apa yang penting kita tanyakan? Mungkin ini: ”Bagaimana mereka bisa menempa diri dan membangun sikap optimistis, tanpa tandingan, dan sikap pantang menyerah dalam pertarungan demi pertarungan yang kejam, sengit dan mematikan? Hanya para ksatria sejati yang bisa begini, dan berani begini. Ini mungkin sulit dijawab, kecuali oleh mereka yang pergulatan hidupnya penuh tantangan, dan menyadari bahwa perjuangan hidup memang tidak mudah. Apa yang kedua? Mungkin ini: ”Bagaimana menghadapi suasana psikologis yang getir dalam kekalahankekalahan di masa lalu, tapi masih tetap memiliki jiwa membara untuk bertarung?” Ini lebih mendalam, dan lebih sulit. Ada lagi? Ya. Ada.

”Apakah optimisme yang luar biasa menggelegak itu tidak sebaiknya disertai kemampuan mawas diri, berkaca, melihat ke ”dalam”, untuk menyadari bahwa suasana psikologi politik tak bisa lagi dikendalikan dengan cara lama, yaitu memamerkan popularitas, dan menjual ide pembebasan, yang tak nyambung di hati rakyat? Apakah akan dianggap tidak produktif untuk menyadari bahwa pola Orde Baru, kesan dan citranya yang dulu begitu ganas itu masih membuat jiwa kita merasa trauma, takut, enggan, dan tak berselera memilih? Wah, ini lebih dalam lagi. Sebaiknya jangan bertanya lagi.

Satu pertanyaan saja, penutup: ”Bagaimana memahami sinyal-sinyal lembut di wajah rakyat yang traumatik, yang tak mau menaruh kasih sayang, dan ”trust” pada kita? Apakahsekadar kampanye yang menggebrakgebrak sekeras geledek di musim hujan, bisa memecahkan urusan kasih sayang dan ”trust” tadi? Kampanye itu urusan merebut hati rakyat. Tapi bagaimana kalau rakyat yang hendak direbut hatinya malah takut? Dan kalau dikasih duit mereka terima duitnya tapi mereka memilih calon lain? Bagaimana cara menyiasati mereka? Kampanye bukan instruksi atasan.

Dan di zaman ini apa yang namanya instruksi sudah tak berlaku. Birokrasi pemerintahan, yang dulu mengabdi Golkar, dengan semboyan ”monoloyalitas”: sekarang lain. ”mono” ya ”mono”, ning ojo ”mono” lagi.

Rakyat sudah pandai. Kesadaran politik mereka sudah tinggi. Mereka yang apatis, dan enggan memilih pun tanda bahwa mereka punya kesadaran politik tak bisa sama sekali diganggu gugat. Juga tidak oleh duit. Tak semua rakyat memiliki kesadaran politik sebagus itu, bukan? Betul. Tak semua sebagus itu sikapnya. Tapi jangan salah, mereka yang takut pada masa lalu yang ganas tadi, tetap punya kalkulasi.

Takut membuat mereka tak memilih pihak-pihak yang dulu menakutkan. Yang membuat mereka trauma pada yang ganas bukan hanya masa lalu. Bagaimana ini bisa dijelaskan. Betul. Masa kini banyak juga yang membuat trauma. Partai-partai yang bicara ”subhanallah”, ”alhamdulillah” ”la ilaha illah” ”Allahu Akbar” juga menggoreskan kenangan pedih. Dan ini juga trauma. Partai yang bicara demokrasi dan antikorupsi, ininya bukan demokrasi dan begitu bergelimang korupsi, yang menanti penyelesaian. Dengan marah, rakyat menanti, sambil tetap menyimpan trauma dan kecewa.

Dan mereka, yang jiwanya terkoyak-koyak seperti itu, disuruh memilih? Kampanye bukan jawaban. Dan kampanye yang percaya duit kotor bisa membeli hati rakyat, sekarang akan menangis. Politik tak bisa lagi dipahami hanya dengan akal dan rasionalitas teoriteori mapan. Teori hanya sekepingkecilungkapan, yangmenjelaskan fenomena yang luas tak terbatas. Kita perlu, sesekali, berpolitik dengan bahasa hati yang tak punya rumus, dan memang tak harus punya.

Menghindari Bom Waktu Krisis Air

Menghindari Bom Waktu Krisis Air

Posman Sibuea  ;   Guru Besar di Jurusan Ilmu dan Teknologi Pangan Unika Santo Thomas Sumatera Utara dan Ketua LPPM Unika Santo Thomas
KORAN SINDO, 31 Maret 2014
                                      
                                                                                         
                                                             
Tema yang diangkat pada peringatan Hari Air Sedunia yang baru saja berlangsung, 22 Maret 2014, adalah Air dan Energi. Tema ini amat relevan dengan kondisi saat ini. Sebagian besar masyarakat sudah lama mengalami krisis air dan krisis energi yang memantik lahirnya krisis pangan.

Di sejumlah daerah, kekeringan masih berlanjut yang memicu kebakaran hutan. Meski hujan sudah mulai turun, bukan berarti musim kemarau berakhir di kawasan Riau. Kekeringan telah bermuara pada gagal panen. Dampaknya tidak hanya mengancam ketahanan pangan, tetapi juga berpotensi menjadi sumber konflik baru. Meski Indonesia sudah merdeka 69 tahun, krisis air yang sudah lama menghantam ketahanan ekonomi, khususnya bagi warga miskin di desa, belum teratasi dengan baik. Sebagian dari mereka harus berjalan berpuluh kilometer hanya untuk memperoleh beberapa jeriken air bersih. Waktu yang dialokasikan setiap hari lebih banyak mencari air daripada aktivitas lain yang bisa menghasilkan sesuatu yang tidak kalah bermanfaat untuk kehidupan sehari-hari.

Diperebutkan

Air dapat menjadi sumber konflik baru jika krisis air yang lebih buruk terjadi. Setetes air bersih menjadi amat berharga sehingga pantas diperebutkan. Manusia bisa hidup selama dua bulan tanpa makan, tetapi jika tidak minum dalam beberapa hari akan mati. Permenungan ini mendorong kita untuk mulai belajar menghargai air. Fakta menunjukkan sekitar 100 juta penduduk Indonesia tidak akses terhadap air bersih dan sebagian di antaranya harus meregang nyawa karena penyakit akibat buruknya kualitas air. Belajar menghargai air kini menjadi tema sentral di tengah kian menipisnya cadangan air tawar di perut Bumi.

Data tahun 2009 menunjukkan, sekitar 1,6 miliar penduduk dunia atau satu dari empat orang mengonsumsi air tidak bersih setiap hari. Sekitar 1,25 miliar penduduk dunia atau satu dari lima orang belum memiliki fasilitas sanitasi. Dampaknya, dari sekitar 50.000 orang yang meninggal setiap hari, 16.000 orang di antaranya meninggal akibat mengonsumsi air yang kurang bersih. Ini artinya setiap menit satu orang meninggal akibat kelangkaan air bersih.

Konon WHO dalam estimasinya baru-baru ini menyebutkan jika tidak ada perbaikan dalam pengelolaan air, maka menjelang tahun 2025 ada sekitar 2,7 miliar orang atau sekitar 40% populasi dunia akan menghadapi krisis air pada tingkat yang parah. Fenomena inilah yang mendorong PBB melakukan kampanye gerakan hemat air. Krisis air akan bermetamorfosa menjadi ”bom waktu” yang menghancurkan kehidupan jika kepedulian pada lingkungan kian menipis. Fungsinya sebagai sumber kehidupan menempatkan air tidak sebagai ”komoditas” yang diperdagangkan untuk mencari keuntungan apalagi memandangnya sebagai objek yang harus dieksploitasi.

Fakta di tengah masyarakat perkotaan, merekamenyedotair tanah secara berlebihan menyusul pembangunan pemukiman dan industri baru yang bertumbuh secara signifikan. Ditambah lagi kebiasaan buruk membuang segala macam sampah ke sungai sehingga saat musim hujan kerap menimbulkan banjir dan jika musim kemarau menyebabkan suasana kumuh, bau busuk, dan sumber penyakit. Penebangan hutan yang makin masif dan tanpa aturan menjadi ancaman serius terhadap pembangunan ketahanan pangan. Praktik pembangunan ekonomi yang tak berkelanjutan telah menguras sumber daya hutan secara berlebihan, yang pada gilirannya mengganggu ketersediaan air untuk sektor pertanian.

Menghargai Air

Keadaan bumi yang menjadi rumah kita bersama mengalami pelapukan dan semakin tidak nyaman lagi dihuni. Suhu bumi semakin panas—dalam dua minggu terakhir suhu di Kota Medan sekitar 34 derajat Celsius— karena gaya hidup yang konsumtif sebagian besar masyarakat. Pemerintah sudah gagal dan tak bisa diandalkan sepenuhnya untuk mengatasi masalah lingkungan. Persoalan lingkungan yang didera pemanasan global dan perubahan iklim di satu sisi hanya dijadikan perdebatan tak berujung, sementara di pihak lain jadi sarana mencari popularitas di dunia internasional, dan mengorbankan pembangunan berkelanjutan di dalam negeri.

Pemanasan global ekstrem dipicu oleh perusakan hutan melalui pembalakan liar untuk kepentingan bisnis perkebunan dan pertambangan. Dalam ukuran luas, menurut data FAO, Indonesia telah membabat 1,87 juta hektare hutan setiap tahun. Yang identik dengan sekitar 51 kilometer persegi hutan setiap hari atau setara luas 300 lapangan sepak bola setiap jam. Prestasi yang memalukan ini layak menempatkan Indonesia di dalam The Guinness Book of World Record sebagai negara penghancur hutan tercepat di dunia. Belajar menghargai air menjadi sulit dilakukan ketika ada sekelompok orang yang berperilaku tidak jujur dalam menguras dan merampas sumber daya alam demi keuntungan pribadi dan kelompoknya.

Hutan dibabat dan limbah beracun dibuang ke sungai secara diam-diam adalah serpihan contoh bentuk perilaku buruk pemilik industri terhadap lingkungan hidup. Sandiwara satu babak pun acap digelar untuk menutupi ketidakjujuran itu dengan menggaji orang untuk memancing di sungai yang sudah tercemar seolah-olah di sana masih ada ikan yang masih hidup. Lantas, apa langkah antisipasi ke depan yang patut dilakukan untuk menghindari bom waktu krisis air? Tiga langkah berikut patut dipertimbangkan untuk dilakukan. Pertama, menghijaukan kembali hutan gundul dengan menyediakan anggaran yang cukup dan ”steril” dari para koruptor.

Sebagai aktor penguasa air, pemerintah berkewajiban melakukan konservasi sumber daya hutan secara terpadu untuk memenuhi rasa keadilan masyarakat pengguna air, sebab air adalah hak asasi manusia Kedua, pemerintah harus melakukan sejumlah inisiatif untuk membantu mengatasi perubahan iklim. Salah satunya adalah program pengurangan emisi dari deforestasi dan degradasi (Reduced Emisions from Deforestation and Degradation/REDD). Deforestasi merupakan salah satu penyebab munculnya pemanasan global yang menyebabkan terjadinya perubahan iklim.

Kekeringan yang berulang setiap tahun adalah akibat perbuatan manusia yang merusak hutan yang berhuludari kesalahankebijakan pembangunan Ketiga, memperkenalkan pendidikan lingkungan hidup sejak di sekolah dasar. Mata pelajaran lingkungan hidup harus dijadikan muatan lokal agar murid SD mulai memahami permasalahan lingkungan hidup lewat sekolah dan keluarga. Jika mereka diperkenalkan pada fungsi hutan sebagai reservoir air, kelak setelah besar mereka dapat mengatakan tidak untuk penggundulan hutan.

Ketiga hal di atas diharapkan dapat memacu produksi adrenalin kesadaran kita untuk selalu memosisikan air pada tempat yang berharga, yakni sebagai sumber kehidupan. Menjaga kelestarian sumber daya air menjadi kewajiban kita bersama sebab air adalah anugerah alam yang diberikan Tuhan untuk dipakai bersama membangun ketahanan pangan nasional.

Rubah dan Buaya : Duet Ideal 2014

Rubah dan Buaya : Duet Ideal 2014

Satrio Wahono  ;   Pengajar FE Universitas Pancasila,
Penulis Animal-Based Management
JAWA POS, 01 April 2014
                                      
                                                                                         
                                                             
Menjelang perhelatan besar pemilihan presiden 2014, publik bertanya-tanya pemimpin seperti apakah yang akan muncul tahun depan? Juga, apakah duet pemimpin presiden dan wakil presiden mendatang akan mampu membawa kesejahteraan bagi masyarakat luas?

Untuk menjawab itu, orang mau tak mau akan menengok prototipe pemimpin sukses dalam sejarah Indonesia. Tanpa banyak perdebatan lagi, rasanya, prototipe itu bisa ditemukan dalam duet Soekarno-Hatta sebagai dwitunggal yang mampu membangun bangsa ini dari nol menjadi merdeka dan berwibawa. Menariknya, duet tersukses itu sejatinya kombinasi dari kepemimpinan rubah dan buaya.

Kepemimpinan Rubah

Rubah tersohor sebagai perlambang bagi kecerdikan yang dekat dengan kemampuan strategi dan perancangan tipu-muslihat. Isaiah Berlin dalam esainya The Hedgehog and the Fox (dalam Russian Thinkers, 2002) menganalisis rubah sebagai perlambang "orang yang mengejar banyak tujuan yang sering tidak berkaitan atau kontradiktif." Dia tidak terkungkung pada satu sudut pandang tertentu, tapi justru berkelana menelusuri bidang-bidang lain dalam pemecahan masalah.

Selanjutnya, Nicolo Macchiaveli dalam The Prince (terjemahan, Gramedia, 1995) menasihati penguasa Firenze, Lorenzo de Medici, untuk bertindak laiknya rubah yang menaklukkan lawan dengan strategi. Dalam kata-kata sang filsuf, "seorang penguasa harus meniru perbuatan seekor rubah."

Tak ayal, nasihat Machiavelli ini membuat Lorenzo Medici dikenal sebagai salah seorang bangsawan yang mengayomi banyak orang dan menciptakan suasana kondusif bagi pemikiran kreatif pada masanya. Dalam the Medici Effect (Serambi, 2007), Frans Johansson menceritakan pada masa pemerintahan Medici di Italia abad ke-15 terjadi ledakan kreativitas yang dahsyat. Kala itu, Medici mendanai para pencipta gagasan dari berbagai disiplin. Hasilnya, kota tersebut menjadi episentrum ledakan kreatif. Efek berpadunya beragam pemikiran dari berbagai disiplin berbeda inilah yang disebut sebagai Medici Effect atau pemikiran titik temu dan menyintesis (intersectional) yang menjadi bahan bakar dahsyat untuk mengobarkan inovasi.

Dari perspektif ini, Soekarno jelas perwakilan dari karakter rubah yang memiliki pikiran serbabisa dan komprehensif. Soekarno adalah seorang insinyur yang memiliki jiwa seni luar biasa dan kemampuan retorika berpidato yang dahsyat. Belum lagi pemikiran-pemikiran cemerlangnya mampu melintasi berbagai disiplin: politik, sosial, budaya, dan lain-lain. Karena itulah, Soekarno mampu menyajikan visi-visi cemerlang di masanya guna menyalakan harapan dan kebanggaan bagi rakyat Indonesia yang kala itu masih terpuruk ekonominya. Alhasil, meskipun miskin, masyarakat Indonesia merasa punya martabat sebagai warga negara Indonesia serta menyatu sebagai satu bangsa kompak oleh visi sang Proklamator.

Kepemimpinan Buaya

Sementara itu, buaya dalam literatur kepemimpinan punya banyak sifat positif. Misalnya, ia disiplin dan fokus. Rhenald Khasali dalam salah satu artikelnya (2009) pernah mengutarakan, buaya adalah hewan berdarah dingin yang cocok untuk menyerang. Ia pemberani karena tidak perlu pergi beramai-ramai. Selain itu, buaya bersikap disiplin, tidak suka menunda-nunda, selalu mem-follow up, dan kuat dalam hitung-hitungan ekonomi.

Dalam bahasa manajemen, karakter buaya ini identik dengan tipe kepemimpinan eksekutor. Dalam Alpha Male Syndrome (Serambi, 2007), Ludeman dan Erlandson mengklasifikasikan sifat alfa eksekutor adalah memburu hasil dengan disiplin tanpa kenal lelah, hebat dalam hitung-hitungan, memberikan masukan balik, dan menggerakkan orang-orang untuk bertindak. Kelemahannya, mereka terlalu mengurusi hal mikro, tak sabar, amat kritis, awas terhadap kelemahan, dan suka memperlihatkan ketidakpuasan alih-alih apresiasi.

Nah, Bung Hatta termasuk tipe pemimpin seperti ini. Lihat saja, Bung Hatta terkenal sebagai pakar ekonomi yang selalu berpikir rasional dalam tindak-tanduknya. Beliau juga sangat terkenal dengan sikap disiplin dan tepat waktunya.

Salah satu prestasi Bung Hatta adalah memasukkan perlindungan HAM dalam UUD 1945, sesuatu yang ditentang Soekarno. Hatta menyangkal pendapat Soekarno bahwa proteksi HAM itu kebarat-baratan dan akan merusak spirit kolektif Indonesia. Menurut Hatta, proteksi HAM perlu dimasukkan ke dalam konstitusi guna menjamin pemimpin Indonesia mendatang -yang belum tentu sebaik Soekarno-Hatta- tidak akan sewenang-wenang melanggar hak rakyat.

Beranjak dari kondisi di atas, mafhumlah kita bahwa kepemimpinan rubah dan buaya saling melengkapi dan akan ideal jika berkumpul dalam satu tubuh organisasi pemerintahan. Karena itu, bangsa ini perlu memilih kombinasi pemimpin rubah dan buaya untuk 2014 nanti. Semoga itu yang terjadi nanti!

Jika Ragu, Tinggalkan!

Jika Ragu, Tinggalkan!

Herry Tjahjono  ;   Terapis Budaya Perusahaan
KOMPAS, 01 April 2014
                                      
                                                                                         
                                                             
MAJALAH  Economist edisi 20-26 Juli 2013 menulis tentang gaji anggota legislatif atau wakil rakyat sejumlah negara. Hal yang mengejutkan, anggota DPR RI menempati urutan ke-4 terbesar sejagat. Data diambil dari rilis Independent Parliamentary Standards Authority (IPSA) dan Dana Moneter Internasional (IMF). Singkatnya, dalam setahun penghasilan seorang anggota DPR RI bisa melebihi Rp 1 miliar.

Maka, pertanyaannya: apakah prestasi dan produktivitas kerja mereka sesuai dengan besarnya gaji yang diterima? Secara singkat, Wakil Ketua Badan Kehormatan DPR Siswono Yudo Husodo menyampaikan fakta tentang pertanyaan tersebut. Bahkan, disampaikan, menjelang pemilihan legislatif, prestasi mereka akan makin merosot dari segi produktivitas; meninggalkan sidang-sidang di DPR yang seharusnya jadi tanggung jawab mereka.

Sesungguhnya sudah rahasia umum betapa amburadulnya kinerja para wakil rakyat itu, termasuk sikap kerjanya yang memalukan (bolos, tidur di ruang sidang, dan lainnya). Tak sedikit survei dan hasil penelitian yang mengungkapkan tentang buruknya kinerja mereka. Semua fakta yang diuraikan di atas mengantar kita pada analogi pemetaan anggota organisasi sebuah perusahaan (baca: karyawan) dari aspek hubungan komparatif ”kontribusi (yang diberikan) dengan kompensasi (yang diterima)”. Hubungan komparatif itu berdasarkan prinsip memberi (the giving principle): memberi–menerima.

Prinsip ini mengajarkan bahwa manusia (dengan status, profesi, atau jabatan apa pun) harus memberi lebih dulu baru menerima. Jika kita bersedia memberi lebih banyak, kita akan menerima lebih banyak lagi. Bukan sebaliknya, menerima dulu baru mau memberi. Seperti pernah disampaikan Einstein: give and take. Bukan take and give yang populer dan kita kenal selama ini. Praksis manajemen sumber daya manusia modern mengajarkan bahwa kinerja atau kontribusi seorang karyawan bisa dikuantifikasikan. Konkretnya, bisa dihitung nilai nominalnya, terutama dalam kaitan dengan kompensasi (nominal) yang diterima.

Dalam ilustrasi ini diasumsikan kompensasi yang diterima seorang karyawan  adalah X (secara nominal).  Maka, ada tiga skema hubungan. Pertama, seorang karyawan memberikan kontribusi (kinerja) kurang dari nilai kompensasi X yang diterima, katakan hanya sebesar X-1. Karyawan tipe ini disebut bad employee (karyawan yang buruk, di bawah standar) dan secara kuantitatif karyawan buruk ini sesungguhnya ”berutang” pada perusahaan tempat dia bekerja.

Kedua, kontribusi (kinerja) seorang karyawan relatif sama dengan jumlah kompensasi X yang dia terima. Karyawan tipe ini disebut good employee (karyawan standar, biasa). Dia memberikan pas dengan yang dia terima meski dia tidak berutang kepada perusahaannya.

Ketiga, skema terakhir adalah jika kontribusi (kinerja) karyawan melebihi jumlah kompensasi yang diterima, katakan X+1, dia disebut great employee (karyawan hebat, di atas standar). Dia bukannya berutang, malah dia yang memberi lebih kepada perusahaan.

Tiga prinsip memilih
Kondisi wakil rakyat dengan kompensasi selangit tetapi kontribusi (kinerja) yang menyedihkan (sekaligus memalukan)  beranalogi sempurna dengan bad employee, karyawan buruk. Mereka adalah para wakil rakyat yang buruk dan jelas  berutang (sangat) besar kepada bangsa dan rakyat yang membayar mereka.

Melihat skala dan kompleksitas permasalahan bangsa ini ke depan, yang diperlukan—merujuk konsep Jim Collins (dalam Good to Great)—adalah great DPR. Bahkan, good DPR pun tak lagi cukup, apalagi bad DPR. Kita perlu mengadaptasi konsepnya, yang secara kontekstual sangat relevan dengan urgensi kebutuhan kita dalam proses pemilu legislatif sesaat lagi.

Ada beberapa prinsip yang perlu kita renungkan yang diharapkan jadi pedoman kita dalam memilih kelak. Pertama, SDM (baca: wakil rakyat) bukanlah aset perusahaan (baca: organisasi DPR). Yang benar: orang yang tepat (wakil rakyat yang tepat) adalah aset perusahaan (DPR).

Kedua, kompensasi atau reward bukan untuk membuat orang (wakil rakyat) yang salah jadi benar, melainkan membuat wakil rakyat yang benar menjadi lebih produktif. Jadi, konsekuensinya, kompensasi sebesar apa pun yang kita berikan kepada para wakil rakyat itu (seperti saat ini terjadi) tidak menjamin akan mengubah mereka jadi lebih baik dan produktif karena mereka adalah orang-orang yang tidak tepat.

Prinsipnya: ”siapa yang Anda bayar, bukan berapa banyak Anda membayarnya”. Prinsip itu makin meneguhkan betapa penting dan krusial kesediaan dan kemampuan kita sebagai rakyat memilih para calon yang tepat.

Ketiga, prinsip lain yang penting adalah ”siapa”, baru ”apa”. Salah satu implikasi penting prinsip ini adalah ketika kita ragu-ragu, jangan direkrut (baca: dipilih). Bahkan, jika perlu, jika Anda melihat ada calon lain yang Anda yakin tepat (meski bukan separtai dengan Anda), jangan ragu: pilih dia.

Sebagai pemilih, hendaknya kita makin dewasa dengan menjadi pemilih yang proaktif (aktif mencari informasi seobyektif mungkin) dan bukannya pasif menunggu sampai datangnya  saat mencoblos. Selain dewasa, kita juga mesti makin bijak dengan menjadi pemilih yang patriotik:  menempatkan  loyalitas pada bangsa (dan negara) di atas loyalitas (sempit) pada partai. Jadi, jika ragu, tinggalkan. Kita rindu punya DPR yang hebat yang selama ini hanya jadi mimpi. Peran kita sangat besar untuk merealisasikan mimpi itu. Kita ”hanya” perlu menemukan dan memilih manusia yang tepat, tak lebih tak kurang. Sekali lagi: jika ragu, tinggalkan!