Buruh dan Jerat Upah Minimum
Launa, DOSEN FISIP UNIVERSITAS SATYA NEGARA INDONESIA;
KETUA BIDANG PENDIDIKAN DPP FESDIKARI-KSBSI
Sumber : SINAR HARAPAN, 4Februari 2012
AKSI masa yang digelar puluhan ribu buruh di Bekasi yang telah menutup ruas jalan Tol Jakarta–Cikampek pekan lalu membuktikan problem upah akan terus menjadi isu seksi dalam hubungan industrial di negeri ini.
Demonstrasi buruh Bekasi yang dipicu penolakan Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo)—melalui pembatalan keputusan kenaikan upah minimum Kabupaten Bekasi oleh Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) Bandung—menunjukkan kebijakan upah murah masih mendominasi cara pikir pengusaha kita.
Ideologi “upah murah” yang populer sejak era Orde Baru agaknya ingin terus dilestarikan Apindo. Atas nama pembangunan dan dalil pertumbuhan ekonomi, pemerintah (dan pengusaha) selama ini telah menempatkan buruh sebagai “alas kaki industri” yang upahnya dihitung berdasarkan kebutuhan fisik minimum (KFM).
Per definisi, upah minimum adalah upah bulanan terendah, yang terdiri dari upah pokok dan tunjangan tetap bagi buruh lajang dengan pengalaman kerja 0–1 tahun, berfungsi sebagai jaring pengaman, ditetapkan melalui Keputusan Gubernur (berdasarkan rekomendasi Dewan Pengupahan), dan berlaku selama 1 tahun berjalan (Permenakertrans No 1/1999, Pasal 1 Ayat 1).
Namun, hasil penelitian Akatiga di sembilan kabupaten/kota (Jakarta Utara, Serang, Kabupaten dan Kota Tangerang, Bogor, Sukabumi, Semarang, Sukoharjo, dan Karanganyar) dan empat provinsi (DKI Jakarta, Banten, Jawa Barat, dan Jawa Tengah) menunjukkan, upah minimum jauh dari pemenuhan kebutuhan hidup layak (KHL) buruh, bahkan bagi buruh lajang sekalipun. Upah minimum baru memenuhi 62,4 persen pengeluaran riil buruh yang rata-rata masih di bawah Rp 1,5 juta per bulannya.
Kendati konsep KHL versi Kepmenakertrans No 17/2005 telah memasukkan komponen makanan dan minuman, sandang, perumahan, pendidikan, kesehatan, transportasi, rekreasi, dan tabungan, fakta kemiskinan buruh tak bisa terus ditutupi.
Untuk menutupi kekurangan upahnya (yang jauh dari KHL itu), para buruh harus memperbanyak kerja lembur, kerja sampingan (mengojek atau berdagang), berutang, dan meniadakan konsumsi untuk barang-barang tertentu (laporan penelitian OPSI, 2009).
Kedua, dari sisi efektivitas, upah minimum hanya melindungi minoritas buruh, yaitu buruh formal yang berjumlah 33 juta orang (33 persen). Sementara itu, buruh informal yang berjumlah 70 juta orang (67 persen) tidak memiliki perlindungan upah sama sekali.
Merujuk pada laporan Bank Dunia (2010), pada 2007 saja, terdapat 40 persen pengusaha yang tidak mematuhi pembayaran upah minimum. Artinya, dari 33 juta jumlah buruh formal, hanya 19 juta yang terlindungi upahnya, sementara 85 juta angkatan kerja lain nonformal sama sekali tidak mendapat perlindungan upah.
Inilah salah satu jawabannya mengapa pertumbuhan ekonomi Indonesia yang tinggi dan mendapat pujian internasional ternyata tidak berdampak pada penurunan tingkat pengangguran dan kemiskinan rakyat, termasuk para buruh.
Pengawasan Lemah
Problem lain adalah lemahnya pengawasan dan gagalnya penegakan hukum (law enforcement). Kendati Pasal 90 junto Pasal 185 UU 13/2003 tentang Ketenagakerjaan dengan jelas melarang pengusaha membayar upah di bawah ketentuan upah minimum dengan ancaman pidana, ketika pengusaha tak mematuhinya, pemerintah membiarkan pasal-pasal tersebut tumpul dengan sendirinya.
Alasan klasik pembiaran pemerintah dan pengusaha tersebut (dan ini sangat menyesatkan), yang penting buruh bisa bekerja, mengingat tingkat pengganguran masih tinggi di Indonesia. Alasan berikut, bila buruh tidak puas dengan upah rendah, toh mereka bisa mengajukan keberatan (perselisihan) ke Pengadilan Hubungan Industrial.
Berikutnya, tingginya biaya siluman (setoran atau pungli) juga menjadi faktor krusial sulitnya pengusaha memberi kenaikan upah maksimal. Laporan Bank Dunia (Doing Business, 2012) menunjukkan, mahalnya biaya birokrasi di Indonesia. Peringkat Kemudahan Berbisnis di Indonesia saat ini berada di urutan 129, turun dari peringkat 126 (2011).
Singapura adalah negara dengan peringkat kemudahan berbisnis nomor 1, Malaysia peringkat 18, dan Thailand peringkat 17. Biaya buruh (labor cost) di Malaysia, Thailand, dan Singapura jauh lebih tinggi dibanding Indonesia.
Di Malaysia berkisar 25–29 persen, Thailand 20–25 persen, dan Singapura 26–30 persen, sementara Indonesia hanya berkisar 10–15 persen (ILO, 2007). Sebabnya, para investor dan pengusaha di ketiga negeri jiran itu tidak direcoki oleh pungli dan setoran yang membuat biaya perusahaan (production cost) membengkak.
Mengutip Katherine Wezel-Stone (2007), setidaknya terdapat empat alasan paradigma upah murah dalam konteks globalisasi tetap penting untuk dilakukan.
Pertama, berkurangnya kekuatan tawar buruh, seiring kian intensifnya mobilitas modal. Nalar ekonomi global cenderung mencari tempat investasi yang memberikan standar perlindungan buruh paling rendah.
Kedua, globalisasi cenderung menyingkirkan aturan-aturan negara yang melindungi buruh. Korporasi global lebih tertarik untuk berinvestasi dalam lingkungan hukum domestik yang pro modal, di mana negara tak peduli pada perlindungan hak-hak buruhnya.
Ketiga, globalisasi telah membuat negara-negara berkembang berlomba-lomba menawarkan standar perburuhan yang rendah guna menarik investasi.
Keempat, dalam sistem produksi dan rantai suplai global, faktor upah murah adalah syarat persaingan kunci, di samping mutu, efektivitas waktu, dan efisiensi produksi.
Kelima, dengan mandulnya regulasi perburuhan di tingkat negara, berimplikasi pada lemahnya kemampuan (gerakan) buruh untuk melindungi hak-hak dasarnya. Ideologi globalisasi cenderung happymelihat peran politik buruh yang lemah dan tidak berlakunya standar inti perburuhan (core labor standard) pada tingkat negara.
Faktual, Indonesia perlu mereformasi paradigma upah murah dan menciptakan sistem pengupahan yang lebih adil, mereduksi konflik laten hubungan industrial, menciptakan pertumbuhan yang berkualitas, serta hasil pembangunan yang menguntungkan bagi buruh dan pengusaha.
Benar, konsep upah minimum selama ini menjadi katup pengaman untuk mencegah eksploitasi buruh yang upahnya kerap ditentukan secara sepihak oleh pengusaha (labor market flexilibility). Namun, konsep ini sudah kedaluwarsa dan tak bisa dipertahankan lagi.
Paradigma pengupahan yang jauh dari visi “menyejahterakan buruh” ini, ke depan harus segera direformasi. Ini karena Pasal 33 UUD 1945 secara tegas memberi mandat pada negara untuk mewujudkan kehidupan perekonomian nasional yang berorientasi pada sebesar-besarnya kemakmuran rakyat, termasuk para buruh di dalamnya. ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar