Fungsi dan Peranan Hukum
dalam Merestorasi Bangsa
Romli Atmasasmita, GURU BESAR UNIVERSITAS PADJADJARAN,
ANGGOTA DEWAN PAKAR PARTAI NASDEM
Sumber : SINDO, 3Februari 2012
Kecermatan mengamati dan menganalisis perkembangan bangsa sejak proklamasi kemerdekaan, terutama sejak era Reformasi tahun 1998, sangat diperlukan para pemimpin bangsa.
Karena akurasi dan ketajaman pengamatan dan analisis sangat menentukan seberapa jauh pemimpin nasional memahami dinamika perkembangan kehidupan bangsa ini kini dan di masa depan. Akurasi dan ketajaman analisis situasi sosial-psikologis serta lingkungan strategis, baik di bidang ekonomi maupun politik, amat menentukan arah kebijakan pembangunan bangsa di masa depan.Apalagi di masa globalisasi politik dan ekonomi saat ini, langkah dan tindakan tersebut sangat menentukan apakah bangsa ini dapat keluar dari himpitan tekanan persaingan internasional di segala bidang.
Juga menjadi faktor determinan tercapainya cita-cita pendiri RI,yaitu kesejahteraan bangsa Indonesia dan turut aktifdalammenjagadanmemelihara perdamaian dan keamanan dunia. Saat ini dan masa depan merupakan momentum memelihara keberhasilan pembangunan yang telah dicapai. Sekarang adalah masa-masa terbaik untuk merestorasi bangsa ini dalam segala aspek bidang kehidupan.
Kepentingan Rakyat
Peningkatan dan kemajuan perkembangan ekonomi makro saat ini bukan satu-satunya tanda kemajuan kesejahteraan rakyat jika perkembangan tersebut tidak diimbangi dengan kemajuan ekonomi mikro yang merata di seluruh wilayah NKRI. Karena kemajuan ekonomi makro semata-mata hanya dinikmati oleh segelintir pelaku bisnis dengan modal skala besar (konglomerasi), sedangkan pelaku bisnis UKM berjalan tertatih-tatih. Begitu pula halnya dalam bidang politik.
Politik yang hanya mengakomodasi semua kepentingan amat menyesatkan dan terbukti kontraproduktif. Karena inti demokrasi bukan terletak pada sebebasbebasnya dan semau-maunya membentuk partai,melainkan terletak pada seberapa relevan pembentukan partai dengan dinamika dan kebutuhan rakyat dalam memperjuangkan hak berserikat dan berkumpul. Kepentingan rakyat harus lebih penting dari kepentingan untuk berkuasa atau sekadar mengakomodasi partai yang kalah dalam pemilu yang lampau. Indonesia telah berpengalaman dengan multipartai dan dengan tiga partai peserta pemilu. Namun kita selalu berakhir dengan ketidakberhasilan mengangkat harkat dan martabat rakyat Indonesia di hadapan bangsa-bangsa lain di dunia.
Bahkan tampak harkat dan martabat rakyat kembali seperti di masa penjajahan pemerintahan kolonial dulu; menjadi “budak” di tanah sendiri. Privatisasi melalui merger dan akuisisi dalam bidang ekonomi, keuangan, dan perbankan atau menjual harta kekayaan negara terjadi secara legal maupun ilegal. Ini merupakan pertanda kelak bahwa bangsa ini akan kembali menjadi bangsa “koeli” seperti yang ditegaskan Bung Karno dulu. Langkah dan kebijakan di bidang ekonomi liberalisme-kapitalisme dengan berbagai cara tersebut merupakan pertanda lain bahwa abad “penjajahan bentuk baru” suatu bangsa terhadap bangsa lain tengah berlangsung.
Disadari atau tidak disadari atau sengaja tidak mau tahu dari kalangan pemimpin nasional atau elite cerdik pandai bangsa ini. Bentuk penjajahan baru merupakan konsekuensi logis dari praktik neoliberalisme abad ke-20 dan dapat sukses merambah negara-negara selatan, termasuk Indonesia, melalui kebijakan legislasi setiap tahun yang telah dipraktikkan sejak Orde Baru sampai saat ini.
Sikap Pemimpin
Kiranya sudah saatnya pemimpin bangsa ini menyatakan bahwa penguasaan modal asing ke dalam kehidupan ekonomi, keuangan, perbankan, dan eksplorasi/eksploitasi sumber daya alam telah lebih dari cukup dan tidak dilakukan lagi dalam jangka lima tahun ke depan sehingga diperlukan evaluasi total dan komprehensif terhadap seluruh peraturan perundangundangan yang berlaku sebagai dasar penghalalan penguasaan asing tersebut.
Tanpa evaluasi total dan komprehensif akan berdampak menuju “kebangkrutan sosial-ekonomi”bangsa ini sehingga akan berbuah penyesalan tak berujung dan meninggalkan aib bagi generasi bangsa ini dalam lima puluh tahun yang akan datang. Kebijakan legislasi nasional lima atau sepuluh tahun mendatang harus secara evolusioner dapat memulihkan kondisi sosial ekonomi dan politik bangsa dan dapat digunakan untuk merestorasi bangsa dalam semua aspek kehidupan.
Restorasi bangsa dari kondisi sosial ekonomi yang tidak prorakyat miskin hanya dapat dilaksanakan dengan baik jika kebijakan legislasi nasional diarahkan pada tujuan mencapai keadilan restoratif.Arah itu akan mengurangi harapan dan praanggapan bahwa keadilan retributif adalah solusi satu-satunya penyelesaian masalah yang melanda bangsa Indonesia. Keadilan restoratif mendambakan kehidupan rakyat yang rukun dan damai serta menumbuhkembangkan rasa saling hormat antara sesama anggota masyarakat dan sesama elite politik serta saling hormat sesama pejabat lembaga negara.
Keadilan restoratif yang mendambakan bahwa penyelesaian konflik atau sengketa tidak selalu harus berujung pada peradilan, melainkan harus diyakinkan bahwa masyarakat Indonesia adalah masyarakat berbudaya kolektivitas, bukan budaya individualis dan kepentingan komunal lebih penting daripada “kemenangan”pada orang per orang. Keadilan restoratif yang dapat meyakinkan bahwa kesejahteraan bangsa Indonesia hanya dapat dicapai melalui penggunaan model hukum integratif sebagai hasil upaya evaluasi dan rekonstruksi pemikiran hukum pembangunan (Mochtar Kusumaatmadja) dan hukum progresif (Satjipto Rahardjo alm).
Keduanya tidak hanya memandang hukum sebagai sistem norma dan sistem perilaku, melainkan sebagai sistem nilai luhur yang bersumber pada Pancasila dan UUD 1945. ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar