Meneladani Asketis Nabi
Asep Salahudin, WAKIL REKTOR IAILM PESANTREN SURYALAYA, TASIKMALAYA
Sumber : KOMPAS, 4Februari 2012
Salah satu spirit kenabian yang patut kita renungkan dalam konteks Maulid adalah politik zuhud asketisme. Ketika manusia yang mengklaim dirinya umat menampakkan gejala hidup hedonistis larut dalam pesona dunia dengan menghalalkan segala cara, kita perlu meneladani asketis Nabi.
Zuhud asketis artinya meninggalkan keduniawian untuk hidup sederhana, jujur, dan rela berkorban. Diakui atau tidak, saat ini kita hidup dalam ketamakan. Dengan telanjang kita saksikan bagaimana uang miliaran rupiah yang seharusnya untuk kepentingan publik menjadi ajang bancakan sejumlah kalangan.
Hiruk-pikuk Badan Anggaran (Banggar) DPR sudah lebih dari cukup menggambarkan sikap rakus itu. Lihat saja catatan Sekretariat DPR tahun 2012 yang sangat melecehkan akal sehat: langganan jasa internet (Rp 3,47 miliar), pemeliharaan dan biaya makan rusa (Rp 598,3 miliar), pengharum ruangan (Rp 16 miliar), renovasi ruang kerja Banggar (Rp 20,3 miliar), kalender (Rp 1,3 miliar), pekerjaan servis kompleks DPR Kalibata (Rp 36,3 miliar).
Kita juga membaca tentang 76 kepala daerah yang telah menjadi tersangka. Persoalan ternyata lagi-lagi penyalahgunaan kekuasaan yang berpangkal pada praktik korupsi.
Otonomi yang seharusnya membersitkan berkah bagi semua—karena diandaikan kesejahteraan terdistribusi merata ke sejumlah daerah—ternyata disalahgunakan para pengelola, yang seharusnya menyikapi kuasa sebagai ”amanah” malah menjadi ”gonimah” untuk memperkaya diri.
Korupsi memang belum juga terselesaikan. Bahkan, indeks korupsi semakin menaik. Penyakit akut yang menjadi akar hancurnya negara despotis Orde Baru tidak diputus, tetapi kuantitas dan kualitas, baik jumlah maupun modusnya, malah dipercanggih.
Kesederhanaan
Maulid Nabi Muhammad SAW sesungguhnya mengabarkan kisah seputar politik asketis yang diterapkan oleh Sang Nabi. Seorang dengan kekuasaan yang sangat luas ternyata lebih berminat mengambil opsi hidup jauh dari kemegahan ketika pada saat yang sama raja-raja di seputarnya, baik Persia maupun Romawi, hidup bergelimang benda.
Rasulullah lebih memilih menyatu dengan rakyat. Istananya tidak dibangun berlapiskan emas permata, tetapi menjadi bagian depan masjid tempat keluar masuk masyarakat. Alih-alih memakai pagar yang menghabiskan uang rakyat, pintu rumahnya justru dibiarkan terbuka agar para sahabat dan komponen bangsa dapat berdialog setiap saat.
Dapat kita bayangkan, seorang manusia pilihan Tuhan, yang telah sukses menggulingkan ”kekuasaan tirani” Mekkah dan menjungkalkan orde represif jahiliah, masih sempat menjahit sendiri bajunya yang sobek.
Di meja makannya kerap tidak tersedia makanan sehingga Nabi lebih memilih menghabiskan hari-hari dengan berpuasa. Jangan bayangkan Nabi memperoleh banyak harta rampasan perang sebab seluruh bagian untuknya dikembalikan ke kas negara.
Politik asketis diterapkan dalam maknanya yang sempurna. Hidup sederhana tidak sekadar slogan untuk membangun pencitraan—sementara misalnya di belakang ternyata menumpuk harta, diam-diam menerima upeti dan membangun perusahaan sebagai persiapan setelah tidak berkuasa—tetapi menjadi pilihan. Hidup sederhana adalah panggilan jiwanya. Terbukti ketika dipanggil Sang Kuasa, tidak ada harta yang diwariskan.
Apa yang diucapkan berbanding lurus dengan praksisnya. Tekad, ucapan, dan tindakan menyatu sehingga ”perubahan sosial” yang diinginkan lekas diwujudkan. Maka, mencapai negara kesejahteraan dan Madinah yang berkeadaban tidak harus menunggu ratusan tahun, tetapi dapat disaksikan sendiri oleh Nabi.
Kunci Keteladanan
Kunci transformasi sosial yang sangat cepat itu ternyata salah satunya adalah keteladanan, asketisme yang utuh, dan pejuang militan yang setiap perkataannya sejalan dengan seluruh tindakannya. Tidak heran jika seorang orientalis, Michail Hart, menobatkan Nabi sebagai orang pertama dari seratus orang berpengaruh di dunia yang sukses mengubah sejarah kemanusiaan.
Maka, menjadi dapat dipahami jika kemudian Sang Nabi menjadi rujukan para sahabatnya. Rujukan bukan hanya dalam ritus, melainkan juga dalam ruang sosial yang lebih luas: politik, budaya, dan terutama moralitas.
Nabi sadar betul bahwa kata-katanya hanya menjadi gema yang tidak berarti kalau semuanya hanya sebatas slogan. Kekuasaan akan menjadi ”hantu” manakala yang ditampilkan adalah hidup serakah.
Seorang sahabatnya pernah bertanya, ”Ya, Rasul tunjukkanlah suatu tindakan yang apabila aku mengamalkannya, Tuhan dan manusia mencintaiku?”
Rasulullah menjawab, ”Zuhudlah kamu terhadap dunia, niscaya Tuhan mencintaimu. Zuhudlah kamu pada apa-apa yang ada pada tangan manusia, niscaya manusia mencintaimu.”
Di lain kesempatan diujarkannya, ”Orang yang kaya bukanlah orang yang berlimpah harta, sesungguhnya orang yang kaya adalah orang yang kaya jiwanya.”
Benda disikapinya tidak sebagai segala-galanya, tetapi justru sebagai media untuk merengkuh keluhuran pekerti sebagai alat kejuangan.
Mungkin dalam perjalanan bangsa, hal itu mengingatkan kita pada manusia pergerakan, semacam Hasyim Asy’ari, M Natsir, Hatta, Syafruddin Prawiranegara, Hamka, dan Tan Malaka. Mereka terus dikenang karena berjuang demi kemanusiaan, demi kemerdekaan, bukan lainnya.
Hanya Sementara
Politik asketis menempatkan benda tak lebih dari tempat mengembara untuk melanjutkan perjalanan menuju keabadian.
”Jadilah kamu di dunia ini seolah-olah kamu orang yang mengembara atau orang yang melewati jalan. Persiapkanlah bahwa dirimu akan termasuk (kelompok) orang-orang yang telah mati. Apabila dirimu berada di waktu pagi, janganlah menceritakan bahwa kamu akan bisa berada di sore hari.
Seandainya kamu menghirup udara sore, jangan yakin bahwa hal yang sama akan bisa dilakukan esok hari. Jadikanlah kesehatanmu untuk sakitmu, kemudaan untuk masa tua, kekayaan untuk kefakiran, dan hidupmu untuk matimu. Kamu sungguh tidak akan mengetahui siapakah namamu besok.”
Dalam kearifan perenial diteguhkan bahwa ketika sikap asketis ini tidak diinternalisasikan, perburuan terhadap benda akan menjadi napas manusia. Inilah lingkaran kejahatan itu, muara dari seluruh laku negatif. Perburuan baru selesai ketika napas sudah di ujung tenggorokan. Tak ubahnya meminum air laut, semakin diteguk semakin haus.
Dalam ungkapan Rasulullah, ”Andaikata anak Adam mempunyai emas dua lembah, niscaya dia menghendaki yang ketiga. Tidak ada yang memenuhi perut anak Adam, kecuali tanah.”
Alhasil, perayaan Maulid menjadi relevan karena kehidupan tengah terpelanting dalam arus keserakahan. Upacara kelahiran Nabi mengingatkan kembali ingatan tentang politik asketis sebagai modal sosial membangun negara berkeadaban. ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar