Ungkapkan dengan Bunga
Gede Prama, PENULIS BUKU SIMFONI DI DALAM DIRI:
MENGOLAH KEMARAHAN MENJADI KETEDUHAN
Sumber : KORAN TEMPO, 3Februari 2012
Negeri autopilot, demikian kesimpulan sahabat yang merasa pemerintah seolah olah tiada. Terutama di tengah derasnya ancaman akan pluralitas, aparat sepertinya tidak berbuat apa-apa. Negeri para makelar, itu kesimpulan sahabat lain yang melihat pemerintah hanya adem-ayem atas kemampuan sekolah menengah kejuruan menghasilkan mobil sendiri. Cerita akan lain sekali--masih menurut para kritikus-bila pabrikan mobil luar negeri datang kepada aparat meminta proteksi, plus tentu ongkos komisi buat makelar.
Inilah salah satu wajah demokrasi, dengan pemerintah yang selalu dalam posisi bersalah. Namun, melihat perkembangan kerut wajah sejumlah pemimpin negeri ini, tampak jelas pihak pemerintah juga bekerja keras. Salah satu bagian wajah pemimpin yang bisa mewakili kerja keras dan kelelahan adalah cekungan di bawah mata. Dan ini bukan tidak ada hasilnya, investor luar mulai menyebut negeri ini sebagai wanita cantik. Buktinya, investment grade yang lenyap sejak 1997 sudah kembali dalam pangkuan pada 2011.
Pertanyaan awam sehabis ini, mana yang benar, negeri ini bopeng sebagaimana komentar kritikus, atau wanita cantik sebagaimana kesimpulan investor. “In the deeper level, truth is relational,“ demikian pesan tetua bijaksana dari Timur. Dalam tingkatan yang lebih dalam, kebenaran sifatnya relasional, amat bergantung pada siapa yang mempersepsikan, dengan siapa seseorang berinteraksi, apa kepentingannya, dan seberapa jujur seseorang dalam menyuarakan kebenaran.
Melihat sifat kebenaran yang relasional seperti ini, bisa dimaklumi bila ada guru yang menyarankan sebaiknya seseorang lebih cerdas tidak hanya di depan berita, tapi perlu “lebih cerdas“ bahkan di depan buku suci sekalipun. Lihat konteks lahirnya, cermati dinamikanya, dan pandang secara jernih pewarta berita sekaligus buku suci. Menelan mentah-mentah apa yang disajikan, serupa makan makanan yang belum dimasak, tidak hanya menimbulkan penyakit, tapi juga membuat diri menjadi bagian dari penyebaran penyakit, bukan bagian dari langkah-langkah kesembuhan dan pertumbuhan.
Ini yang bisa menjelaskan kenapa banyak pencinta kejernihan menjaga jarak terhadap kerumunan orang kebanyakan. Ini juga sebabnya kenapa kerumunan orang kebanyakan tidak semakin tersembuhkan di tengah kerumunan, sebaliknya tambah sakit dari hari ke hari. Coba perhatikan angka bunuh diri yang terus meningkat, rumah sakit jiwa yang sesak. Di tingkatan interpersonal konflik, perang dan permusuhan seperti tidak mengenal henti. Di tingkatan kosmik, pada akhir 2011 terjadi gempa dengan kekuatan 9 skala Richter di Jepang (terbesar dalam 1.200 tahun terakhir), yang diikuti tewasnya belasan ribu orang dan hilangnya ribuan manusia yang lain.
Pada tataran ini, rumusnya bukan hanya kejadian memproduksi kebenaran, tapi “kebenaran“ ikut memproduksi kejadian. Sementara dalam geografi berlaku rumus bentuk wilayah menentukan bentuk peta, dalam kekacauan kosmik saat ini rumusnya terbalik, yakni peta (baca: cara memandang) menentukan bentuk wilayah (realitas). Terutama karena kepala manusia berisi banyak kekacauan, kemudian keputusan-keputusannya ikut menciptakan kekacauan.
Mungkin karena merenung dalam-dalam di atas tumpukan bahan renungan seperti inilah, kemudian tetua di Timur menjauh dari perdebatan--apalagi penghakiman anarkistis-dan duduk bermeditasi bersahabatkan keheningan. Di awal perjalanan, keheningan diambil alih oleh kekacauan. Maka banyak orang mudah marah dan protes. Di pertengahan perjalanan, mulai ada ruang antara kejadian di satu pihak dan sikap keseharian di lain pihak. Kadang sikapnya masih dibawa pergi emosi, kadang bisa merasakan keheningan.
Makhluk tercerahkan malah lebih mengagumkan lagi, mulai bisa “istirahat“ dalam ruang-ruang keheningan. Kejadian, berita, dan opini serupa awan. Yang menyenangkan mirip awan putih, yang menjengkelkan serupa awan hitam. Tapi, baik yang putih maupun hitam sama-sama tidak kekal, tunduk pada hukum muncul dan lenyap. Penderitaan terjadi karena manusia menggenggam awan putih, atau menendang awan hitam. Perjalanan menuju kesembuhan lebih mungkin terjadi, saat seseorang belajar menyaksikan muncul-lenyapnya awan-awan, kemudian “istirahat“ dalam kejernihan langit biru. Dan kapan saja awan menghilang, langit senantiasa berhiaskan cahaya yang mengusir kegelapan (baca: kekacauan kosmik).
Ada memang yang menuduh keadaan istirahat terakhir dengan apatis, tapi siapa saja yang lama beristirahat dalam langit biru tahu, sebagaimana air yang tidak bisa dipisahkan dengan basah, keheningan sebagai buah meditasi tidak bisa dipisahkan dengan kasih sayang. Itu sebabnya, salah satu simbol pencerahan yang ada di alam adalah pepohonan. Kelihatannya pohon diam dan pasif, tapi dalam diamnya ia mengolah karbon dioksida menjadi oksigen yang amat dibutuhkan semua makhluk. Pemimpin-pemimpin seperti inilah yang dibutuhkan alam dalam kekinian. Mulutnya memang mengeluarkan teramat sedikit suara, tapi tindakannya menyuarakan kasih sayang. Ini yang di Barat disebut dengan say it with flower. Ungkapkanlah dengan bunga (baca: kasih sayang).
Sementara di Bali, yang bergelimang dolar pariwisata setiap hari, peristiwa-peristiwa mengenaskan terjadi, seperti infeksi HIV/AIDS, bunuh diri, dan konflik, tidak terbayang apa yang terjadi di Indonesia timur yang belum tersentuh pembangunan. Sementara di Jawa dan Sumatera saja infrastruktur jalan demikian menyedihkan, sehingga gerak pelayanan terhadap rakyat terganggu, tidak terbayang apa yang terjadi di tempat-tempat di mana sungai masih tidak berisi jembatan.
Sementara di Jakarta bahaya narkotik tidak sepenuhnya tertangani, apa yang terjadi di pelosok-pelosok yang jauh dari pusat pemerintahan. Hal-hal seperti inilah yang sebaiknya menjadi bahan renungan semua pihak (baik pemerintah maupun kritikus), endapkan sambil menarik napas sebentar, kemudian dengarkan bisikan keheningan: “ungkapkan dengan bunga“. ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar