Gus Dur Memanusiakan Manusia
M Subhi Azhari, PENELITI THE WAHID INSTITUTE, JAKARTA
Sumber : JARINGAN ISLAM LIBERAL, 3Februari 2012
Disinilah, bagi Moqsith, pentingnya memikirkan apa saja yang perlu dilakukan para penerus perjuangan Gus Dur. Banyak pekerjaan Gus Dur yang berhasil, namun banyak pula yang belum tuntas. Antara lain nasib Ahmadiyah yang hingga sekarang masih belum selesai, problem regulasi negara seperti PNPS No. 1 tahun 1965, persoalan GKI Taman Yasmin Bogor juga masalah Syi’ah yang akhir-akhir ini banyak muncul. Kesemuanya adalah pekerjaan rumah para penerus perjuangan Gus Dur.
Berbagai problem kebangsaan sekarang seakan bertolak belakang dengan apa yang selama ini telah diperjuangkan mendiang KH. Abdurrahman Wahid (Gus Dur) sampai akhir hayatnya yakni memanusiakan manusia. Sikap, nilai dan perjuangan itu kian penting ketika Indonesia semakin kehilangan kendali atas kehidupan bersamanya sebagai bangsa, terus digerogoti kepentingan sesaat, kepentingan kelompok, kecintaan pada kekuasaan dan nilai bangsa yang memburam..
Inilah sedikit diantara refleksi para tokoh pada haul 2 tahun meninggalnya Gus Dur di kediaman almarhum, Kompleks Masjid Al Munawarah, Jl. Warung Silah, Ciganjur Jakarta Selatan, Jumat, (30/12). Tampak hadir pada acara ini Ketua Mahkamah Konstitusi Mahfud, MD, Mantan Ketua DPR Akbar Tanjung, aktivis HAM Usman Hamid, aktivis JIL Abd. Moqsith Ghazali, Pemimpin Redaksi Kompas Rikard Bagun, budayawan Al Zanstrow Ngatawi, Wakil Menteri Agama Nasarudin Umar, sejumlah tokoh lintas agama, Hj. Shinta Nuriyah Wahid dan putrid-putri Gus Dur.
Acara ini turut dimeriahkan pagelaran Wayang Kampung Sebelah dari Solo.Wayang adalah salah satu kesenian yang amat digemari Gus Dur semasa hidupnya.
Anita Wahid, salah satu putrid Gus Dur mengungkapkan betapa kita rindu menjadi manusia yang memanusiakan manusia sebagaimana ditunjukkan Gus Dur. Baginya, menjadi manusia berarti mendahulukan kepentingan manusia di atas kepentingan duniawi sesaat. Hal itu bisa Gus Dur lakukan karena ia berpegang pada tiga nilai besar yaitu keadilan, kesetaraan serta nilai persaudaraan. “Inilah yang seharusnya menjadi pondasi kehidupan berbangsa kita” tandas Anita.
Karena itu pulalah lanjut Anita, meski Gus Dur sudah dua tahun meninggal, waktu tetap tidak bisa memisahkan sosok Gus Dur dari kehidupan bangsa Indonesia. “Bapak tidak hanya sekedar menjadi kenangan dalam album-album yang tertutup atau pada foto-foto di dinding rumah. Bapak masih tetap hidup, sebagaimana penyair mengatakan Gus Dur hanya pulang bukan pergi” lanjutnya lirih.
Pemimpin Redaksi Kompas, Rikard Bagun menilai warisan yang ditinggalkan Gus Dur adalah nilai kebangsaan dan kemanusiaan. Nilai-nilai tersebut tidak hanya membesarkan namanya tetapi juga mengabadikan dirinya jauh melampauai usia hidup dan keterbatasan jamannya. “Kebesaran Gus Dur kita tahu bukan terletak pada tampilan sosok dan pisiknya, tapi pada keluhuran, pikiran hati dan cita-citanya yang selalu memberi sugesti perbaikan dan penghormatan pada hak asasi, demokrasi, keaadilan dan lingkungan hidup” tagasnya.
Perjuangan Gus Dur menciptakan kehidupan bangsa yang lebih baik menjadikanya sebagai tokoh yang berpengaruh dalam sejarah kontemporer Indonesia. pengaruhnya jauh lebih luas dan besar ketimbang kekuasaan.”Dalam sejarah, jangkauan pengaruh jauh lebih kuat, jauh lebih luas ketimbang kekuasaan politik atau power. Sekalipun Steve Jobs dari perusahaan Apel, Bill Gates dari Microsoft, Bunda Theresa, ilmuwan Einstein dan The Beatles tidak memiliki kekuasaan politik tetapi mereka memiliki pengaruh luar biasa melampaui batas negara, kawasan dan jamannya” lanjutnya.
Mengapa Gus Dur demikian besar pengaruhnya? Salah satu jawabannya menurut Rikard karena Gus Dur memiliki apa yang disebut sebagai budaya unggul yakni budaya yang selalu memperjuangkan kebenaran dan kebaikan bukan bagi dirinya atau bagi Islam tetapi bagi semua orang.
Pada aspek yang lain aktivis HAM Usman Hamid menilai masa pemerintahan Gus Dur adalah masa dimana komitmen pemerintah terhadap penegakan hak asasi manusia sangat kuat. Pemerintahan Gus Dur mendukung seluruh institusi HAM. penyelidikan HAM juga ditindaklanjuti. “Bahkan seorang jenderal di copot karena terlibat kejahatan di Timor Timur dan menghambat reformasi ditubuh militer, Keputusan Presiden diterbitkannya untuk memfungsikan Pengadilan HAM” paparnya.
Praksis Pemerintahan Wahid lanjut Usman bisa meneropong situasi HAM sekarang dengan sangat jernih. Itu karena Gus Dur adalah sosok pemimpin, pembela rakyat marjinal, pembela minoritas agama etnis yang hak-haknya terhalangi baik dalam berkeyakinan, beragama atau mendirikan rumah ibadah sepeti yang dialami GKI Yasmin akhir-akhir ini.
Senada dengan Usman Abd. Moqsith Ghazali juga melihat Gus Dur adalah sosok yang konsisten dengan perjuangannya, dia tidak pernah pamrih atas berbagai hal yang dia bela untuk mengeruk keuntungan pribadi. Hal itu bisa terjadi karena Gus Dur mengerti mana sarana mencapai tujuan dan mana tujuan itu sendiri. Bagi Gus Dur pluralisme adalah tujuan perjuangan dan bukan sarana mencapai tujuan. “Itu sebabnya Gus Dur tidak pernah mempolitisasi pikiran-pikiran pluralism, tidak pernah mempolitisasi HAM. Dia juga tidak khawatir apakah partainya akan merosot suaranya, atau dia akan ditinggal umatnya. Inilah yang berbeda dengan generasi-generasi setelahnya” sindir Mogsith.
Keistimewaan lain Gus Dur adalah keyakinannya pada iman yang terbuka. Bagi Gus Dur, iman bukanlah rumah yang tertutup untuk menebalkan tapal batas dirinya dengan orang lain. Dengan keimanan yang kuat Gus Dur tidak ragu untuk berjumpa dengan orang lain yang berbeda keyakinan dan agama.”Keimanan Gus Dur tidak merosot hanya karena mengucapkan selamat natal kepada umat Kristiani. Gus Dur tidak marah dengan polling Arswendo yang menyatakan Nabi Muhammad ratingnya kalah jauh ketimbang Zainudin MZ Keimanan yang kuat menjadikan Gus Dur tidak ragu untuk berjumpa menjabat orang yang berbeda. Itulah makna keimanan yang diharapkan Gus Dur” tandas Moqsith.
Banyak orang merasa kehilangan atas kepergian Gus Dur, karena begitu banyak peristiwa yang dialami bangsa pada saat ini baik berkaitan dengan kehidupan masyarakat, kehiduan umat beragama ternyata jauh dari apa yang dicita-citakan Gus Dur. Karena itu bagi Moqsith cita-cita itulah yang harus diteruskan orang-orang yang mengaku mengikuti ajaran Gus Dur, bukan dengan menyembahnya.
Moqsith mengutip sepenggal kisah ketika sahabat Umat Bin Khattab tidak mau menerima kenyataan Nabi Muhammad telah meninggal dunia. Dia bahkan bersumpah akan memengal kepala siapapun yang berani mengatakan bahwa Nabi sudah meninggal. Namun Abu Bakar al Shiddiq, sahabat yang lain segera menyadarkan dia dengan mengatakan: “Bahwa barang siapa yang menyembah Muhammad, sesungguhnya dia telah mati, tapi barangsiapa yang menyembah Allah, Dia adalah kekal, tidak pernah mati”.
Disinilah, bagi Moqsith, pentingnya memikirkan apa saja yang perlu dilakukan para penerus perjuangan Gus Dur. Banyak pekerjaan Gus Dur yang berhasil, namun banyak pula yang belum tuntas. Antara lain nasib Ahmadiyah yang hingga sekarang masih belum selesai, problem regulasi negara seperti PNPS No. 1 tahun 1965, persoalan GKI Taman Yasmin Bogor juga masalah Syi’ah yang akhir-akhir ini banyak muncul. Kesemuanya adalah pekerjaan rumah para penerus perjuangan Gus Dur.
Bahkan menurut Akbar Tanjung, sedemikian besar pekerjaan rumah kita saat ini, jika Gus Dur masih ada, dia pasti akan turun langsung menyelesaikannya. ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar