Jalur Undangan dan Sistem Seleksi Masuk PTN
Darmaningtyas, PENULIS BUKU KEBIJAKAN MANIPULATIF PENDIDIKAN
Sumber : KORAN TEMPO, 7Februari 2012
Ada berita aneh dari dunia pendidikan tinggi kita. Perguruan tinggi negeri (PTN) mulai mempertimbangkan penerimaan mahasiswa hanya melalui jalur undangan, tanpa ujian tertulis. Hal itu dikemukakan oleh Ketua Majelis Rektor PTN Indonesia sekaligus Rektor Universitas Hasanuddin, Idrus Paturusi. Mereka ragu akan hasil ujian tertulis seleksi nasional masuk perguruan tinggi negeri, apalagi masih ada praktek joki, nepotisme, dan menyontek (Kompas, 21 Januari 2012).
Bagi saya, usulan ini terasa aneh sekali karena tes tertulis untuk masuk PTN itu sudah berlangsung lebih dari 30 tahun sejak masa Sekretariat Kerja Sama Antara Lima Universitas (SKALU), 1979, yang berganti menjadi Proyek Perintis (I-IV), sistem penerimaan mahasiswa baru (Sipenmaru), ujian masuk perguruan tinggi negeri (UMPTN), sistem penerimaan mahasiswa baru (SPMB), dan kemudian berganti nama lagi menjadi seleksi nasional masuk perguruan tinggi negeri (SNMPTN) yang sampai sekarang hasilnya tidak pernah diragukan. Tidak pernah ada gugatan terhadap kredibilitas tes tertulis masuk PTN, tapi mengapa tiba-tiba dipersoalkan?
Kredibilitas
Berdasarkan pengalaman di lapangan, tes tertulis masuk PTN merupakan instrumen yang paling obyektif dan sudah terbukti kredibel selama lebih dari 30 tahun. Betul bahwa ada praktek joki, tapi itu sifatnya kasuistik, tidak sistemik, hanya terjadi di beberapa PTN dan tidak selalu ada setiap tahun. Artinya, keberadaan joki tidak dapat dijadikan argumen untuk membatalkan tes tertulis tersebut. Tidak pernah muncul kasus seseorang yang diterima di PTN melalui sistem tes tertulis digugat kemampuannya. Justru yang sering muncul gugatan terhadap sistem penelusuran minat dan kemampuan (PMDK) pada masa lalu, atau istilah sekarang Jalur Undangan, karena ditengarai ada manipulasi nilai rapor oleh pihak sekolah, sampai akhirnya pernah ada sebuah sekolah menengah atas swasta di-blacklist oleh beberapa PTN terkemuka lantaran muridnya banyak yang diterima melalui jalur PMDK, tapi prestasi mereka setelah menjadi mahasiswa rendah.
Adapun jalur undangan saat ini digugat karena ternyata yang banyak diterima adalah anak-anak golongan mampu saja, sehingga jalur undangan dicurigai sebagai mekanisme PTN untuk merekrut calon mahasiswa dari golongan mampu, bukan semata karena prestasi akademiknya. Sementara itu, untuk golongan miskin, meskipun bernilai bagus, mereka belum tentu diterima. Jalur undangan juga diskriminatif karena hanya menerima siswa dari sekolah yang sudah terakreditasi. Padahal, karena suatu hal, banyak anak pintar bersekolah di sekolah yang tidak terakreditasi, sehingga mereka kehilangan peluang untuk disaring melalui jalur undangan.
Jalur undangan saat ini dinilai kurang transparan karena memang sulit dikontrol oleh publik, tidak ada mekanisme untuk mengontrolnya, sehingga yang tahu hanya pihak PTN yang bersangkutan dan sekolah asal calon mahasiswa tersebut. Penulis termasuk salah seorang yang menganjurkan agar kuota jalur undangan tersebut dikurangi, bukan justru dijadikan instrumen tunggal. Penulis lebih percaya pada sistem tes tertulis, karena terkontrol oleh publik, minimal oleh para peserta yang begitu banyak. Umumnya peserta tes tertulis dapat menakar dirinya sendiri apakah akan diterima atau tidak berdasarkan pengalaman mengerjakan soal tes masuk PTN. Takaran mereka itulah yang dapat disebut sebagai kontrol dari masyarakat. Sampai sekarang tidak pernah muncul protes dari masyarakat yang tidak diterima di PTN terhadap mereka yang diterima. Itu membuktikan bahwa sistem seleksi tertulis secara bersama selama ini, selain kredibel, transparan, karena memang selalu diumumkan melalui media massa.
Bagi penulis, suatu kebijakan publik yang sudah terbukti kredibel dan transparan tidak perlu dipersoalkan lagi.Yang dibutuhkan hanyalah perbaikan, seperti menghilangkan joki sama sekali atau menaikkan tingkat kesulitan soal untuk mendapatkan bibit yang lebih baik. Tapi konsep tes tertulis bersamanya tidak perlu dipersoalkan lagi.
Gagasan menghapuskan ujian tertulis masuk PTN bertentangan dengan Peraturan Pemerintah Nomor 66 Tahun 2010 tentang Pengelolaan dan Penyelenggaraan Pendidikan. Bunyi pasal 53B: (1) Satuan pendidikan tinggi yang diselenggarakan oleh pemerintah wajib menjaring peserta didik baru program sarjana melalui pola penerimaan secara nasional paling sedikit 60 persen dari jumlah peserta didik baru yang diterima untuk setiap program studi pada program pendidikan sarjana. Ayat 2: Pola penerimaan secara nasional sebagaimana dimaksud pada ayat 1 tidak termasuk penerimaan mahasiswa melalui penelusuran minat dan kemampuan atau bentuk lain yang sejenis.
Amanat Pasal 53B PP Nomor 66 Tahun 2010 itu jelas mengacu pada ujian tertulis secara serentak bagi seluruh PTN, atau sekarang dikenal dengan nama SNMPTN. Ironis sekali bila tidak ada preseden buruk apa pun, tiba-tiba semangat bagi semua warga itu akan ditutup begitu saja melalu penghapusan ujian tertulis secara bersama-sama dan digantikan dengan jalur undangan.
Akses Masyarakat
Usulan sejumlah pemimpin PTN menghapuskan SNMPTN itu tidak lepas dari perjuangan Menteri Pendidikan (sejak Bambang Sudibyo) yang menghendaki adanya integrasi ujian nasional (UN) dengan seleksi masuk PTN. Usulan itu pernah disampaikan kepada publik tapi ditolak oleh para pemimpin PTN terkemuka, karena mereka ragu akan kredibilitas UN. Di sisi lain, persoalan fungsi UN digugat terus oleh masyarakat. Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Mohammad Nuh ingin mengakhiri polemik dengan mengintegrasikan hasil UN sebagai salah satu alat kontrol bagi mereka yang terjaring di PTN melalui jalur undangan.
Namun dibutuhkan kehati-hatian untuk mengambil keputusan tersebut mengingat ini menyangkut nasib generasi mendatang. Jika yang menjadi persoalan utama adalah status UN yang belum jelas, UN itu yang perlu diselesaikan secara internal. Bila UN dirasakan disfungsi, pemerintah tidak perlu ragu menghapuskannya dan tidak perlu memaksakan diri agar UN diintegrasikan sebagai instrumen seleksi masuk PTN.
Penilaian bahwa prestasi mahasiswa yang terjaring lewat sistem ujian tertulis lebih jelek daripada yang terjaring melalui jalur undangan adalah hal yang logis, tidak aneh, dan tidak mengejutkan. Sebab, mereka yang terjaring melalui jalur undangan itu anak-anak pintar yang sudah terpilih. Selain itu, mereka didukung oleh fasilitas belajar dan gizi yang memadai. Adapun yang terseleksi melalui ujian tertulis adalah yang tidak lolos seleksi jalur undangan. Jadi wajar bila prestasi akademik mereka lebih jelek. Justru tidak rasional bila mengharapkan mereka memiliki prestasi akademik yang lebih bagus daripada yang terjaring melalui jalur undangan.
Membandingkan prestasi akademik antara jalur undangan dan SNMPTN tidak apple to apple. Jalur undangan itu untuk mendapatkan calon-calon mahasiswa yang pintar, sedangkan SNMPTN membuka akses yang lebih luas. Dengan latar belakang yang berbeda, tidak bisa diharapkan hasil yang sama. Meski demikian, dalam bermasyarakat, mereka yang terjaring melalui SNMPTN belum tentu lebih jelek.
Tujuan pemerintah memperluas kuota calon mahasiswa baru yang terjaring lewat tes tertulis mencapai 60 persen adalah dalam rangka memperluas akses bagi golongan miskin, terutama di perguruan tinggi badan hukum milik pemerintah. Kebijakan tersebut mendapat apresiasi positif dari publik. Jadi jangan dimentahkan lagi dengan gagasan penghapusan SNMPTN dan menggantinya dengan jalur undangan saja. Seleksi calon mahasiswa baru dengan menggunakan instrumen tunggal, jalur undangan saja, sama halnya menutup akses golongan miskin lagi masuk PTN. ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar