Konstitusionalitas Pos Wakil Menteri
Hananto Widodo, DOSEN ILMU HUKUM UNIVERSITAS NEGERI SURABAYA, FELLOW JEJARING INTELEKTUAL PUBLIK INDONESIA (JIPI)
Sumber : SUARA MERDEKA, 28Januari 2012
"Seringkali pemberian kewenangan kepada pejabat negara lebih bersifat diskresi, yaitu diberi kewenangan secara bebas"
SEBUAH undang-undang (UU) bisa menimbulkan masalah ketika regulasi itu baru saja diundangkan atau ketika sudah lama diundangkan. Yang pertama, jika substansi dianggap terlalu membatasi hak-hak warga negara, seperti UU Pornografi dan Pornoaksi. Yang kedua adalah bila ada masalah baru setelah regulasi itu mulai diterapkan.
Yang pertama antara lain UU Nomor 39 Tahun 2008 tentang Kementerian Negara. Perangkat hukum itu sudah diundangkan sejak 6 November 2008 tetapi baru dipermasalahkan oleh sekelompok orang yang menamakan diri Gerakan Nasional Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (GN-PK). Mereka melakukan permohonan uji materiil terhadap regulasi itu ke Mahkamah Konstitusi (MK).
Mereka mempersoalkan Pasal 10 yang transkripnya berbunyi,’’ dalam hal terdapat beban kerja yang membutuhkan penangan secara khusus, Presiden dapat mengangkat wakil menteri pada kementerian tertentu’’. Menurut mereka UUD 1945 tidak mengenal jabatan wamen. Karena itu mereka menilai keputusan Presiden SBY mengangkat wamen dalam Kabinet Indonesia Bersatu II inkonstitusional.
Dalam perspektif hukum acara MK paling tidak GNPK sebagai pemohon harus memenuhi syarat sebagai legal standing. Pasal 51 Ayat (1) UU Nomor 24 Tahun 2003 tentang MK menyebutkan pihak-pihak (sebagai pemohon) yang hak atau kewenangan konstitusionalnya dirugikan oleh berlakunya UU itu. Para pihak itu yakni perorangan WNI, kesatuan masyarakat hukum adat sepanjang masih hidup dan sesuai dengan perkembangan masyarakat dan prinsip NKRI yang diatur dalam UU, serta badan hukum publik, privat, atau lembaga negara.
Pertanyaannya adalah berdasarkan Pasal 51 Ayat 1 itu, apakah GNPK memenuhi syarat sebagai legal standing dalam pengujian terhadap materi Pasal 10 UU Kementerian Negara? Tentu GNPK mengalami kerugian konstitusional secara tidak langsung. Bahkan seluruh elemen masyarakat Indonesia pun mengalami hal sama. Dengan banyaknya wamen, beban anggaran negara makin berat sebab harus menggaji mereka.
Diskresi
Namun apakah GNPK mengalami kerugian konstitusional secara langsung? Bandingkan dengan masyarakat adat yang merasa dirugikan dengan lahirnya UU Pornografi. Mereka bisa menunjukkan kalau UU Pornografi dapat merepresi mereka dalam konteks cara berpakaian, seperti pakaian adat yang sedikit memperlihatkan payudaranya.
Apakah secara konstitusional Pasal 10 UU Kementerian Negara itu bertentangan dengan UUD 1945? Dasar konstitusional tentang kementerian diatur dalam Pasal 17 ayat 4 yang menyatakan bahwa ’’pembentukan, pengubahan, dan pembubaran kementerian negara diatur dalam UU’’.
Seringkali pemberian kewenangan kepada pejabat negara lebih bersifat diskresi, yaitu diberi kewenangan secara bebas. Kapan kewenangan itu dilakukan bergantung darinya karena dianggap lebih tahu kondisi riilnya. Kewenangan presiden mengangkat wamen bersifat diskresi, sebab dalam rumusan pasalnya ada kata ’’dapat’’.
Secara politis langkah SBY mengangkat banyak wamen memang kontraproduktif. Reshuffle kabinet yang diinginkan publik beberapa waktu lalu adalah pencopotan beberapa menteri yang secara terang benderang korupsi. Faktanya, menteri itu hingga sekarang masih aman, justru SBY mengangkat banyak wamen.
UUD 1945 tidak melarang pengangkatan wamen dan secara yuridis presiden dibenarkan mengangkatnya jika membutuhkan. Namun, penggunaan kewenangan tidak boleh sebebas-bebasnya. Inilah hakikat pemerintahan konstitusional. Artinya tidak bisa hanya dibatasi bahwa semua keputusan tidak bertentangan dengan UUD, tetapi pelaksanaan kewenangan dari pemerintah harus senantiasa dibatasi supaya tidak terjadi pemerintahan yang korup. ●
SEBUAH undang-undang (UU) bisa menimbulkan masalah ketika regulasi itu baru saja diundangkan atau ketika sudah lama diundangkan. Yang pertama, jika substansi dianggap terlalu membatasi hak-hak warga negara, seperti UU Pornografi dan Pornoaksi. Yang kedua adalah bila ada masalah baru setelah regulasi itu mulai diterapkan.
Yang pertama antara lain UU Nomor 39 Tahun 2008 tentang Kementerian Negara. Perangkat hukum itu sudah diundangkan sejak 6 November 2008 tetapi baru dipermasalahkan oleh sekelompok orang yang menamakan diri Gerakan Nasional Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (GN-PK). Mereka melakukan permohonan uji materiil terhadap regulasi itu ke Mahkamah Konstitusi (MK).
Mereka mempersoalkan Pasal 10 yang transkripnya berbunyi,’’ dalam hal terdapat beban kerja yang membutuhkan penangan secara khusus, Presiden dapat mengangkat wakil menteri pada kementerian tertentu’’. Menurut mereka UUD 1945 tidak mengenal jabatan wamen. Karena itu mereka menilai keputusan Presiden SBY mengangkat wamen dalam Kabinet Indonesia Bersatu II inkonstitusional.
Dalam perspektif hukum acara MK paling tidak GNPK sebagai pemohon harus memenuhi syarat sebagai legal standing. Pasal 51 Ayat (1) UU Nomor 24 Tahun 2003 tentang MK menyebutkan pihak-pihak (sebagai pemohon) yang hak atau kewenangan konstitusionalnya dirugikan oleh berlakunya UU itu. Para pihak itu yakni perorangan WNI, kesatuan masyarakat hukum adat sepanjang masih hidup dan sesuai dengan perkembangan masyarakat dan prinsip NKRI yang diatur dalam UU, serta badan hukum publik, privat, atau lembaga negara.
Pertanyaannya adalah berdasarkan Pasal 51 Ayat 1 itu, apakah GNPK memenuhi syarat sebagai legal standing dalam pengujian terhadap materi Pasal 10 UU Kementerian Negara? Tentu GNPK mengalami kerugian konstitusional secara tidak langsung. Bahkan seluruh elemen masyarakat Indonesia pun mengalami hal sama. Dengan banyaknya wamen, beban anggaran negara makin berat sebab harus menggaji mereka.
Diskresi
Namun apakah GNPK mengalami kerugian konstitusional secara langsung? Bandingkan dengan masyarakat adat yang merasa dirugikan dengan lahirnya UU Pornografi. Mereka bisa menunjukkan kalau UU Pornografi dapat merepresi mereka dalam konteks cara berpakaian, seperti pakaian adat yang sedikit memperlihatkan payudaranya.
Apakah secara konstitusional Pasal 10 UU Kementerian Negara itu bertentangan dengan UUD 1945? Dasar konstitusional tentang kementerian diatur dalam Pasal 17 ayat 4 yang menyatakan bahwa ’’pembentukan, pengubahan, dan pembubaran kementerian negara diatur dalam UU’’.
Seringkali pemberian kewenangan kepada pejabat negara lebih bersifat diskresi, yaitu diberi kewenangan secara bebas. Kapan kewenangan itu dilakukan bergantung darinya karena dianggap lebih tahu kondisi riilnya. Kewenangan presiden mengangkat wamen bersifat diskresi, sebab dalam rumusan pasalnya ada kata ’’dapat’’.
Secara politis langkah SBY mengangkat banyak wamen memang kontraproduktif. Reshuffle kabinet yang diinginkan publik beberapa waktu lalu adalah pencopotan beberapa menteri yang secara terang benderang korupsi. Faktanya, menteri itu hingga sekarang masih aman, justru SBY mengangkat banyak wamen.
UUD 1945 tidak melarang pengangkatan wamen dan secara yuridis presiden dibenarkan mengangkatnya jika membutuhkan. Namun, penggunaan kewenangan tidak boleh sebebas-bebasnya. Inilah hakikat pemerintahan konstitusional. Artinya tidak bisa hanya dibatasi bahwa semua keputusan tidak bertentangan dengan UUD, tetapi pelaksanaan kewenangan dari pemerintah harus senantiasa dibatasi supaya tidak terjadi pemerintahan yang korup. ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar