Badai Politik Demokrat
Ridho Imawan Hanafi, PENELITI DARI SOEGENG SARJADI SYNDICATE JAKARTA
Sumber : SUARA MERDEKA, 28Januari 2012
PENYEBUTAN secara terus-menerus nama Ketua Umum Partai Demokrat Anas Urbaningrum dalam kasus M Nazaruddin membuat internal partai limbung. Ketua dewan pembina partai itu SBY bahkan mengagendakan pertemuan khusus anggota dewan pembina di kediaman Cikeas, Bogor (24/01). Forum itu memunculkan isu panas: pergantian ketua umum partai. Dapat dikatakan bahwa Demokrat saat ini dihempas badai politik, dengan posisi ketua umumnya yang rentan goyangan.
Kelimbungan internal itu ditengarai dari betapa kuatnya pengaruh penyebutan keterlibatan Anas dalam kasus korupsi terhadap citra dan masa depan partai. Dari pengadilan, kesaksian Mindo Rosalina Manulang dan Yulianis nyaring menyangkutpautkan Anas, yang bisa menguatkan persepsi publik bahwa partai itu dipimpin koruptor. Hasil survei dari berbagai lembaga juga menunjukkan menurunnya tingkat popularitas dan elektabilitas Demokrat.
Posisi Aman
Sebagai partai pemenang pemilu dan mendudukkan ketua dewan pembinanya sebagai presiden, penyebutan nama ketua umum partai dalam kasus korupsi tentu sebagai aib. Meskipun Anas secara hukum belum ditetapkan terlibat, secara moral politis memudarkan kewibawaan diri dan partainya.
Pemimpin partai menjadi aspek krusial dalam politik kepartaian. Lees-Marshment dan Rudd dalam Azwar (2009) mengemukakan bahwa aspek kepemimpinan menjadi penting karena menjadi pusat perhatian media, publik, dan para politikus. Persoalan itu membuat posisi Anas kini tidak nyaman. Dia dihadapkan pada dua posisi diametral: antara meletakkan jabatan dan bertahan.
Pada posisi pertama, ia harus siap menghadapi munculnya arus kuat yang menghendaki dirinya mundur. Arus ini kemungkinan dimotori pesaingnya tatkala kongres di Bandung. Namun bisa juga mendapat tambahan amunisi dari kelompok lain yang menghendaki partai dikelola oleh orang yang bersih, dengan dalih untuk menyelamatkan partai. Target terdekatnya minimal menonaktifkan Anas.
Namun upaya itu tidak mudah mengingat keterpilihan Anas, baik dengan desas-desus politik uang atau tidak, nyatanya ia memiliki basis pendukung. Kalau pun mengupayakan kongres luar biasa (KLB), perlu ada permintaan dari majelis tinggi partai atau sekurang-kurangnya 2/3 jumlah DPD dan 1/2 jumlah DPC. Selain itu, harus menyebutkan agenda dan alasan-alasannya.
Sejauh ini wacana KLB masih mentah. Anas yang kerap mengunjungi daerah terlihat cukup berhasil untuk sementara membuat pengurus daerah belum bergegas menyambut KLB. Sementara di sisi lain, SBY juga berusaha tidak mengotak-atik jabatan ketua umum partai. Melengserkan Anas dengan kekuasaan yang dimiliki, tanpa mekanisme yang diprasyaratkan organisasi, dapat mencederai citra politik SBY sebagai seorang demokrat.
Sebagai ketua dewan pertimbangan, timbang rasional sebagaimana karakter personalnya selama ini akan dilakukan SBY untuk melekasi persoalan partai. Anas dengan potensi dan kekuatan akan punya alasan melawan jika cara-cara yang dipakai tak elegan. Di sini, kesolidan partai rawan terancam andai cara yang ditempuh SBY meleset. Menanti kejelasan proses hukum, saat ini yang bisa dilakukan SBY hanya mencari ancang-ancang sambil mempersiapkan vonis penyelesaian. Dalam arti lain, yang sedang dicari adalah jalan yang tidak gaduh.
Hanya saja ketidaklekasan seperti itu menambah beban dilema bagi Demokrat. Dua tahun menjelang pemilu bukanlah waktu panjang bagi partai yang sekarang sedang dilanda badai politik. Sementara, partai lain sudah bersiap melakukan berbagai hal untuk merebut simpati pemilih, Partai Demokrat masih terjepit problem internal. ●
Kelimbungan internal itu ditengarai dari betapa kuatnya pengaruh penyebutan keterlibatan Anas dalam kasus korupsi terhadap citra dan masa depan partai. Dari pengadilan, kesaksian Mindo Rosalina Manulang dan Yulianis nyaring menyangkutpautkan Anas, yang bisa menguatkan persepsi publik bahwa partai itu dipimpin koruptor. Hasil survei dari berbagai lembaga juga menunjukkan menurunnya tingkat popularitas dan elektabilitas Demokrat.
Posisi Aman
Sebagai partai pemenang pemilu dan mendudukkan ketua dewan pembinanya sebagai presiden, penyebutan nama ketua umum partai dalam kasus korupsi tentu sebagai aib. Meskipun Anas secara hukum belum ditetapkan terlibat, secara moral politis memudarkan kewibawaan diri dan partainya.
Pemimpin partai menjadi aspek krusial dalam politik kepartaian. Lees-Marshment dan Rudd dalam Azwar (2009) mengemukakan bahwa aspek kepemimpinan menjadi penting karena menjadi pusat perhatian media, publik, dan para politikus. Persoalan itu membuat posisi Anas kini tidak nyaman. Dia dihadapkan pada dua posisi diametral: antara meletakkan jabatan dan bertahan.
Pada posisi pertama, ia harus siap menghadapi munculnya arus kuat yang menghendaki dirinya mundur. Arus ini kemungkinan dimotori pesaingnya tatkala kongres di Bandung. Namun bisa juga mendapat tambahan amunisi dari kelompok lain yang menghendaki partai dikelola oleh orang yang bersih, dengan dalih untuk menyelamatkan partai. Target terdekatnya minimal menonaktifkan Anas.
Namun upaya itu tidak mudah mengingat keterpilihan Anas, baik dengan desas-desus politik uang atau tidak, nyatanya ia memiliki basis pendukung. Kalau pun mengupayakan kongres luar biasa (KLB), perlu ada permintaan dari majelis tinggi partai atau sekurang-kurangnya 2/3 jumlah DPD dan 1/2 jumlah DPC. Selain itu, harus menyebutkan agenda dan alasan-alasannya.
Sejauh ini wacana KLB masih mentah. Anas yang kerap mengunjungi daerah terlihat cukup berhasil untuk sementara membuat pengurus daerah belum bergegas menyambut KLB. Sementara di sisi lain, SBY juga berusaha tidak mengotak-atik jabatan ketua umum partai. Melengserkan Anas dengan kekuasaan yang dimiliki, tanpa mekanisme yang diprasyaratkan organisasi, dapat mencederai citra politik SBY sebagai seorang demokrat.
Sebagai ketua dewan pertimbangan, timbang rasional sebagaimana karakter personalnya selama ini akan dilakukan SBY untuk melekasi persoalan partai. Anas dengan potensi dan kekuatan akan punya alasan melawan jika cara-cara yang dipakai tak elegan. Di sini, kesolidan partai rawan terancam andai cara yang ditempuh SBY meleset. Menanti kejelasan proses hukum, saat ini yang bisa dilakukan SBY hanya mencari ancang-ancang sambil mempersiapkan vonis penyelesaian. Dalam arti lain, yang sedang dicari adalah jalan yang tidak gaduh.
Hanya saja ketidaklekasan seperti itu menambah beban dilema bagi Demokrat. Dua tahun menjelang pemilu bukanlah waktu panjang bagi partai yang sekarang sedang dilanda badai politik. Sementara, partai lain sudah bersiap melakukan berbagai hal untuk merebut simpati pemilih, Partai Demokrat masih terjepit problem internal. ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar