Manajemen Risiko dan Aspek Sosial
Achmad Deni Daruri, PRESIDENT DIRECTOR CENTER FOR BANKING CRISIS
Sumber : SINDO, 1Februari 2012
Krisis sosial yang kembali meletup akhirakhir ini seperti kasus Newmont dan Freeport memperlihatkan akan pentingnya manajemen risiko secara aspek sosial. Dengan adanya kasus itu,perbankan juga harus mampu mengantisipasi letupan aspek sosial tersebut dalam operasi perbankan yang berbasis manajemen risiko. Manajemen risiko memiliki dampak terhadap aspek sosial di masyarakat. Masyarakat yang memiliki budaya menganggap penting manajemen risiko akan memiliki disiplin dan kesadaran yang sangat tinggi terhadap segala macam risiko yang berpotensi akan terjadi di masyarakat tersebut.
Dimensi kehidupan masyarakat akan secara sistematis menciptakan alur kehidupan yang bukan hanya memperhitungkan munculnya potensi risiko, tetapi juga mengeliminasi risiko tersebut. Karl Popper (1971) mengingatkan: “The piecemeal engineer will adopt the method of searching for, and fighting against,the greatest and most urgent evil of society, rather than searching for, and fighting for, its greatest ultimate good.” Namun ada satu tipe kesalahan yang akan muncul dari corak masyarakat yang berbudaya seperti itu,yaitu moral hazard.
Kesalahan ini dapat dieliminasi jika program masyarakat untuk menghindari risiko dapat memberikan pendidikan yang penting akan dampak negatif yang muncul dari moral hazard tersebut. Informasi asimetris merupakan sumber dari munculnya kegagalan pasar sehingga memerlukan intervensi terhadap pasar tersebut. Intervensi akan berhasil jika problem informasi asimetris dapat dieliminasi. Manajemen risiko sosial lebih luas ketimbang manajemen risiko bisnis.
Bisnis merupakan bagian dari kehidupan sosial. Penerapan manajemen risiko dalam kehidupan sosial akan menuntut berjalannya program rekayasa sosial. Untuk itu perlu dilibatkan seluruh ahli ilmu sosial. Bagi perbankan akan diperoleh manfaat yang sangat besar jika rekayasa sosial memberikan kontribusi bagi pembentukan budaya manajemen risiko di masyarakat itu sendiri.Dengan adanya kesadaran masyarakat, tercipta willingness to pay untuk produk manajemen risiko.
Jika kondisi ini sudah tercipta, tugas regulator adalah memberikan pelatihan-pelatihan bagi seluruh komponen masyarakat akan manajemen risiko tersebut. Bukan hanya itu, pemerintah dapat membentuk lembaga khusus yang bertugas mendalami penelitian dan pengembangan manajemen risiko. Lembaga ini sebaiknya disubsidi negara. Dengan demikian ada upaya sistematis untuk menciptakan masyarakat Indonesia masa depan sebagai masyarakat center of excellent dalam bidang manajemen risiko. Pada gilirannya manajemen risiko dapat menyebar bukan saja melulu pada sektor perbankan.
Terjadinya krisis keuangan di Amerika Serikat dan Uni Eropa sebetulnya memperlihatkan bahwa manajemen risiko belum melembaga pada kehidupan masyarakat mereka karena masih bersifat top down approach. Jadi mereka seyogianya mengembangkan task forcekhusus untuk melembagakan dan mengembangkan manajemen risiko di masyarakat mereka. Tanpa upaya ini, krisis keuangan akan berpotensi untuk kembali lagi di masa depan.
Pengawasan
Manajemen risiko masih merupakan pendekatan yang bersifat menara gading. Sehebat apa pun metodologi manajemen risiko yang dikembangkan, pada akhirnya sangat tergantung pada manusia yang menjalankannya.Kasus bobolnya UBS beberapa bulan yang lalu menjadi contoh bahwa manusia atau the man behind the gun masih merupakan faktor yang sangat penting dalam penerapan manajemen risiko. Untuk itu, aspek sosial dari penerapan manajemen risiko harus mendapatkan perhatian yang sangat serius.
Program pendidikan dari taman kanak-kanak hingga universitas seyogianya memberikan materi tentang manajemen risiko.Tentu materi itu dalam konteks memberikan kesadaran akan pentingnya manajemen risiko dalam kehidupan masyarakat.Masyarakat yang sadar akan pentingnya manajemen risiko merupakan modal untuk menghadapi konjungtur perekonomian dunia yang semakin liar.
Masyarakat Uni Eropa dan Amerika Serikat secara relatif memiliki tingkat pendidikan yang lebih tinggi ketimbang masyarakat negara berkembang lainnya, tetapi terbukti bahwa penerapan manajemen risiko masih sangat rapuh di negaranegara tersebut. Manajemen risiko masih merupakan menara gading yang hanya menjadi slogan untuk meninabobokan konsumen dan regulator. Untuk itu setiap universitas harus memiliki lembaga kajian manajemen risiko.
Lembaga ini harus merupakan lembaga yang bersifat otonom dan bebas pajak. Lembaga ini juga harus mendapatkan subsidi dari pemerintah. Pemerintah harus berani mengubah cara pandang bahwa pengembangan manajemen risiko tidak dapat diserahkan kepada pasar semata-mata. Buku-buku mengenai manajemen risiko harus disebarluaskan dengan harga semurahmurahnya. Untuk menghasilkan buku-buku manajemen risiko yang murah,pemerintah dapat belajar dari Pemerintah India.Setiap disiplin keilmuan juga harus mewajibkan mahasiswanya untuk mengambil paling tidak satu mata kuliah tentang manajemen risiko.
Bursa efek, komoditas, dan future harus memiliki lembaga pengembangan manajemen risiko yang sesuai dengan bisnis usaha bursa tersebut.Atau paling tidak ada persentase dari keuntungan yang diperoleh dari bursa tersebut yang dialokasikan bagi lembagalembaga manajemen risiko di perguruan tinggi nasional. Dengan upaya rekayasa sosial,diharapkan manajemen risiko dapat berjalan efektif bukan hanya pada sistem perbankan nasional, tetapi juga perekonomian Indonesia secara keseluruhan.
Dengan adanya lembaga-lembaga manajemen risiko di perguruan tinggi, diharapkan akan keluar modul- modul sosialisasi manajemen risiko yang cocok bagi masyarakat Indonesia yang dapat diaplikasikan bukan hanya oleh perbankan sehingga tidak ada lagi kasus sosial seperti kasus Newmont dan Freeport. Jika program ini berjalan dengan baik, bukannya tidak mungkin Indonesia akan menjadi pusat keuangan dunia di masa depan.
Indonesia mampu membangun pusat keuangan dunia baru dengan paradigma baru melalui rekayasa sosial berbasis manajemen risiko. Bukan hanya itu, perguruan tinggi di Indonesia juga akan menjadi pusat penelitian dan pengembangan manajemen risiko dunia. ●
Dimensi kehidupan masyarakat akan secara sistematis menciptakan alur kehidupan yang bukan hanya memperhitungkan munculnya potensi risiko, tetapi juga mengeliminasi risiko tersebut. Karl Popper (1971) mengingatkan: “The piecemeal engineer will adopt the method of searching for, and fighting against,the greatest and most urgent evil of society, rather than searching for, and fighting for, its greatest ultimate good.” Namun ada satu tipe kesalahan yang akan muncul dari corak masyarakat yang berbudaya seperti itu,yaitu moral hazard.
Kesalahan ini dapat dieliminasi jika program masyarakat untuk menghindari risiko dapat memberikan pendidikan yang penting akan dampak negatif yang muncul dari moral hazard tersebut. Informasi asimetris merupakan sumber dari munculnya kegagalan pasar sehingga memerlukan intervensi terhadap pasar tersebut. Intervensi akan berhasil jika problem informasi asimetris dapat dieliminasi. Manajemen risiko sosial lebih luas ketimbang manajemen risiko bisnis.
Bisnis merupakan bagian dari kehidupan sosial. Penerapan manajemen risiko dalam kehidupan sosial akan menuntut berjalannya program rekayasa sosial. Untuk itu perlu dilibatkan seluruh ahli ilmu sosial. Bagi perbankan akan diperoleh manfaat yang sangat besar jika rekayasa sosial memberikan kontribusi bagi pembentukan budaya manajemen risiko di masyarakat itu sendiri.Dengan adanya kesadaran masyarakat, tercipta willingness to pay untuk produk manajemen risiko.
Jika kondisi ini sudah tercipta, tugas regulator adalah memberikan pelatihan-pelatihan bagi seluruh komponen masyarakat akan manajemen risiko tersebut. Bukan hanya itu, pemerintah dapat membentuk lembaga khusus yang bertugas mendalami penelitian dan pengembangan manajemen risiko. Lembaga ini sebaiknya disubsidi negara. Dengan demikian ada upaya sistematis untuk menciptakan masyarakat Indonesia masa depan sebagai masyarakat center of excellent dalam bidang manajemen risiko. Pada gilirannya manajemen risiko dapat menyebar bukan saja melulu pada sektor perbankan.
Terjadinya krisis keuangan di Amerika Serikat dan Uni Eropa sebetulnya memperlihatkan bahwa manajemen risiko belum melembaga pada kehidupan masyarakat mereka karena masih bersifat top down approach. Jadi mereka seyogianya mengembangkan task forcekhusus untuk melembagakan dan mengembangkan manajemen risiko di masyarakat mereka. Tanpa upaya ini, krisis keuangan akan berpotensi untuk kembali lagi di masa depan.
Pengawasan
Manajemen risiko masih merupakan pendekatan yang bersifat menara gading. Sehebat apa pun metodologi manajemen risiko yang dikembangkan, pada akhirnya sangat tergantung pada manusia yang menjalankannya.Kasus bobolnya UBS beberapa bulan yang lalu menjadi contoh bahwa manusia atau the man behind the gun masih merupakan faktor yang sangat penting dalam penerapan manajemen risiko. Untuk itu, aspek sosial dari penerapan manajemen risiko harus mendapatkan perhatian yang sangat serius.
Program pendidikan dari taman kanak-kanak hingga universitas seyogianya memberikan materi tentang manajemen risiko.Tentu materi itu dalam konteks memberikan kesadaran akan pentingnya manajemen risiko dalam kehidupan masyarakat.Masyarakat yang sadar akan pentingnya manajemen risiko merupakan modal untuk menghadapi konjungtur perekonomian dunia yang semakin liar.
Masyarakat Uni Eropa dan Amerika Serikat secara relatif memiliki tingkat pendidikan yang lebih tinggi ketimbang masyarakat negara berkembang lainnya, tetapi terbukti bahwa penerapan manajemen risiko masih sangat rapuh di negaranegara tersebut. Manajemen risiko masih merupakan menara gading yang hanya menjadi slogan untuk meninabobokan konsumen dan regulator. Untuk itu setiap universitas harus memiliki lembaga kajian manajemen risiko.
Lembaga ini harus merupakan lembaga yang bersifat otonom dan bebas pajak. Lembaga ini juga harus mendapatkan subsidi dari pemerintah. Pemerintah harus berani mengubah cara pandang bahwa pengembangan manajemen risiko tidak dapat diserahkan kepada pasar semata-mata. Buku-buku mengenai manajemen risiko harus disebarluaskan dengan harga semurahmurahnya. Untuk menghasilkan buku-buku manajemen risiko yang murah,pemerintah dapat belajar dari Pemerintah India.Setiap disiplin keilmuan juga harus mewajibkan mahasiswanya untuk mengambil paling tidak satu mata kuliah tentang manajemen risiko.
Bursa efek, komoditas, dan future harus memiliki lembaga pengembangan manajemen risiko yang sesuai dengan bisnis usaha bursa tersebut.Atau paling tidak ada persentase dari keuntungan yang diperoleh dari bursa tersebut yang dialokasikan bagi lembagalembaga manajemen risiko di perguruan tinggi nasional. Dengan upaya rekayasa sosial,diharapkan manajemen risiko dapat berjalan efektif bukan hanya pada sistem perbankan nasional, tetapi juga perekonomian Indonesia secara keseluruhan.
Dengan adanya lembaga-lembaga manajemen risiko di perguruan tinggi, diharapkan akan keluar modul- modul sosialisasi manajemen risiko yang cocok bagi masyarakat Indonesia yang dapat diaplikasikan bukan hanya oleh perbankan sehingga tidak ada lagi kasus sosial seperti kasus Newmont dan Freeport. Jika program ini berjalan dengan baik, bukannya tidak mungkin Indonesia akan menjadi pusat keuangan dunia di masa depan.
Indonesia mampu membangun pusat keuangan dunia baru dengan paradigma baru melalui rekayasa sosial berbasis manajemen risiko. Bukan hanya itu, perguruan tinggi di Indonesia juga akan menjadi pusat penelitian dan pengembangan manajemen risiko dunia. ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar