Blokade Buruh: Ampuh
Arswendo Atmowiloto, BUDAYAWAN
Sumber : SUARA KARYA, 31Januari 2012
Saya termasuk pengguna jalan yang terkena kemacetan panjang saat para buruh berdemonstrasi,27 Januari 2012 lalu. Meskipun hanya imbasnya, karena posisi agak jauh dari tol Jakarta– Cikampek di Km 33, di Cikarang Barat,daerah Bekasi.Beruntung saya belajar dari Bapak Daoed Joesoef, mantan menteri pendidikan, yang selalu menyediakan gelas—dan bukan botol,untuk keadaan darurat saat kebelet pipis. Seharusnya saya mengeluh karena kemacetan yang hampir tujuh jam. Dan saya me-mang mengeluh. Seharusnya saya melenguh, meneriakkan lebih keras kekesalan, dan saya yang berpeluh penuh memang menggerutu dengan kata seru.Tapi saya tiba-tiba merasa sangat egois, hanya mementingkan diri sendiri dengan menyalahkan blokade atau penutupan jalan tol ini.
Apalah artinya keterhambatan saya yang hanya beberapa jam ini dibandingkan nasib para buruh yang memperjuangkan hidupnya untuk mendapatkan upah minimum.Saya toh tak buru-buru amat—bahkan kalau akan pergi ke surga sekalipun. Saya toh merasa bahwa di ujungjalan sana pasti kemacetan akan mencair, sementara nasib para buruh masih tetap getir, masih dipenuhi rasa khawatir. Yang diminta dari saya hanyalah kesabaran sebentar, dibanding nasib kaum buruh yang sudah menunggu perubahan nasib jauh lebih lama. Yang diminta dari dalam diri hanyalah kesadaran, untuk suatu kehidupan yang layak bagi seorang pekerja dan keluarganya. Hidup layak itu adalah upah terendah yang dimungkinkan.
Ampuh
Blokade ini merupakan cara ampuh untuk menarik perhatian, dan berhasil karena relatif bisa membagi penderitaan kaum buruh selama ini.Berhasil karena relatif tanpa anarkisadis, dan membuat jebakan bersama dalam kekesalan yang terakumulasikan. Bahwa yang dijadikan sasaran adalah jalan tol,karena di situlah lokasi para buruh berkarya, bekerja, berada. Kalau saja tempat mereka bekerja di sekitar Istana Negara,mereka akan melakukan hal yang sama. Dan lebih mendasar lagi, karena yang diperjuangkan adalah nasib atas upah mereka yang seolah tapi nyata dipermainkan oleh hukum,ditenggelamkan dalam dunia yang bukan pergulatan mereka sehari-hari.
Seperti juga adanya jalan tol yang bukan diperuntukkan kemudahannya bukan untuk para buruh. Seperti juga iklan-iklan baliho perumahan, dengan fasilitas lapangan golf dan kolam renang. Papan reklame besar, mewah dan menjanjikan itu bukan untuk mereka yang masih harus mengontrak di dekat tempat kerja—semata-mata demi menghemat biaya. Kalaupun ada hubungannya, paling banter ketika papan itu roboh oleh angin puting beliung,yang juga di luar kemampuan mereka, meskipun turut merasakan akibatnya. Kesemuanya ini bisa diterima, bisa dijalani dengan cara tidak memprotes atau melawan.
Namun ketika berurusan dengan periuk nasi, ketika berhadapan dengan upah yang merupakan kekuatan penghasilan satu-satunya, mereka tak bisa menahan diri.Apalagi, menurut perhitungan para ahli, bahkan dengan upah minimum yang kemudian dicabut itu, mereka masih defisit sekitar 11% dari kebutuhan pokok. Dengan kata lain, cara dan pendekatan memblokade jalan tol atau nontol masih akan digunakan untuk menarik perhatian atas perlakuan “kurang adil”,yang berarti juga ketidaknyamanan bagi pengguna jalan.
Tempuh
Dibandingkan dengan demo lain—demo politis atau sektarian atau bahkan permusuhan— yang juga memacetkan jalanan, para buruh menemukan momentum yang bisa membuat orang lain maklum. Mereka memperjuangkan nasib sendiri,namun sebenarnya juga bagian dari keberadaan kita yang nonburuh selama ini. Bahwa sebenarnya kemudahan yang kita rasakan—apakah namanya jalan bebas hambatan, apakah namanya gedung dan pabrik yang mengagumkan, naiknya posisi sebagai negara layak investasi—tak bisa lepas sama sekali dari kekuatan mereka yang selama ini menyangga.Tak bisa diselesaikan hanya dengan angka rupiah terendah dari balik meja.
Keberadaan kaum buruh harus bisa menjadi faktor yang diperhitungkan, karena pada akhirnya turut menentukan keberhasilan suatu usaha, dan atau sebaliknya. Dalam cakupan yang lebih luas, pendekatan blokade bisa menjadi jalan untuk mempertegas tuntutan apa yang diinginkan. Momentum dan lokasi tidak selalu sestrategis seperti adanya jalan utama seperti terjadi di Jakarta-Banten- Jawa Barat,namun mulai juga terasakan di Bima, NTT, atau Lampung atau Papua. Jalanan menjadi pusat perlawanan, menemukan bentuknya, baik dengan membuntu dan atau menghalangi dengan menumbangkan pohon atau membakar ban,atau bahkan pasang badan.
Masalahnya menjadi kisruh, manakala jalanan menjadi ricuh. Pembebasan jalan menjadi medan “pertempuran”, yang menimbulkan anarki atau bahkan jatuh korban.Kekerasan akan dibalas dengan kejengkelan yang menghadirkan kekerasan atas nama kekuasaan. Kalau sudah demikian halnya,hanya menambah luka dan derita,memperdalam dendam dan permusuhan, dan lebih buruk lagi memperlebar pemisahan, yang sebenarnya bisa terhindarkan. Dalam kasus demo para buruh, untunglah—kalau kata itu masih bisa digunakan,tidak meliar dan dengan bakar membakar, meskipun ada motor yang tersambar api.
Titik api yang sebenarnya bukanlah di jalanan itu sendiri, melainkan pada akar permasalahan yang tidak segera tegas diselesaikan dengan tuntas.Sehingga kemenangan sementara menenangkan lokasi jalanan hanya bersifat sementara. Para buruh menempuh jalan yang masih panjang, dan tetap perlu kearifan untuk melaluinya.
Demikian juga aparat yang menanganinya. Setidaknya kalau tidak bisa saling menjaga, akan terjadi ledakan demi ledakan yang lebih merugikan semuanya, bahkan juga identitas sebagai sesama warga negara, sebagai bangsa. Inilah yang sedang kita tempuh bersama, dengan keluh dan lenguh,juga dengan keinginan untuk tumbuh saling memahami apa yang kita perjuangkan. ●
Apalah artinya keterhambatan saya yang hanya beberapa jam ini dibandingkan nasib para buruh yang memperjuangkan hidupnya untuk mendapatkan upah minimum.Saya toh tak buru-buru amat—bahkan kalau akan pergi ke surga sekalipun. Saya toh merasa bahwa di ujungjalan sana pasti kemacetan akan mencair, sementara nasib para buruh masih tetap getir, masih dipenuhi rasa khawatir. Yang diminta dari saya hanyalah kesabaran sebentar, dibanding nasib kaum buruh yang sudah menunggu perubahan nasib jauh lebih lama. Yang diminta dari dalam diri hanyalah kesadaran, untuk suatu kehidupan yang layak bagi seorang pekerja dan keluarganya. Hidup layak itu adalah upah terendah yang dimungkinkan.
Ampuh
Blokade ini merupakan cara ampuh untuk menarik perhatian, dan berhasil karena relatif bisa membagi penderitaan kaum buruh selama ini.Berhasil karena relatif tanpa anarkisadis, dan membuat jebakan bersama dalam kekesalan yang terakumulasikan. Bahwa yang dijadikan sasaran adalah jalan tol,karena di situlah lokasi para buruh berkarya, bekerja, berada. Kalau saja tempat mereka bekerja di sekitar Istana Negara,mereka akan melakukan hal yang sama. Dan lebih mendasar lagi, karena yang diperjuangkan adalah nasib atas upah mereka yang seolah tapi nyata dipermainkan oleh hukum,ditenggelamkan dalam dunia yang bukan pergulatan mereka sehari-hari.
Seperti juga adanya jalan tol yang bukan diperuntukkan kemudahannya bukan untuk para buruh. Seperti juga iklan-iklan baliho perumahan, dengan fasilitas lapangan golf dan kolam renang. Papan reklame besar, mewah dan menjanjikan itu bukan untuk mereka yang masih harus mengontrak di dekat tempat kerja—semata-mata demi menghemat biaya. Kalaupun ada hubungannya, paling banter ketika papan itu roboh oleh angin puting beliung,yang juga di luar kemampuan mereka, meskipun turut merasakan akibatnya. Kesemuanya ini bisa diterima, bisa dijalani dengan cara tidak memprotes atau melawan.
Namun ketika berurusan dengan periuk nasi, ketika berhadapan dengan upah yang merupakan kekuatan penghasilan satu-satunya, mereka tak bisa menahan diri.Apalagi, menurut perhitungan para ahli, bahkan dengan upah minimum yang kemudian dicabut itu, mereka masih defisit sekitar 11% dari kebutuhan pokok. Dengan kata lain, cara dan pendekatan memblokade jalan tol atau nontol masih akan digunakan untuk menarik perhatian atas perlakuan “kurang adil”,yang berarti juga ketidaknyamanan bagi pengguna jalan.
Tempuh
Dibandingkan dengan demo lain—demo politis atau sektarian atau bahkan permusuhan— yang juga memacetkan jalanan, para buruh menemukan momentum yang bisa membuat orang lain maklum. Mereka memperjuangkan nasib sendiri,namun sebenarnya juga bagian dari keberadaan kita yang nonburuh selama ini. Bahwa sebenarnya kemudahan yang kita rasakan—apakah namanya jalan bebas hambatan, apakah namanya gedung dan pabrik yang mengagumkan, naiknya posisi sebagai negara layak investasi—tak bisa lepas sama sekali dari kekuatan mereka yang selama ini menyangga.Tak bisa diselesaikan hanya dengan angka rupiah terendah dari balik meja.
Keberadaan kaum buruh harus bisa menjadi faktor yang diperhitungkan, karena pada akhirnya turut menentukan keberhasilan suatu usaha, dan atau sebaliknya. Dalam cakupan yang lebih luas, pendekatan blokade bisa menjadi jalan untuk mempertegas tuntutan apa yang diinginkan. Momentum dan lokasi tidak selalu sestrategis seperti adanya jalan utama seperti terjadi di Jakarta-Banten- Jawa Barat,namun mulai juga terasakan di Bima, NTT, atau Lampung atau Papua. Jalanan menjadi pusat perlawanan, menemukan bentuknya, baik dengan membuntu dan atau menghalangi dengan menumbangkan pohon atau membakar ban,atau bahkan pasang badan.
Masalahnya menjadi kisruh, manakala jalanan menjadi ricuh. Pembebasan jalan menjadi medan “pertempuran”, yang menimbulkan anarki atau bahkan jatuh korban.Kekerasan akan dibalas dengan kejengkelan yang menghadirkan kekerasan atas nama kekuasaan. Kalau sudah demikian halnya,hanya menambah luka dan derita,memperdalam dendam dan permusuhan, dan lebih buruk lagi memperlebar pemisahan, yang sebenarnya bisa terhindarkan. Dalam kasus demo para buruh, untunglah—kalau kata itu masih bisa digunakan,tidak meliar dan dengan bakar membakar, meskipun ada motor yang tersambar api.
Titik api yang sebenarnya bukanlah di jalanan itu sendiri, melainkan pada akar permasalahan yang tidak segera tegas diselesaikan dengan tuntas.Sehingga kemenangan sementara menenangkan lokasi jalanan hanya bersifat sementara. Para buruh menempuh jalan yang masih panjang, dan tetap perlu kearifan untuk melaluinya.
Demikian juga aparat yang menanganinya. Setidaknya kalau tidak bisa saling menjaga, akan terjadi ledakan demi ledakan yang lebih merugikan semuanya, bahkan juga identitas sebagai sesama warga negara, sebagai bangsa. Inilah yang sedang kita tempuh bersama, dengan keluh dan lenguh,juga dengan keinginan untuk tumbuh saling memahami apa yang kita perjuangkan. ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar