Pajak untuk UKM
Irwan Wisanggeni, DOSEN DAN ALUMNUS MAGISTER AKUNTANSI TRISAKTI
Sumber : KOMPAS, 1Februari 2012
Pemerintah, khususnya Direktorat Jenderal Pajak, sedang menggodok besaran tarif pajak untuk usaha kecil menengah. Saat ini, besaran pajak sektor UKM masih di bawah 5 persen.
Upaya ini bertujuan untuk mendorong ekstensifikasi peningkatan pajak ke kalangan usaha kecil menengah (UKM). Alasan pemerintah, pengusaha sektor ini sudah meraup omzet penjualan puluhan juta hingga miliaran rupiah, tetapi kontribusi pajaknya sangat sedikit.
Menteri Koperasi dan UKM Syarifuddin Hasan mengusulkan pendapatan UKM sebesar Rp 300 juta hingga Rp 4,8 miliar per tahun dikenai pajak 2 persen dari pendapatan. Untuk UKM berpenghasilan di bawah Rp 300 juta per tahun, besaran pajak diusulkan 0,5 persen.
Semua usulan itu bagus untuk dipertimbangkan. Namun, pengenaan pajak untuk UKM ini perlu diimbangi langkah-langkah pemerintah untuk lebih memberdayakan mereka, dan negara hadir saat pengusaha UKM dihadang kesulitan.
Perkembangan perekonomian di Indonesia dijiwai konsep pembangunan yang meletakkan akumulasi kapital sebagai determinan penting. Semangat ini telah menyebabkan terputusnya diskursus ekonomi berbasis kerakyatan atau UKM. Alih-alih menciptakan kebijakan pro-rakyat kecil, pemerintah malah menguntungkan industrialisasi dan konglomerasi.
Contoh paling heboh, gelontoran uang untuk menyelamatkan Bank Century. Kasus Bank Century tampak jelas bagaimana dana talangan (bail out) dengan mudah dikucurkan, sementara UKM harus jungkir balik mencari pinjaman modal.
Padahal, UKM sebagai salah satu pilar kekuatan ekonomi yang dapat menciptakan lapangan pekerjaan bukan sekadar omong kosong. Di saat krisis ekonomi 1997-1999, keberadaan merekalah yang membuat perekonomian Indonesia tetap berjalan. Saat itu, denyut perekonomian terus berdetak bukan hasil kehebatan pemikiran para menteri dan pebisnis kelas kakap yang selalu dimanjakan dengan pinjaman dari bank, tetapi berkat andil kalangan UKM.
Potensi Pajak
Potensi pajak dari sektor UKM memang besar. Jumlah UKM, termasuk pedagang kaki lima, berdasarkan data Asosiasi Pedagang Pasar Seluruh Indonesia, sekitar 11 juta. Jika rata-rata omzet mereka Rp 100.000 per hari kemudian dikalikan dengan jumlah pedagang kaki lima alias sektor informal, jumlah pajak mencapai Rp 1,1 triliun per hari.
Jumlah itu dihitung dari barang yang dijual, yang di dalamnya sudah melekat Pajak Pertambahan Nilai (PPN) sebesar 10 persen. Perhitungan ini adalah opini penulis, sedangkan berdasarkan penelitian yang lebih akurat—yang diteliti oleh dua ekonom kelahiran Jerman, Enste dan Scheneider—persentase ekonomi UKM di negara maju mencapai 14-16 persen dari produk domestik bruto (PDB).
Khusus untuk Indonesia, para ekonom memperkirakan andil UKM 30-40 persen dari PDB. Jika kegiatan ekonomi tahun 2010 sebesar Rp 6.422,9 triliun, itu berarti sekitar Rp 2.000 triliun hingga Rp 2.600 triliun. Jika asumsi tarif pajak untuk UKM sekitar 5 persen, potensi penerimaan pajak dari sektor ini lebih kurang Rp 100 triliun hingga Rp 130 triliun per tahun.
Dari perhitungan kasar di atas dapat diintisarikan bahwa potensi pajak UKM sangat besar. Hal ini membenarkan apa yang dikatakan JS Uppal, penulis buku Tax Reform in Indonesia, bahwa potensi pajak Indonesia sebenarnya tiga kali lebih besar daripada penerimaan saat ini.
Pajak Ilegal
Ironisnya, keberadaan UKM di Indonesia yang berpotensi menyumbang segala sektor—baik dari penciptaan lapangan pekerjaan maupun dari sektor penerimaan pajak—itu sering kali dalam beraktivitas justru dibebani dengan berbagai pungutan liar dan ”pajak preman”. Aksi pajak preman yang menimpa UKM seakan-akan menjadi hal yang lumrah dan biasa saja. Apalagi, upaya pemerintah dalam membersihkan praktik pajak ilegal masih minim sehingga praktik yang sangat membebani sektor UKM ini terus terjadi dari hari ke hari.
Cara kerja dari pemerasan ini dapat dibilang sama di seluruh pelosok kota di Tanah Air. Mereka membuat pungutan berupa uang keamanan atau retribusi untuk lokasi tempat usaha dari UKM. Pajak ilegal ini belum termasuk uang kebersihan, listrik, dan air yang harus dibayar secara rutin harian atau bulanan.
Keberadaan pajak ilegal ini akan menjadi kontradiktif: di satu sisi pemerintah ingin menggenjot pajak untuk meningkatkan penerimaan negara, tetapi di sisi lain pemerintah menutup mata atas terjadinya pajak ilegal yang tentunya membebani UKM. Oleh karena itu, pemerintah perlu segera memikirkan jalan keluar atas persoalan pajak ilegal ini.
Contoh konkret: pemerintah perlu membuat tata kelola yang memberikan tempat untuk UKM di setiap pelosok Tanah Air sehingga mereka bebas dari gangguan pajak ilegal (pajak preman). Hal ini bersanding lurus dengan apa yang dikatakan anggota Komisi Keuangan DPR, Kemal Azis Stamboel, yang mengingatkan pemerintah sebaiknya menata regulasi yang menghambat UKM ketimbang menetapkan besaran pajaknya. ”Masih banyak pungutan liar terhadap UKM. Contohnya, pungutan saat pendaftaran UKM,” katanya.
Sudah selayaknya pemerintah membayar lunas atas kesetiaan para pengusaha sektor UKM yang telah membantu perekomian Indonesia, yakni dengan melindungi mereka dari praktik pajak ilegal dan pungutan liar. Jika tempat usaha mereka dibuat nyaman, otomatis akan meningkatkan penghasilan mereka. Pada gilirannya tentu UKM akan membayar pajak dengan penuh kerelaan sehingga pemerintah tidak kehilangan potensi penerimaan pajak dari sektor UKM. ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar