Pelajaran dari Krisis Euro
Sjamsul Arifin, STAF AHLI BANK INDONESIA
Sumber : KOMPAS, 26Januari 2012
Peluncuran euro sebagai mata uang resmi zona Eropa, 1 Januari 1999, merupakan peristiwa fenomenal yang belum pernah terjadi sebelumnya di dunia.
Maka, seluruh dunia memusatkan perhatian pada mata uang yang digunakan 14 negara dan dianggap sebagai model mata uang tunggal bagi kawasan ekonomi lain, termasuk ASEAN atau Asia Timur, itu. Berbagai kalangan melakukan studi untuk mengkaji kelayakan penerapannya di kawasan ini. Keinginan melakukan studi juga didorong adanya pengalaman krisis Asia 1997/1998 yang mengakibatkan terpuruknya mata uang beberapa negara Asia.
Hampir satu dasawarsa sejak peluncurannya, ternyata kawasan euro tak kebal krisis, bahkan terkena dengan skala luar biasa. Krisis melibatkan multisektor di beberapa negara sekaligus sehingga memperumit permasalahan dan memerlukan dana penyelamatan yang mencapai rekor 1,33 triliun euro. Krisis bahkan melengserkan Perdana Menteri Yunani dan Italia. Krisis juga mengungkit kembali kelayakan mata uang tunggal yang sebelumnya dianggap model ideal.
Penyatuan mata uang bertujuan mengatasi trilema karena suatu negara hanya dapat mencapai dua dari tiga pilihan sekaligus: lalu lintas modal bebas, stabilitas nilai tukar, dan independensi kebijakan moneter.
Penyatuan mata uang didasari teori optimum currency area (OCA) Mundell (1961), McKinnon (1963), dan Kennen (1969). Menurut teori OCA, apabila kesejahteraan suatu kawasan meningkat melalui penyatuan mata uang, sebaiknya mata uang disatukan dan mata uang setiap negara ditinggalkan.
Beberapa prasyarat harus dipenuhi untuk mencapai konvergensi ekonomi, seperti tingkat inflasi, defisit fiskal, utang pemerintah, dan suku bunga jangka panjang. Di Eropa, kesepakatan ini dituangkan dalam Maastricht Treaty 1992. Tujuan memelihara stabilitas nilai tukar dengan menerapkan aliran modal bebas cukup berhasil karena sejak peluncurannya euro cukup stabil. Bahkan, di tengah krisis, euro hanya sedikit melemah. Euro bahkan menjadi mata uang utama dunia selain dollar AS.
Kelemahan Desain
Sejak awal pembentukannya, euro memiliki kekurangan dalam desain dan kelemahan implementasi peraturan dan kebijakan. Kekurangan desain tecermin pada penyatuan moneter tanpa disertai penyatuan fiskal.
Di kawasan euro dibentuk European Central Bank (ECB) dengan otoritas penuh, tetapi otoritas fiskal tetap berada di masing-masing negara. Italia merupakan contoh negara yang tidak memenuhi prasyarat menjadi anggota, tetapi sebagai negara besar ketiga dan sekaligus pendiri zona euro tidak mungkin ditolak untuk bergabung. Berdasarkan pertimbangan politik, Yunani diterima sebagai anggota walau prasyarat tidak terpenuhi.
Tanpa kebijakan fiskal tunggal, kawasan euro mengalami kesulitan menerapkan kebijakan fiskal yang mengikat. Akibatnya, krisis fiskal tidak hanya terjadi di Yunani, tetapi juga di wilayah Eropa selatan dan Irlandia. Krisis diperparah oleh timbulnya spiral kebangkrutan yang dipicu oleh lonjakan suku bunga pinjaman (self-fulfilling interest-rate-solvency spiral) akibat besarnya beban utang dan cepatnya dampak tular serta faktor reprising oleh investor swasta.
Penyelesaian krisis keuangan pemerintah ternyata dilematis. Penghematan pengeluaran akan memperlambat pertumbuhan ekonomi dan menurunkan pendapatan pemerintah sehingga mengurangi kemampuan membayar utang.
Restrukturisasi utang dengan pemberian pemotongan utang menimbulkan efek tular berupa kenaikan imbal hasil utang pemerintah. Rencana penyelenggaraan referendum atas penyelamatan utang Yunani juga memicu peningkatan imbal hasil credit default swap (CDS) di negara tersebut dan kemudian menular ke negara lain.
Defisit Transaksi Berjalan
Daya saing Yunani terus memburuk sehingga defisit transaksi berjalan membengkak menjadi 32 miliar euro tahun 2010 setelah mencapai puncaknya 51,2 miliar euro tahun 2008 (14,7 persen dari PDB). Daya saing merosot karena rendahnya produktivitas dan tingginya laju inflasi. Melalui penyatuan mata uang diharapkan akan terjadi konvergensi inflasi (teori the law of one price), tetapi kenyataannya tidak terealisasi.
Penyatuan mata uang justru mengakibatkan negara anggota kehilangan diskresi kebijakan sebagai mekanisme penyesuaian otomatis (depresiasi atau devaluasi). Peningkatan daya saing hanya dapat dilakukan melalui penyesuaian struktural, tetapi tidak akan membuahkan hasil dalam jangka pendek. Keluar dari euro juga bukan opsi yang tepat karena akan memancing spekulan sehingga nilai tukar akan terpuruk dan berdampak tular.
Perbankan Eropa umumnya memiliki skala usaha besar, tetapi tanpa dukungan modal yang memadai. Krisis perbankan terjadi akibat interaksi antara bisnis bank dan keuangan pemerintah serta efek tular dari negara lain yang memperdalam krisis. Perbankan Eropa banyak memegang surat utang pemerintah tanpa penyediaan cadangan kerugian karena utang pemerintah dalam denominasi euro berstatus tanpa risiko (risk free). Restrukturisasi utang Pemerintah Yunani dengan pemberian pemotongan utang menimbulkan kerugian perbankan. Efek tular cepat menjalar ke negara yang dianggap rawan oleh pasar karena tingginya tingkat integrasi ekonomi kawasan euro.
Pelajaran bagi ASEAN
Apabila semua persyaratan terpenuhi, penyatuan mata uang akan memberi manfaat
besar. Sebaliknya, kegagalan akan menimbulkan permasalahan yang sangat kompleks. Bagi ASEAN—dilihat dari berbagai aspek persyaratan—penyatuan mata uang masih sulit dipenuhi.
Bagi Indonesia, dari sisi fiskal kemungkinan tidak menghadapi masalah berarti karena cenderung konservatif. Tantangan terutama dari sisi moneter, khususnya inflasi yang tinggi (7,9 persen) dibandingkan dengan tiga negara ASEAN dengan inflasi terendah (2,3 persen) dalam 10 tahun terakhir. Ini menyiratkan permasalahan struktural dalam pembentukan harga sehingga apabila bergabung dalam mata uang tunggal, kemungkinan Indonesia akan mengalami hal serupa dengan Yunani.
Untuk memelihara stabilitas nilai tukar mata uang, penyatuan mata uang bukan jalan yang tepat bagi Indonesia. Lakukan kebijakan yang didukung faktor fundamental disertai kehati-hatian dari sisi makro seperti yang telah diterapkan dalam beberapa tahun terakhir, yang sudah terbukti cukup efektif. Kerja sama regional ASEAN+3 dapat menunjang stabilitas perekonomian domestik melalui peningkatan pemantauan di kawasan (regional surveillance) dan penyediaan bantuan yang bersifat menolong diri sendiri (regional self-help) seperti Chiang Mai Initiative (CMI) dengan syarat jumlah dan penarikannya perlu diefektifkan. ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar