Pembuktian Awal KPK Baru
Saldi Isra, GURU BESAR HUKUM TATA NEGARA DAN
DIREKTUR PUSAT STUDI KONSTITUSI (PUSAKO) FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS ANDALAS, PADANG
DIREKTUR PUSAT STUDI KONSTITUSI (PUSAKO) FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS ANDALAS, PADANG
Sumber : SINDO, 27Januari 2012
Akhirnya, Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menetapkan Miranda S Goeltom sebagai tersangka kasus dugaan suap cek perjalanan terkait pemilihan Deputi Gubernur Senior Bank Indonesia 2004.
Penetapan tersebut seperti menjadi babak baru rentetan perjalanan yang telah begitu lama menyandera wajah penegakan hukum negeri ini.Sebelum penetapan ini,proses hukum bergerak dalam logika timpang karena hukum baru berjalan bagi mereka yang menerima cek perjalanan. Perubahan status hukum ini disampaikan langsung oleh Ketua KPK Abraham Samad karena telah terdapat dua alat bukti yang cukup untuk melekatkan status hukum baru kepada Miranda.
Dalam keterangan Abraham, Miranda diduga turut serta membantu Nunun Nurbaeti melakukan tindak pidana korupsi, memberikan sejumlah cek perjalanan kepada anggota DPR 1999–2004.Karena itu,Miranda disangka melanggar Pasal 5 ayat (1) huruf b atau Pasal 13 UU No 31/1999 joUUNo20/2002tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.
Bagi banyak pihak yang intens memperhatikan perkembangan skandal ini, penetapan Miranda tidak hanya sebatas memulihkan ketimpangan yang terjadi dalam penegakan hukum, tetapi juga sedikit menjawab keraguan yang mulai muncul terhadap KPK periode 2011–2015. Sebagaimana diketahui, sejak dilantik 17 Desember 2011, pimpinan KPK baru seperti hanyut dalam suasana senyap.Padahal ketika dalam proses pemilihan di DPR,mereka berjanji untuk menuntaskan tumpukan skandal yang masih menggantung di KPK.
Pembuktian Awal
Langkah KPK menetapkan Miranda sebagai tersangka dapat dibaca sebagai pembuktian awal dari perjalanan panjang yang harus dilalui. Setidaknya, status tersangka bagi mantan Deputi Senior Bank Indonesia ini menunjukkan bahwa pimpinan KPK memiliki nyali yang cukup untuk mengambil peran di tengah panggung besar penegakan hukum. Bagaimanapun, pembuktian awal ini diperlukan untuk menjaga posisi KPK sebagai lembaga yang diberi status extra-ordinary dalam pemberantasan korupsi.
Banyak pihak menilai, ketika Nunun Nurbaeti dipulangkan ke Indonesia,di satu sisi keberhasilan ini dinilai sebagai semacam kado perpisahan yang manis dari pimpinan KPK periode 2007–2011. Namun di sisi lain, kehadiran Nunun sekaligus memberikan beban luar biasa berat bagi pimpinan KPK yang baru.Beban berat itu muncul karena KPK dituntut untuk mampu menguak dan menuntaskan misteri di balik skandal suap pemilihan Deputi Gubernur Senior Bank Indonesia 2004.
Dengan segala catatan yang ada, penetapan Miranda menjadi tersangka dapat dibaca sebagai babak baru keberanian KPK menyentuh sebuah kasus yang terkategori megaskandal. Keberanian ini sangat diperlukan karena status tersangka bagi Miranda belum tentu mampu menguak semua rangkaian misteri yang ada.
Misalnya, kalaupun hampir semua penerima cek perjalanan telah menjalani proses hukum, proses itu belum sampai menyentuh partai politik yang mungkin saja menerima manfaat dari cek perjalanan tersebut. Bahkan,Wakil Ketua Komisi XI DPR RI Harry Azhar Azis mengatakan, KPK harus bisa membuktikan sumber aliran dana dalam kasus dugaan suap cek perjalanan terkait pemilihan Deputi Gubernur Senior Bank Indonesia 2004.
Bagi Harry Azhar, apakah dana tersebut hanya berasal dari Miranda atau ada pihak lain (Kompas.com, 26/1).Pendapat Harry Azhar tersebut menjadi penting terutama untuk menelusuri kemungkinan kepentingan sesungguhnya yang ikut bermain di balik pemilihan Miranda. Tidak hanya dalam skandal pemilihan Miranda, pembuktian awal KPK juga penting untuk menjadi modal awal dalam membongkar dan menelusuri lebih lanjut sejumlah skandal yang sampai saat ini masih menggantung.
Berdasarkan catatan yang ada,keberanian ekstraKPK diperlukan, misalnya, untuk membongkar secara tuntas megaskandal yang melibatkan Nazarudin.Kebe-ranian serupa diperlukan pula dalam mengurai skandal suap di Kementerian Pemuda dan Olahraga serta di Kementerian Tenaga Kerja dan Transmigrasi. Jika pembuktian awal ini diikuti dengan pembuktian- pembuktian berikutnya, KPK akan kembali menghidupkan asa penegakan hukum, terutama dalam agenda pemberantasan korupsi.
Setengah Hati?
Sebagai sebuah skandal, status tersangka bagi Miranda patut diberi apresiasi khusus. Namun apabila diletakkan dalam konteks desain besar pemberantasan korupsi, penetapan tersangka Miranda yang tidak diikuti dengan penahanan menjadi catatan tersendiri. Sekalipun kejadian ini bukan yang pertama dilakukan KPK, sebagai bagian dari tindakan pencegahan, seharusnya pilihan tidak menahan tersangka harus ditinggalkan.
Selama ini, di antara kritik yang dialamatkan bagi penegakan hukum, terutama dalam pemberantasan korupsi,adalah ketidakberanian penyidik menahan seseorang yang dijadikan tersangka. Bahkan, sebagian penggiat antikorupsi menilai ketidakberanian menahan tersebut menjadi semacam “kemewahan” lain yang dinikmati oleh mereka yang tersangkut kasus korupsi. Anehnya, cara yang dilakukan sebagian penyidik di lembaga penegak hukum konvensional ini justru dengan cepat menular ke KPK.
Dalam konteks itu, penetapan Miranda sebagai tersangka masih dapat dinilai sebagai sebuah langkah yang belum sepenuh hati. Sebagai sebuah kasus yang terbilang sudah sangat lama ditangani KPK,sulit menerima penetapan status tersangka tidak diikuti dengan langkah penahanan. Adalah benar, Miranda tidak akan mengulangi tindak pidana yang disangkakan.
Namun,bagaimana dengan kemungkinan melarikan diri dan/atau menghilangkan barang bukti? Karena itu, dalam desain besar pemberantasan korupsi, pembuktian awal KPK tersebut sedikit terlemahkan dengan mengabaikan makna efek jera dari penahanan tersangka. ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar