BBM dan Menempatkan Masyarakat dalam Risiko
Faisal Basri, EKONOM PADA FAKULTAS EKONOMI UNIVERSITAS INDONESIA
Sumber : KOMPAS, 30Januari 2012
Sudah dua lembaga pemeringkat internasional ternama yang mendongkrak sovereign rating Indonesia kembali ke status investment grade (layak investasi). Dibutuhkan waktu 14 tahun untuk kembali mencapai status itu.
Kita patut bersyukur, tetapi harus kian waspada karena peringkat bisa melorot dalam hitungan bulan. Bahkan, Januari 1998, kita dua kali turun peringkat dan setahun kemudian, Standard & Poors memvonis Indonesia dengan status selected default.
Peringkat sangat ditentukan oleh kemampuan membayar utang atau kewajiban luar negeri. Kuncinya ada pada neraca pembayaran dan APBN yang sehat.
Belakangan ini, neraca pembayaran kita mengalami tekanan cukup berat. Surplus perdagangan barang dan jasa (current account) anjlok dari 10,1 miliar dollar AS pada tahun 2009 menjadi 6,2 miliar dollar AS pada tahun 2010 dan terpangkas lagi menjadi hanya 2,7 miliar dollar AS selama Januari-September 2011. Pergerakan triwulanan selama tahun lalu kian menunjukkan pemburukan itu.
Pada triwulan pertama, surplus masih 2,1 miliar dollar AS, tetapi pada triwulan kedua terpangkas menjadi 475 juta dollar AS dan pada triwulan ketiga tinggal 199 juta dollar AS. Hampir bisa dipastikan bahwa pada triwulan terakhir 2011, akun semasa (current account) sudah mengalami defisit. Tahun ini, akun semasa diperkirakan sudah akan mengalami defisit.
Penyebab utama pemburukan akun semasa adalah impor bahan bakar minyak (BBM) atau hasil minyak. Pada tahun 2011, impor BBM mencetak rekor baru, yakni sekitar 28 miliar dollar AS.
Dua tahun berturut-turut sebelumnya masing-masing hanya 11 miliar dollar AS dan 18 miliar dollar AS. Juga masih relatif jauh lebih tinggi daripada rekor sebelumnya tahun 2008, yaitu sebesar 20 miliar dollar AS.
Dengan menunda-nunda penyelesaian tuntas persoalan BBM ini, pemerintah sebetulnya sedang bermain api dan berpotensi memerosokkan rakyat dan perekonomian ke kancah penuh risiko. Meminjam istilah sosiolog Jerman, Ulrich Beck, pemerintah menumpahkan risiko atas ketidaktegasannya kepada masyarakat sehingga masyarakat hidup dalam suasana yang kian berisiko (risk society).
Bayangkan kalau terjadi peningkatan ketegangan di Selat Hormuz, kawasan Teluk Persia. Harga minyak akan melambung tak terkendali.
Katakanlah harga minyak naik mendekati 150 dollar AS per barrel seperti 2008, pemerintah tak punya pilihan kecuali menaikkan harga BBM dengan drastis sehingga berpotensi besar menimbulkan gejolak yang memorakporandakan kestabilan makroekonomi yang telah dengan susah payah diupayakan untuk kurun waktu sangat lama.
Tak terlalu sulit untuk membayangkan dampak langsung dari kenaikan tajam harga BBM terhadap perekonomian secara keseluruhan dan kesejahteraan rakyat kebanyakan. Kita sudah mengalaminya berulang kali. Pembelajaran sudah lebih dari cukup.
Pemerintah masih saja sibuk dengan diri sendiri. Komentar-komentar para menteri lebih beragam ketimbang pemerhati. Kita tak tahu lagi sikap resmi pemerintah, opsi mana yang dipilih.
Lalu, tiba-tiba dibawa lagi ke ranah politik, hendak dibicarakan lagi dengan DPR. Terkesan bahwa pemerintah ingin lepas tangan. Di tengah para menteri berulang kali menjamin tak akan nada kenaikan harga BBM, Wakil Menteri ESDM mengatakan, opsi kenaikan hargalah yang paling realistis, berapa pun tingkat kenaikannya.
Sudah saatnya pemerintah tak tersandera oleh subsidi BBM yang telah melampaui Rp 130 triliun. Penghamburan uang rakyat yang tak sepatutnya ini harus diakhiri. Jangan lagi bersandiwara dengan hitung-hitungan yang tak jelas dan menipu diri sendiri.
Pembatasan BBM bersubsidi dengan cara melarang kendaraan pribadi di Jawa-Bali, misalnya, merupakan pilihan yang sangat melanggar kaidah dasar dari kebijakan publik yang baik dan bertanggung jawab. Sudah hampir bisa dipastikan bahwa dampak negatifnya akan lebih besar daripada dampak positifnya. Tak perlu lagi kajian untuk itu.
Konsistensi merupakan ciri lain dari kebijakan publik yang baik dan bertanggung jawab. Pemerintah kerap ragu menyelesaikan persoalan BBM yang kronis ini karena tidak konsisten menjalankan kebijakan energi nasional. Rasionalitas kebijakan dikalahkan dengan pragmatisme politik jangka pendek yang belum tentu benar.
Rakyat niscaya akan menerima kenyataan pahit kenaikan harga BBM yang moderat jika pemerintah segera menghadirkan transportasi publik yang nyaman, aman, dan terjangkau, serta infrastruktur jalan yang andal untuk menekan ongkos logistik.
Yang ditunggu rakyat bukan janji-janji, melainkan perbaikan yang berkelanjutan. Jangan lagi rakyat terus dikorbankan dalam ketidakpastian yang membawa mereka ke dalam kancah kehidupan yang kian berisiko. Lebih berisiko lagi mengingat jaring-jaring pengaman sosial masih jauh dari memadai.
Hadirkanlah segera kebijakan yang meminimalkan risiko hidup bagi masyarakat. Salah satu tugas utama pemerintah adalah untuk itu. ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar