Krisis Peran Negara dalam Tata Kelola SDA
W. Riawan Tjandra, DIREKTUR PROGRAM PASCASARJANA DAN DOSEN FH
UNIVERSITAS ATMA JAYA YOGYAKARTA
Sumber : SINDO, 26 Januari 2012
Negara dalam konstelasi sistem pemerintahan bercorak negara kesejahteraan (welfare state) dinisbatkan sebagai pelindung rakyat (the guardian of the citizen) dalam format trias politika di negara modern, yaitu negara, pasar (market),dan rakyat.
Jika dalam format trias politika klasik (legislatif, eksekutif, dan yudikatif) tiga pilar kekuasaan tersebut harus melaksanakan fungsi saling mengawasi (checks and balances), dalam format trias politika modern tiga pilar kekuasaan tersebut (negara, pasar, dan rakyat) juga diharapkan mampu membangun keseimbangan peranan. Alih-alih terbangun suatu keseimbangan peranan di antara ketiga pilar kekuasaan dalam format trias politika modern, yang sering terjadi adalah hegemoni pasar terhadap pilar negara maupun rakyat.
Maka, sejak lahirnya paham konstitusionalisme di Eropa, konstitusi suatu negara diposisikan sebagai jembatan emas yang menjadi jalan untuk membangun keseimbangan pilar- pilar trias politika klasik maupun modern. Indonesia sebagai salah satu negara yang konstitusinya mendeklarasikan diri sebagai negara kesejahteraan mengatur keseimbangan relasiantara ketiga pilar trias politika modern tersebut melalui sebuah konstitusi ekonomi (economic constitution).
Konstitusi ekonomi adalah suatu konstitusi/hukum dasar suatu negara yang berupaya meletakkan landasan kesejahteraan dan keselamatan ekonomi rakyatnya dengan menata keseimbangan relasi antara negara,pasar,dan rakyat. Lahirnya konstitusi ekonomi menurut pandangan Charles A Beard (2004) jika ditelusuri dari proses lahirnya sebuah konstitusi lazimnya sarat dengan konflik antarkepentingan ekonomi, baik kepentingan para pendukung (proponents) maupun penentang (opponents), dalam sebuah paradigma ekonomi negara yang diidealkan.
Para pendiri republik di masa itu menggagas sebuah ekonomi kesejahteraan dalam sebuah negara yang bertipe w e l f a r e state. Negeri ini kini kian diramaikan oleh sengketa seputar pengelolaan sumber daya alam (SDA) di Freeport, Mesuji,dan Pelabuhan Sape-Bima NTB yang bukan tak mungkin akan semakin berkembang lebih luas lagi.
Jika direfleksikan, perselisihan-perselisihan yang terjadi antara rakyat/pekerja dengan korporasi yang memegang konsesi/ lisensi pengelolaan SDA dan diperparah dengan kesan ketidaknetralan aparat keamanan yang cenderung menguntungkan korporat pengelola SDA di daerah-daerah tersebut di atas, hal itu sebenarnya merupakan gugatan atas krisis peran negara dalam tata kelola SDA dalam ranah konflik agraria.
Konflik-konflik sporadis yang sementara ini terjadi secara acak di berbagai daerah di Indonesia bukan tak mungkin bisa berkembang sebagai sebuah gerakan sistematis. Gerakan itu pada intinya menggugat keadilan dalam pengelolaan SDA apabila negara tidak segera mengelolanya dalam desain strategis reformasi agraria (landreform) sebagaimana pernah diamanatkan sejak 1960.
Pasal 33 UUD 1945 yang merupakan ketentuan pokok dalam konstitusi ekonomi telah menggariskan peran negara sebagai penguasa tunggal atas bumi, air, dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya agar mampu menjamin terwujudnya kemakmuran/ kesejahteraan rakyat.Namun pasal itu terlihat kehilangan daya kekuatan konstitusionalnya ketika praktik praktik pengelolaan SDA berdasarkan konsesi/lisensi pemerintah ternyata justru menderogasi kekuatan Pasal 33 UUD 1945 dalam menjaga kesejahteraan atau keselamatan ekonomi rakyatnya.
Supremasi konstitusi yang lazimnya menjadi pilar dasar sebuah negara hukum telah digantikan dengan supremasi libido ekonomi korporasi pengelola SDA yang tak jarang bersimbiosis dengan negara. Simbiosis ini yang menyebabkan rakyat perambah hutan teralienasi karena tercabut status hak adatnya atas tanah yang dikelolanya secara turun-temurun.
Hal itu pulalah yang menyebabkan tambang emas dan SDA lainnya tersedot kian menjauhi bumi pertiwi karena dieksploitasi atas nama kepentingan pemodal yang tinggal nun jauh di negeri seberang dan sederet praktik eksploitasi SDA yang jauh dari pesan konstitusi ekonomi negeri ini.
Aturan
Reformasi agraria yang sejak berlakunya UUPA (UU No 5 Tahun 1960) telah dicanangkan sebenarnya bisa menjadi salah satu langkah penting untuk mulai melakukan penataan ulang peran negara dalam pengelolaan SDA. Negara tak boleh kehilangan watak dasarnya sebagai pelindung kesejahteraan rakyatnya.
Selain itu, gerakan yang menuntut dikeluarkannya pengaturan khusus mengenai desa sangat penting untuk diakomodasi. Seraya itu negara harus mengintegrasikan dan mengharmonisasikan berbagai substansi produk legislasi yang terkait dengan tata kelola SDA dalam produk undangundang yang mengatur tentang desa. UU Desa nantinya bisa dijadikan sebagai undang-undang yang menyinergikan pengelolaan SDA sembari menegaskan kedudukan dan peranan desa dalam negara.
Hal ini sangat penting karena muara dalam pengaturan mengenai reformasi agraria pasti akan berujung pada penataan ulang kedudukan dan kewenangan desa. Negara yang berkonstitusi sebenarnya merupakan wujud kasatmata dari negara yang telah bebas dari belenggu penjajahan. Rekonseptualisasi peran negara mengacu pada konstitusi ekonomi yang menjadi piagam kemerdekaannya secara ekonomi guna menyejahterakan rakyatnya menjadi suatu keharusan jika negeri ini tak ingin kian tergadai.
Bukankah itu komitmen semula ketika para pendiri negeri ini mendeklarasikan kemerdekaan negeri ini dari tangan penjajah enam puluh tahun silam dalam sebuah republik desa sebagai bentuk demokrasi ideal yang dicita-citakan,yaitu adanya pemimpin yang bersatu jiwa dengan rakyatnya? ●
Maka, sejak lahirnya paham konstitusionalisme di Eropa, konstitusi suatu negara diposisikan sebagai jembatan emas yang menjadi jalan untuk membangun keseimbangan pilar- pilar trias politika klasik maupun modern. Indonesia sebagai salah satu negara yang konstitusinya mendeklarasikan diri sebagai negara kesejahteraan mengatur keseimbangan relasiantara ketiga pilar trias politika modern tersebut melalui sebuah konstitusi ekonomi (economic constitution).
Konstitusi ekonomi adalah suatu konstitusi/hukum dasar suatu negara yang berupaya meletakkan landasan kesejahteraan dan keselamatan ekonomi rakyatnya dengan menata keseimbangan relasi antara negara,pasar,dan rakyat. Lahirnya konstitusi ekonomi menurut pandangan Charles A Beard (2004) jika ditelusuri dari proses lahirnya sebuah konstitusi lazimnya sarat dengan konflik antarkepentingan ekonomi, baik kepentingan para pendukung (proponents) maupun penentang (opponents), dalam sebuah paradigma ekonomi negara yang diidealkan.
Para pendiri republik di masa itu menggagas sebuah ekonomi kesejahteraan dalam sebuah negara yang bertipe w e l f a r e state. Negeri ini kini kian diramaikan oleh sengketa seputar pengelolaan sumber daya alam (SDA) di Freeport, Mesuji,dan Pelabuhan Sape-Bima NTB yang bukan tak mungkin akan semakin berkembang lebih luas lagi.
Jika direfleksikan, perselisihan-perselisihan yang terjadi antara rakyat/pekerja dengan korporasi yang memegang konsesi/ lisensi pengelolaan SDA dan diperparah dengan kesan ketidaknetralan aparat keamanan yang cenderung menguntungkan korporat pengelola SDA di daerah-daerah tersebut di atas, hal itu sebenarnya merupakan gugatan atas krisis peran negara dalam tata kelola SDA dalam ranah konflik agraria.
Konflik-konflik sporadis yang sementara ini terjadi secara acak di berbagai daerah di Indonesia bukan tak mungkin bisa berkembang sebagai sebuah gerakan sistematis. Gerakan itu pada intinya menggugat keadilan dalam pengelolaan SDA apabila negara tidak segera mengelolanya dalam desain strategis reformasi agraria (landreform) sebagaimana pernah diamanatkan sejak 1960.
Pasal 33 UUD 1945 yang merupakan ketentuan pokok dalam konstitusi ekonomi telah menggariskan peran negara sebagai penguasa tunggal atas bumi, air, dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya agar mampu menjamin terwujudnya kemakmuran/ kesejahteraan rakyat.Namun pasal itu terlihat kehilangan daya kekuatan konstitusionalnya ketika praktik praktik pengelolaan SDA berdasarkan konsesi/lisensi pemerintah ternyata justru menderogasi kekuatan Pasal 33 UUD 1945 dalam menjaga kesejahteraan atau keselamatan ekonomi rakyatnya.
Supremasi konstitusi yang lazimnya menjadi pilar dasar sebuah negara hukum telah digantikan dengan supremasi libido ekonomi korporasi pengelola SDA yang tak jarang bersimbiosis dengan negara. Simbiosis ini yang menyebabkan rakyat perambah hutan teralienasi karena tercabut status hak adatnya atas tanah yang dikelolanya secara turun-temurun.
Hal itu pulalah yang menyebabkan tambang emas dan SDA lainnya tersedot kian menjauhi bumi pertiwi karena dieksploitasi atas nama kepentingan pemodal yang tinggal nun jauh di negeri seberang dan sederet praktik eksploitasi SDA yang jauh dari pesan konstitusi ekonomi negeri ini.
Aturan
Reformasi agraria yang sejak berlakunya UUPA (UU No 5 Tahun 1960) telah dicanangkan sebenarnya bisa menjadi salah satu langkah penting untuk mulai melakukan penataan ulang peran negara dalam pengelolaan SDA. Negara tak boleh kehilangan watak dasarnya sebagai pelindung kesejahteraan rakyatnya.
Selain itu, gerakan yang menuntut dikeluarkannya pengaturan khusus mengenai desa sangat penting untuk diakomodasi. Seraya itu negara harus mengintegrasikan dan mengharmonisasikan berbagai substansi produk legislasi yang terkait dengan tata kelola SDA dalam produk undangundang yang mengatur tentang desa. UU Desa nantinya bisa dijadikan sebagai undang-undang yang menyinergikan pengelolaan SDA sembari menegaskan kedudukan dan peranan desa dalam negara.
Hal ini sangat penting karena muara dalam pengaturan mengenai reformasi agraria pasti akan berujung pada penataan ulang kedudukan dan kewenangan desa. Negara yang berkonstitusi sebenarnya merupakan wujud kasatmata dari negara yang telah bebas dari belenggu penjajahan. Rekonseptualisasi peran negara mengacu pada konstitusi ekonomi yang menjadi piagam kemerdekaannya secara ekonomi guna menyejahterakan rakyatnya menjadi suatu keharusan jika negeri ini tak ingin kian tergadai.
Bukankah itu komitmen semula ketika para pendiri negeri ini mendeklarasikan kemerdekaan negeri ini dari tangan penjajah enam puluh tahun silam dalam sebuah republik desa sebagai bentuk demokrasi ideal yang dicita-citakan,yaitu adanya pemimpin yang bersatu jiwa dengan rakyatnya? ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar