Bertemu Wajah Lain Polisi
Sidharta Susila, PENDIDIK DI YAYASAN PANGUDI LUHUR MUNTILAN, KABUPATEN MAGELANG
Sumber : SUARA MERDEKA, 26Januari 2012
"KESAN banyak orang tentang polisi di negeri ini buram. Kesan ini sesungguhnya tidaklah menggambarkan seluruh jajaran korps itu. Agaknya kesan itu tak terhindarkan ketika sejumlah oknum polisi tak mau belajar dari ungkapan bijak ”Karena nila setitik, rusak susu sebelanga”. Pengalaman penulis surat pembaca berjudul ”Pengalaman Kena Razia dan Perpanjangan SIM” dari Salatiga (SM, 18/01/12) adalah contoh polisi yang lain.
Terus terang ketika membaca judul tulisan itu, saya spontan berprasangka bahwa tulisan itu berisi tingkah akal-akalan polisi. Stigma adalah spontanitas yang yang meloncat tiap kali saya mendengar kata atau berjumpa polisi. Setelah membaca tulisan itu, saya sungguh merasa bersalah.
Jajaran polisi yang diceritakan pada surat pembaca itu adalah polisi yang mampu menjalani hidup dan tugasnya dengan cara berbeda. Barangkali mereka ini termasuk polisi yang mengarungi kariernya dengan melawan arus. Jujur saja, sikap dan tindakan polisi yang berani melawan arus itu menyejukkan kehidupan.
Melawan arus itu sebentuk keluar dari tempurung pengkerdil diri. Rasanya jajaran polisi memiliki potensi hidup dalam tempurung. Senjata, seragam, kesatuan, pola relasi, dan kebiasaan bisa membuat polisi hidup dalam tempurung. Seolah-olah polisi itu harus garang. Setidaknya berwajah sangar. Senyum sepertinya tabu.
Meski baik, memilih melawan arus itu tidak mudah. Pepatah mengatakan di kandang kambing mengembik, di kandang anjing menggonggong. Lingkungan dengan segala aturan dan pernik-perniknya mengarahkan cara merasa hingga ekspresi hidup seseorang. Karenanya melawan arus itu tidak mudah karena itu berarti menjadi yang aneh dalam kelompok/ korps.
Arus yang dilawan polisi dalam korps bukan hanya dalam perilaku dan penampilan. Yang paling berat adalah melawan habitus, yaitu ekspresi spontan praktis yang dipelajari dan terbangun tanpa sadar lewat relasi antaranggota dalam korps. Habitus itu seringkali membuat orang tak lagi sadar bahwa ada yang salah, atau setidaknya kurang tepat pada ekspresi hidupnya bila merujuk pada visi dan misi korps. Karenanya habitus yang tak disadari tak pernah memberi ruang untuk melakukan koreksi dan perbaikan korps. Habitus inilah yang juga membuat polisi hidup dalam tempurung pengkerdilnya.
Menggunakan Hati
Salah satu habitus yang seringkali dikeluhkan adalah tingkah sejumlah oknum polisi yang main kuasa dan akal-akalan. Kesannya polisi demikian justru mengharap masyarakat melanggar. Ketika pelanggaran terjadi, dengan girang dan garang dikejarnya pelanggar itu. Mengapa polisi tidak mengingatkan saja pengguna jalan sebelum tikungan sial itu. Bukankah ini bentuk peran polisi yang mendidik?
Rasa gemas kian menjadi dan berubah menjadi geram ketika oknum polisi memainkan acting akal-akalannya. Di pos jaga, pelanggar marka harus berurusan hingga membayar sejumlah denda. Tapi syukurlah, yang namanya oknum itu jumlahnya jauh lebih sedikit ketimbang seluruh anggota jajaran itu.
Di antara jajaran polisi itu, saya mulai banyak berjumpa dengan polisi yang lain. Di Klaten saya berjumpa seorang kapolsek yang mengaku bahwa sejak bertugas belum pernah melakukan kekerasan fisik terhadap masyarakat. Ia juga mengaku belum pernah menilang sembarangan, apalagi ditambah membuat tindakan akal-akalan terhadap pelanggar.
Yang disyukuri kapolsek berwajah ramah ini adalah di mana pun ia bertugas, angka kejahatan selalu turun, pelanggaran masyarakat sirna, dan situasi wilayah tanggung jawabnya kondusif.
Meski ia sendiri mengakui bahwa ia belum berbuat banyak untuk wilayah itu.
Barangkali pada kapolsek di Klaten itu kita menjumpai polisi yang bekerja dengan hati. Atau, ia bekerja dengan mengedepankan inner beauty-nya. Yang menarik, misteri yang indah menyertai perjalanan tugasnya. Hidup dan tugasnya pun menjadi peziarahan yang memesona. Nah, mengapa polisi tak mau menjadi polisi yang lain? ●
Terus terang ketika membaca judul tulisan itu, saya spontan berprasangka bahwa tulisan itu berisi tingkah akal-akalan polisi. Stigma adalah spontanitas yang yang meloncat tiap kali saya mendengar kata atau berjumpa polisi. Setelah membaca tulisan itu, saya sungguh merasa bersalah.
Jajaran polisi yang diceritakan pada surat pembaca itu adalah polisi yang mampu menjalani hidup dan tugasnya dengan cara berbeda. Barangkali mereka ini termasuk polisi yang mengarungi kariernya dengan melawan arus. Jujur saja, sikap dan tindakan polisi yang berani melawan arus itu menyejukkan kehidupan.
Melawan arus itu sebentuk keluar dari tempurung pengkerdil diri. Rasanya jajaran polisi memiliki potensi hidup dalam tempurung. Senjata, seragam, kesatuan, pola relasi, dan kebiasaan bisa membuat polisi hidup dalam tempurung. Seolah-olah polisi itu harus garang. Setidaknya berwajah sangar. Senyum sepertinya tabu.
Meski baik, memilih melawan arus itu tidak mudah. Pepatah mengatakan di kandang kambing mengembik, di kandang anjing menggonggong. Lingkungan dengan segala aturan dan pernik-perniknya mengarahkan cara merasa hingga ekspresi hidup seseorang. Karenanya melawan arus itu tidak mudah karena itu berarti menjadi yang aneh dalam kelompok/ korps.
Arus yang dilawan polisi dalam korps bukan hanya dalam perilaku dan penampilan. Yang paling berat adalah melawan habitus, yaitu ekspresi spontan praktis yang dipelajari dan terbangun tanpa sadar lewat relasi antaranggota dalam korps. Habitus itu seringkali membuat orang tak lagi sadar bahwa ada yang salah, atau setidaknya kurang tepat pada ekspresi hidupnya bila merujuk pada visi dan misi korps. Karenanya habitus yang tak disadari tak pernah memberi ruang untuk melakukan koreksi dan perbaikan korps. Habitus inilah yang juga membuat polisi hidup dalam tempurung pengkerdilnya.
Menggunakan Hati
Salah satu habitus yang seringkali dikeluhkan adalah tingkah sejumlah oknum polisi yang main kuasa dan akal-akalan. Kesannya polisi demikian justru mengharap masyarakat melanggar. Ketika pelanggaran terjadi, dengan girang dan garang dikejarnya pelanggar itu. Mengapa polisi tidak mengingatkan saja pengguna jalan sebelum tikungan sial itu. Bukankah ini bentuk peran polisi yang mendidik?
Rasa gemas kian menjadi dan berubah menjadi geram ketika oknum polisi memainkan acting akal-akalannya. Di pos jaga, pelanggar marka harus berurusan hingga membayar sejumlah denda. Tapi syukurlah, yang namanya oknum itu jumlahnya jauh lebih sedikit ketimbang seluruh anggota jajaran itu.
Di antara jajaran polisi itu, saya mulai banyak berjumpa dengan polisi yang lain. Di Klaten saya berjumpa seorang kapolsek yang mengaku bahwa sejak bertugas belum pernah melakukan kekerasan fisik terhadap masyarakat. Ia juga mengaku belum pernah menilang sembarangan, apalagi ditambah membuat tindakan akal-akalan terhadap pelanggar.
Yang disyukuri kapolsek berwajah ramah ini adalah di mana pun ia bertugas, angka kejahatan selalu turun, pelanggaran masyarakat sirna, dan situasi wilayah tanggung jawabnya kondusif.
Meski ia sendiri mengakui bahwa ia belum berbuat banyak untuk wilayah itu.
Barangkali pada kapolsek di Klaten itu kita menjumpai polisi yang bekerja dengan hati. Atau, ia bekerja dengan mengedepankan inner beauty-nya. Yang menarik, misteri yang indah menyertai perjalanan tugasnya. Hidup dan tugasnya pun menjadi peziarahan yang memesona. Nah, mengapa polisi tak mau menjadi polisi yang lain? ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar