Senin, 30 Januari 2012

Berperang Melawan Flu Burung


Berperang Melawan Flu Burung
CA Nidom, KETUA AIRC–UNAIR, SURABAYA
Sumber : KOMPAS, 31Januari 2012



Flu burung di Indonesia meminta korban lagi. Awal tahun 2012, paman dan keponakan yang tinggal serumah terinfeksi. Ini kasus kluster pertama tahun ini di Indonesia.

Sampai 24 Januari 2012, korban flu burung di Indonesia mencapai 184 orang dan 152 meninggal (32 persen dan 44 persen korban dunia), tertinggi di dunia, diikuti Mesir dan Vietnam. Di Thailand dan Turki, kasus manusia berhenti sejak 2007.

Dari 33 provinsi di Indonesia, 32 merupakan daerah endemis flu burung pada unggas dan hewan lain. Belum tampak kemajuan cara pengendalian, apalagi edukasi kepada masyarakat, masih seperti delapan tahun lalu. Padahal, kasus pada manusia akan habis jika kasus pada hewan juga berhenti.

Belum ada sinergi antar-otoritas. Setelah Komnas Flu Burung bubar, masyarakat menunggu kiprah Komnas Penanggulangan Penyakit Zoonosis yang diharapkan berperan lebih, tidak lagi seperti ”koboi tanpa pistol”.

Interaksi inang dan virus

Sejak 1997, agen/virus flu burung berinteraksi spesifik dengan inang (host). Tatkala virus ini menginfeksi ayam, angka kesakitan dan kematian sangat tinggi, bisa 100 persen. Pada bebek, kesakitan tinggi, tetapi tingkat kematian rendah. Pada spesies unggas lain bersifat sporadis. Pada hewan lain, babi, kucing, anjing, dan mamalia lain, pola penularan belum jelas diketahui.

Saat virus melompat ke manusia, jumlah kasus sangat rendah dibandingkan jumlah penduduk, tetapi angka kematian (case fatality rate/CFR) sangat tinggi, 60-80 persen, tergantung penanganan penderita.

Akhir-akhir ini pola interaksi inang (manusia) dengan virus tampak spesifik dan perlu dicermati semua pihak. Khususnya tiga kasus terakhir di Bali, Jakarta, dan Tangerang.
Kasus di Bali, akhir 2011, korban tiga orang: dua anak dan ibu yang tinggal serumah. Saat kedua anaknya dirawat di rumah sakit, ibu masih sehat. Ibu sakit dan meninggal beberapa hari setelah kedua anaknya meninggal. Informasi awal, ibu bukan terinfeksi flu burung, tetapi akhirnya positif. Dari lapangan, sulit mencari hubungan dengan faktor penularan dari hewan.

Di Jakarta, keponakan meninggal setelah paman meninggal dan juga tinggal serumah. Keponakan sempat diumumkan tidak terinfeksi flu burung, tetapi kemudian dinyatakan positif. Tidak ditemukan virus H5N1 pada burung dara di rumah mereka.

Kasus terakhir, di Tangerang, sudah diumumkan terinfeksi virus flu pandemik (H1N1-p), tetapi tindakan di RS Tangerang seperti menangani korban flu burung. Berdasarkan informasi keluarga, korban tidak kontak dengan bebek di rumah.

Fatwa Otopsi

Berdasarkan kajian korban di negara lain, virus H5N1 tidak hanya menginfeksi saluran pernapasan, tetapi juga seluruh organ tubuh. Korban flu burung meninggal bukan hanya karena badai sitokin yang sangat cepat merusak jaringan pernapasan, melainkan juga infeksi pada beberapa organ (multiorgan failure). Hal serupa tampak pada hewan coba.

Sebetulnya virus flu burung manusia dari Indonesia paling sedikit menghasilkan sitokin dibandingkan virus flu burung negara lain dan virus H1N1-p. Namun, karena korban menunjukkan gambaran sebaliknya, setiap korban perlu diotopsi. Otopsi dan analisis virus pada organ akan membantu mendapatkan informasi perjalanan penyakit (patogenesis) yang penting untuk mencegah korban selanjutnya.

Memang tak mudah melakukan ini karena ada faktor sosial, budaya, dan agama. Diperlukan suatu peraturan atau fatwa agama agar korban flu burung atau penyakit lain yang menular dan mematikan bisa diotopsi.

Proses otopsi dan pengkajian ini memerlukan rumah sakit dan laboratorium khusus. Sebagai negara dengan korban tertinggi, pemerintah wajib menyiapkan fasilitas ini agar segera bisa menanggulangi flu burung. Kita bisa mencontoh Turki, yang sejak 2007 tidak ada korban manusia, dengan menangani penderita secara maksimal.

Penanganan korban sangat tergantung keaktifan penderita. Selama ini di Indonesia flu dianggap penyakit yang tidak membahayakan. Karena itu, perlu kesiapan tenaga medis untuk mengantisipasi penyakit flu burung, dan terakhir kesiapan rumah sakit rujukan. Jika rangkaian ini ada yang terlewatkan, kasus tidak akan tercatat sebagai flu burung. Jadi, jumlah selama ini hanya sebagian kecil saja dan merupakan fenomena gunung es.

Langkah yang bisa dilakukan adalah vaksinasi flu burung pada masyarakat yang berisiko, terutama yang tinggal di segitiga flu burung, yaitu Jakarta, Jawa Barat, dan Tangerang. Pilihan lain, menjual bebas obat antivirus flu (osiltamivir) di toko obat, mengingat obat ini hanya efektif 48 jam setelah terinfeksi.

Agar diagnosis awal tepat, diperlukan tes cepat (rapid test) yang tersedia di puskesmas. Gejala flu burung hampir sama dengan flu lain, bahkan sering dikelirukan dengan penyakit lain, seperti demam berdarah atau tifus. Sementara konfirmasi dengan uji lab (PCR) perlu waktu.

Koalisi Virus

Virus influenza, termasuk flu burung dan H1N1-p, mempunyai struktur sama: 8 gen yang saling lepas. Virus ini sangat gampang bermutasi, baik dalam gen tersebut (drift) maupun antargen (shift). Mutasi drift biasanya dipicu oleh kondisi ekstrem, seperti perubahan cuaca, vaksinasi yang tak tepat, dan faktor inang.

Vaksin yang tak tepat bisa menyebabkan virus melompat ke inang lain, terutama manusia, sehingga hati-hati menggunakan vaksin flu burung pada hewan. Apalagi saat ini dunia dikejutkan pandemik flu oleh virus baru, H1N1-p, yang begitu cepat menyebar. Padahal, flu burung belum berhasil dikendalikan.

Jadi, saat ini di Indonesia tersebar virus influenza musiman (H3N2, H1N1), H1N1-p, dan flu burung (H5N1) hewan dan manusia. Kita ”biarkan” mereka hidup leluasa di Indonesia, berkoalisi (rekombinasi) antarjenis virus flu, bertukar gen satu dengan lainnya, sehingga menimbulkan aneka karakter virus.

Tidak aneh jika dunia khawatir dengan Indonesia. Kita tidak rela negara lain memanfaatkan virus flu burung Indonesia, tetapi kita juga tak melakukan apa pun. Kita perlu segera tahu, bagaimana karakter virus flu burung dari penderita terakhir dan bagaimana kemungkinan penularannya antarmanusia.

Meski beberapa pakar berpendapat tak mungkin virus flu burung menular antarmanusia, simulasi dengan berbagai model virus di lab berfasilitas keamanan tingkat tinggi (minimal BSL-3) perlu segera dilakukan.

Para peneliti di Avian Influenza-zoonosis Research Center- Universitas Airlangga (AIRC- Unair) telah meneliti pola virus influenza di lapangan dan di laboratorium. Tahun 2006, dilakukan mutasi ”buatan” pada virus H5N1 dari unggas di Indonesia tanpa koalisi.

Ternyata virus H5N1 unggas yang berkoalisi dengan H3N2 lebih virulen. Selama ini para pakar mengira virus H5N1 unggas akan beradaptasi pada mamalia, termasuk manusia, jika terjadi mutasi pada asam amino protein PB2, nomor 627 dan 701. Namun, para pakar dikejutkan struktur virus H1N1-p yang mampu beradaptasi tanpa mutasi 627. Mungkinkah ada mutasi serupa pada flu burung yang menginfeksi hewan ataupun manusia?

AIRC-Unair bersama Tim Universitas Tokyo melacak virus H1N1-p dan virus H5N1 pada hewan tahun 2011. Dari 1.607 sampel ayam sehat ditemukan delapan ayam positif membawa virus H5N1. Ayam sehat tetapi positif flu burung tersebut berada di Riau, Jawa Tengah, Kalimantan Timur, Kalimantan Barat, dan Kalimantan Selatan. Keseluruhan struktur virus yang berhasil diisolasi tahun 2011 lebih dekat dengan virus bebek dari Yogyakarta 2007. Virus H5N1 ayam di Indonesia sangat variatif. Ini berpengaruh pada keberhasilan vaksin yang digunakan. Kementerian Pertanian telah menetapkan master seed vaksin yang akan digunakan mulai 2012.

Dari serosurvei antibodi (zat kebal) anak-anak Indonesia berumur 10-11 tahun terhadap virus H1N1-p, 66,9 persen memiliki antibodi tanpa ada riwayat sakit. Artinya, anak-anak Indonesia secara alamiah terinfeksi virus H1N1-p tanpa gejala sakit dan sebagian besar mampu menimbulkan antibodi. Ini berbeda dengan anak seumur di Jepang, 75,6 persen memiliki antibodi dengan gejala sakit influenza jelas.

Penularan Antarmamalia

Apakah betul virus flu burung tidak menular antarmanusia? Jika virus flu burung berdiri sendiri tanpa koalisi, pendapat tersebut bisa dibenarkan. Namun, jika terjadi koalisi (mutasi shift), penularan antarmamalia (manusia) bisa terjadi.

Baru-baru ini dua pusat penelitian influenza, grup Universitas Wisconsin (AS) dan Erasmus Medical Center (Belanda), mengoalisikan virus flu burung H5N1 dengan virus H1N1-p. Hasilnya mirip: virus flu burung H5N1 koalisi berpotensi menular antarmamalia pada ferret.

Hal ini sangat penting bagi Indonesia untuk menghadapi pandemik, mengingat wilayah kita merupakan tempat ideal terjadinya koalisi. Semua strain virus flu tersedia, padahal penataan lingkungan hewan dan manusia masih belum jelas.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar