Rabu, 25 Januari 2012

Tabrakan Antarkebijakan BBM

Tabrakan Antarkebijakan BBM
Tasroh, PEGIAT BANYUMAS POLICY WATCH DARI PURWOKERTO,
ALUMNUS RITSUMEIKAN ASIA PACIFIC UNIVERSITY JEPANG
Sumber : SUARA MERDEKA, 26Januari 2012




"Penghematan belanja negara harus dilaksanakan tanpa pandang bulu, terutama untuk pos belanja pegawai"

PEMERINTAH kebingungan terkait dengan implementasi kebijakan hemat energi, khususnya mengerem subsidi negara terkait pembatasan BBM bersubsidi. Wajar bila selaku operator, Pertamina tak sepenuhnya siap dengan rencana itu karena sarana dan infrastruktur serta tekanan publik yang berisiko memicu chaos di mana-mana jauh lebih berbahaya ketimbang meneruskan kebijakan pembatasan.

Sikap limbung itu diyakini banyak pihak bahwa pemerintah, bahkan Pertamina sebagai operator, tak sepenuhnya yakin negara tak mampu menyubsidi rakyat. Eksekutif tak yakin bahwa APBN babak belur gara-gara subsidi BBM terus membengkak yang tahun lalu Rp 160 triliun.

Terlepas dari sikap limbung itu, dalam minggu ini pemerintah berencana rapat dengan DPR membahas kenaikan harga BBM subsidi, usulannya harga premium menjadi Rp 6.000/ liter. Publik berharap hasil rapat itu menjawab kebingungan mengenai kebijakan pemerintah, antara lain sebagaimana dikatakan pengamat perminyakan Dr Kurtubi (SM, 25/01/12).

Tak hanya pelit subsidi BBM, gas, air, dan listrik; pemerintah juga pelit menyubsidi nelayan, petani, dan UMKM serta rakyat miskin. Jika tahun 2010 masih memberikan subsidi Rp 1,6 triliun untuk raskin dan kebutuhan pokok rakyat miskin, tahun ini hanya menganggarkan Rp 900 miliar.

Demikian juga pada 2010, menganggarkan subsidi untuk petani dan nelayan Rp 3,2 triliun maka tahun ini hanya Rp 2,1 triliun. Sudah tak terhitung lagi kebijakan pengurangan subsidi sejak reformasi bergulir.

Berkaca dari fakta itu, rasanya menjadi abnormal ketika pemerintah masih berteriak kekurangan dana untuk subsidi. Akar persoalan sebenarnya pembiaran kebijakan komponen lembaga publik yang berakibat lahirnya kebijakan yang saling bertabrakan.

Ketika konon pemerintah krisis keuangan sehingga subsidi untuk rakyat terus dipangkas, di sisi lain belanja pegawai dan modal tak jelas arah justru digenjot. Ketika subsidi untuk petani gurem terus dipereteli, pemerintah membiarkan renovasi ruang Banggar DPR hingga Rp 20 miliar. Setali tiga uang dengan proyek toilet DPR yang Rp 2,3 miliar, penanggalan bergambar topeng monyet Rp 1,2 miliar, dan harga kursi impor wakil rakyat yang Rp 24 juta per unit.

Boros Anggaran


Belum lagi fakta suap yang melibatkan petinggi parpol dan elite negara yang triliunan rupiah. Dari mana duit sebanyak itu yang dikorupsi? Jawabnya, dari produk kebijakan yang saling bertabrakan, yang berujung pada peningkatan belanja APBN yang justru dikorupsi segelintir elite dan birokrat.

Lembaga Konsumen Indonesia juga menilai kebijakan energi sebagai kebijakan yang sudah lama dibiarkan bertabrakan, bahkan antarregulasi. Kita lihat Pasal 7 Ayat 6 UU Nomor 22 Tahun 2011 tentang APBN 2012 yang transkripnya berbunyi, ”harga jual eceran BBM bersubsidi tidak mengalami kenaikan” menjadi ”penjebak” pemerintah seolah alergi menaikkan harga BBM.

Pasal dalam UU ini juga tidak pernah dibahas, apalagi disetujui DPR. Di sisi lain maksud pengendalian yang dijabarkan dalam UU itu ditangkap seolah-oleh harga mati, yaitu pembatasan BBM bersubsidi. Landasan hukum lain yang digunakan pemerintah juga bertabrakan karena hanya merujuk rancangan Perpres Nomor 55 Tahun 2005 jo Perpres Nomor 9 Tahun 2006.

Karena itu, guna mencegah kebijakan saling bertabrakan yang merugikan banyak pihak, terutama rakyat, ke depan implementasi dan evaluasi kebijakan harus saling terhubung harmonis, khususnya dengan harapan dan tuntutan publik, serta kaitannya dengan lembaga yang lain (legislatif dan yudikatif). Jangan sampai pemerintah mengeluarkan kebijakan kontraharapan rakyat di satu sisi tetapi membiarkan lembaga birokrasi publik memboroskan anggaran.

Penghematan belanja negara harus dilaksanakan tanpa pandang bulu, terutama belanja pegawai. Caranya, kaji lintas lembaga birokrasi pos-pos yang dapat direm belanjanya dan alihkan ke pos yang menentukan hajat hidup banyak orang. Misalnya mengkaji kebijakan belanja komunikasi dan transportasi untuk birokrat di berbagai lembaga publik yang per tahun Rp 6,4 triliun.
 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar