Kamis, 26 Januari 2012

Islam dan Krisis Lingkungan

Islam dan Krisis Lingkungan
Imam S Afrizal, KETUA UMUM PC PMII YOGYAKARTA PENELITI CTSD UIN SUNAN KALIJAGA Sumber : REPUBLIKA, 27 Januari 2012



Isu krisis lingkungan hidup adalah masalah yang menyita perhatian ma syarakat dunia dalam kurun waktu 40 tahun ter akhir. Masyarakat global mulai menyadari bahwa industrialisasi dan pembangunan yang diorientasikan pada peningkatan ekonomi dan kemajuan teknologi telah mengancam masa depan planet Bumi ini. Kerusakan lingkungan yang berkelanjutan dengan skala ekstensif menuntut masyarakat global untuk bersatu padu menghadapinya dengan beragam cara dan disiplin pengetahuan yang berbeda-beda.

Philip Shabecoff, sebagaimana dikutip Mudhofir Abdullah (2010:2), mengemukakan bahwa sejak abad ke-19 akar-akar gerakan environmentalism modern telah muncul, namun gerakan tersebut berkembang secara masif pada abad ke-20. Pada 1960-an, beberapa ahli ekonomi mulai mengkaji dampak pertumbuhan ekonomi atas lingkungan, salah satunya Kenneth Boulding, seorang ahli ekonomi Amerika Serikat (AS).

Pada 1960-an juga ditandai dengan kesadaran sekelompok teolog Kristen, ilmuan, dan pemimpin gereja untuk membentuk kelompok studi Iman-ManusiaAlam di bawah payung National Council of Churches. Menjelang 1970-an, sebuah gerakan eko-keadilan yang berupaya mengintegrasikan ekologi, keadilan, dan iman Kristen mulai mengungkapkan pemikiran mereka dalam beberapa telaah teologis, etis, histo ris, biblikal, dan kebijakan umum yang berlangsung di Amerika Utara (Charpman, 2007:32).

Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) pertama kali menyelenggarakan konferensi internasional tentang lingkungan pada 1972 di Stockholm, Swedia. Sejak saat itu, keterlibatan agama-agama besar dalam masalah konservasi lingkungan semakin intens dan mendapat perhatian khusus. Agamaagama besar ditempatkan sebagai pilar penting dalam menopang kesadaran konservasi lingkungan.

Menurut Mudhofir Abdullah, ajaran-ajaran agama dan spiritual dianggap mampu memperkuat kesadaran umat manusia untuk mengimplementasikan tugas-tugas konservasi lingkungan yang mengalami degradasi akibat agresi manusia-manusia modern secara terus-menerus melalui watak penaklukannya.

Peran serta pemuka agama sangat penting sebagai upaya penaggulangan krisis lingkungan dalam jangka panjang. Seyyed Mohsen Miri (2007:24-25) membagi dua pendekatan sebagai solusi untuk mengatasi krisis lingkungan, baik secara individual maupun sosial. Pertama, pemecahan krisis melalui pertimbangan atas segala sesuatu yang terlihat langsung, membuat perubahan jangka pendek, dan membuat suatu perencanaan ulang. Kedua, pemecahan krisis melalui penjabaran sebab dan faktor yang mendorong munculnya krisis (aspek ontologis), melalui dasar keilmuan (aspek epistimologis), kerangka rohani, dan intelektual, serta paradigma budaya yang menyebabkan krisis tersebut terjadi dengan mengacu kepada pendekatan pertama.

Bagi Seyyed Mohsen Miri, pendekatan kedua dinilai lebih tepat karena mampu memberikan pengaruh lebih nyata. Menurutnya, jika hanya berpegang pada pendekatan pertama, maka masalah akan muncul kembali dan menjadi lebih serius karena krisis sebelumnya masih aktif. Meskipun beberapa percobaan penting telah dilakukan, semisal proyek penggantian kelengkapan transportasi, membuat bahan bakar nonfosil, merancang teknologi ramah lingkungan, pendekatan pertama tidaklah dapat menghapus krisis lingkungan dan tidak dapat menjadi solusi yang memadai bagi masalah tersebut.
Krisis lingkungan memang butuh penyelesaian yang bersifat jangka panjang karena krisis ini tidak semata-mata disebabkan oleh persoalan sosial-ekonomi dan kependudukan semata. Krisis lingkungan adalah persoalan ultimasi, persoalan cara pandang manusia terhadap alam semesta. Tak ada yang tidak sepakat bahwa problem lingkungan saat ini terjadi karena perilaku manusia yang mengubah ekosistem bumi menjadi terancam keseimbangannya.

Solusi Pada titik inilah peran agama untuk menjawab problem lingkungan yang krusial menjadi sangat dibutuhkan. Menurut Seyyed Hossein Nasr (2005), nilai-nilai agama dan kearifan-kearifan moral sangat diperlukan untuk merawat keseimbangan alam dari situasi chaos. Tanpa adanya penguatan terlebih dahulu basis keyakinan dan spiritual manusia, serta memurnikan dirinya dari intervensi sifat dan sikap arogansi, pragmatisme, rakus dan sifat nafsu lainnya, maka semua upaya yang dilakukannya untuk melindungi alam dari kerusakan tak lebih dari se kadar tabir untuk memenuhi ke, puasan dan keuntungan besar ba gi diri dan kelompoknya semata dan tidak akan memerhatikan i apakah sesuai hasil kerja yang diperolehnya dengan yang seha rusnya diperoleh.

Kian berkembang sains dan teknologi modern berakibat pada , sekularisasi kosmos. Menurut , Nasr, sekularisasi kosmos telah memisahkan manusia dengan ling kungannya. Desakralisasi dan se kularisasi kosmos sepanjang be rabad-abad membuat manusia i mengembangkan watak penaklu kan atas alam sehingga menim bulkan krisis lingkungan sangat serius. Nasr menjelaskan bahwa i bumi kita sedang berdarah-darah oleh luka-luka yang dideritanya akibat ulah manusia yang sudah tidak ramah kepadanya. Pandang, an sekular dan ilmu pengetahuan serta teknologi yang tercerabut dari akar-akar spiritual agama, membuat bumi kian mengalami krisis dan terus menghampiri titik kehancurannya.

Di sinilah kemudian gagasan Nasr tentang sains yang suci (scientia sacra) menjadi relevan.

Kita mesti mendukung untuk rekonstruksi pemikiran ilmiah Islam atas dasar pengetahuan wah yu (revealde knowledge), tidak menaklukkan alam, tetapi mei manfaatkannya sesuai dengan Perintah Allah (function within Divine Commands), dan kritis ter hadap sekularisasi sains dan penguasaan atas alam (critical of secularization of science and its domination nature). Masyarakat modern perlu mengondisikan kembali pemahamannya tentang eksistensi diri, alam dan Tuhan, serta bagaimana relasi yang se mestinya antara yang satu dengan yang lainnya.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar