Senin, 30 Januari 2012

Guru Menjadi “Kuli”

Guru Menjadi “Kuli”
Ari Kristianawati, GURU SMAN 1 SRAGEN DAN KOORDINATOR KAJIAN FILSAFAT PENDIDIKAN
Sumber : SINAR HARAPAN, 30Januari 2012


"Guru yang mengerti nilai pengabdian adalah yang memahami fungsi sosialnya sebagai pendidik yang memiliki kebebasan berpikir dan mengajar dari tekanan maupun kepentingan atas nama kuasa modal dan kuasa politik," demikian YB Mangunwijaya (alm) mengutarakan pendapat tentang hakikat guru (pendidik).

Guru adalah profesi yang sedang ramai dibicarakan publik saat ini. Guru menjadi sorotan dan sekaligus objek apresiasi kritis masyarakat. Mitos guru sebagai pahlawan yang diabaikan dan minus kesejahteraan telah dilenyapkan oleh proyek sertifikasi. Proyek sertifikasi yang konsekuensi materialnya adalah iming-iming tunjangan satu kali gaji. 
Untuk melakoni proyek sertifikasi, guru dibebani berbagai tanggung jawab administratif yang acap kali antinalar edukasi. Awalnya guru harus mengisi syarat administratif yang serbarumit dalam label portofolio.

Kebijakan berubah diganti diklat PLPG (Pusat Latihan Pengembangan Guru), dan kini dimunculkan rencana uji kompetensi guru sebagai seleksi wajib prasertifikasi. Rumit, birokratis, dan output-nya diragukan. 

Guru benar-benar menjadi kelinci eksperimen gagasan pengembangan kualitas profesional tenaga edukatif. Bagi guru yang berpikir pragmatis dan oportunistis, proyek sertifikasi ini disambut sebagai bentuk kebanggaan eksistensialis. Mereka bangga dianggap profesional tanpa memahami filosofi profesional yang sejujur-jujurnya.

Bagi guru yang terbiasa berpikir dalam logika dialektis-kritis mereka sadar bahwa mereka telah dicabut hak otonomi edukatifnya oleh proyek sertifikasi. Guru dimanjakan imajinasi sejahtera karena upah yang berlipat ganda sehingga kultur sosiologis guru yang bersahaja berubah menjadi jumawa. 

Tidak ada lagi cerita Oemar Bakri mengendarai sepeda kumbang. Yang ada cerita nyata berderet mobil-mobil keluaran terbaru terparkir rapi di halaman sekolah. Salahkah? Tidak. Namun yang salah apabila guru dengan rasio upah yang tinggi tidak sempat membelanjakan upahnya untuk menambah kaya wawasan pustakanya.

Konsesi 

Imajinasi sejahtera melalui sertifikasi adalah konsesi. Konsesi sejahtera sertifikasi guru kini dijadikan "kuli" (buruh) yang jam kerjanya harus dibatasi dengan syarat yang ketat.
Guru sertifikasi minimal harus mengajar dalam alokasi waktu 24 jam seminggu maksimal 40 jam. Guru yang sudah dibaptis menjadi profesional dengan bukti selembar sertifikat, namun jatah mengajarnya kurang dari 24 jam, harus dimutasi. Jika perlu dijadikan guru apa saja di sekolah mana saja.

Guru dijadikan "kuli" namun tidak menyadari. Mereka menganggap diri mereka bukan "kuli" karena upah dan tunjangan mereka tidak diukur dengan standar UMK buruh industri. Status mentereng mereka adalah abdi negara fungsional. Pandangan yang salah kaprah yang menjadi gambaran rendahnya kesadaran kritis para pendidik generasi muda bangsa.

Tan Malaka, pahlawan nasional yang dihilangkan dan seorang guru di Sekolah Ra'jat di Semarang tahun 1918, mengatakan, "Menjadi guru bagi kaum pribumi berarti membela nilai keadilan dan menoleh kepada perkara pengabdian." Apa yang Tan Malaka, pencetus konsep republik ini, katakan tidak lagi menjiwa dalam ransum batiniah guru masa kini.

Guru sebagai profesional berarti bekerja dengan dibatasi alokasi jam mengajar dan beban edukatif yang beragam dan memberatkan. Guru tidak memiliki hak otonomi edukatif karena harus dipaksa menjalankan titah kurikulum pembelajaran yang didesain pemegang kuasa atas politik pendidikan.

Karl Marx dalam Das Kapital Volume I menjelaskan tentang definisi buruh (kuli), "Buruh bekerja dalam situasi alienasi atau keterasingan tanpa pernah mengerti untuk apa mereka bekerja dan tidak tahu dalam bekerja nilai lebih pekerjaan mereka diambil sang kuasa atas modal." Nah, apa bedanya dengan guru yang menyandang status profesi dengan buruh? Sama konteks relasi fungsi kerjanya. 

Guru terasing karena hanya dijadikan "robot" penggerak kurikulum pendidikan tanpa memiliki kebebasan untuk mendesiminasi materi pelajaran yang berlawanan dengan kurikulum negara. Guru dipaksa bekerja dalam limit alokasi jam mengajar yang konon disesuaikan dengan besarnya upah dan tunjangan yang mereka terima.

Ketika guru mengajar dalam interval alokasi waktu 27-40 jam per minggu apa yang dihasilkan? Yang dihasilkan adalah kepatuhan terhadap ketepatan jadwal kalender pendidikan, terpenuhi kewajiban mengajar yang disesuaikan dengan upah yang diterima, dan mengajar ala kadarnya tanpa standar kualitas.

Guru saat ini tidak memiliki kebebasan akademik dan kreasi intelektual untuk melakukan inovasi pembelajaran yang lepas dari aturan kurikulum yang kaku. Kurikulum pendidikan selalu berubah dan guru dipaksa untuk tunduk kepada "juklak" dan aturan teknis kurikulum.

Guru-guru sekarang tidak lagi menjadi manusia pekerja yang bebas dalam kemerdekaan berpikir dan mengaktualisasikan pemikirannya.

Guru menjadi "kuli" adalah bencana bagi pendidikan nasional. Menjadi "kuli" tanpa sadar karena imajinasi upah dan tunjangan tinggi. Menjadi "kuli" yang harus dilabelisasi profesional atau tidak oleh sebuah skema proyek yang dikendalikan birokrasi dan kuasa legitimasi dari dunia kampus.

Negeri ini terutama pemegang kuasa dan ideologi pendidikan yang berwatak neolib memang semakin "rakus" saja memaksakan keinginannya. Setelah sukses mencabut roh sosial edukasi dengan syahwat komersialisasi pendidikan kini menjadikan elemen pendidik yang dahulu dihormati karena dedikasinya sebagai "kuli" dengan upah membubung tinggi. Upah tinggi tanpa hak otonomi sesuai kapasitas keilmuan dan khitah sosiologisnya.

Semoga para guru semakin sadar apa yang mereka dapat hanyalah konsesi dari posisi mereka yang terperosok menjadi "kuli" dalam iklim pendidikan yang semakin kapitalistik. Mereka sadar hidup dan bekerja dalam sistem yang eksistensi personal dan kolektifnya tercerabut sebagai insan cendekia.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar