Kamis, 26 Januari 2012

Pentingnya UU Keamanan Nasional (283)


Pentingnya UU Keamanan Nasional
Kiki Syahnakri, KETUA DEWAN PENGKAJIAN PERSATUAN PURNAWIRAWAN
TNI ANGKATAN DARAT
Sumber : KOMPAS, 27Januari 2012


Keamanan nasional yang terdiri dari aspek keamanan (keamanan dan ketertiban masyarakat) dan aspek pertahanan merupakan fungsi pemerintahan negara. Kedua aspek keamanan nasional itu memiliki kedekatan fungsi yang sangat erat sehingga penanganannya di banyak negara dikoordinasikan oleh satu badan yang merupakan pembantu presiden. Koordinasi di Amerika Serikat, India, Turki, dan lain-lain dilakukan oleh Badan Keamanan Nasional.

Ketetapan MPR Nomor VI dan VII Tahun 2000 serta Pasal 30 UUD 1945 hasil amandemen telah memisahkan fungsi pertahanan dan keamanan secara mutlak-diametral. Fungsi keamanan dalam negeri, termasuk keamanan negara dan keselamatan bangsa, diemban oleh Polri sendirian dengan spektrum peran yang amat luas.

Sesungguhnya kedua fungsi tersebut selalu bersifat tumpang tindih karena di negara mana pun masalah keamanan dapat berkembang secara eskalatif. Dengan cepat, bahkan tanpa diduga, ia dapat memasuki ranah pertahanan seraya mengancam keselamatan bangsa dan kedaulatan negara. Maka, dibutuhkan pengerahan militer.

Dalam peristiwa rasial di California, AS, pada 1981, misalnya, sejak dini militer AS dilibatkan sebab insiden itu berpotensi berkembang dengan cepat ke banyak negara bagian serta mengancam keamanan nasional dan keutuhan bangsa.

Keadaan semacam itu sering terjadi di Indonesia, khususnya setelah reformasi, yang membuka keran kebebasan luas dan nyaris tanpa batas. Akibatnya, spektrum masalah keamanan nasional pun kian berkembang secara kualitatif dan kuantitatif.

Kondisi ini diperparah lagi dengan belum berhasilnya penyelenggara fungsi pemerintahan menghadirkan kesejahteraan: kemiskinan dan pengangguran masih membebani rakyat dan eksesnya selalu bermuara pada gangguan keamanan.

Berbagai kasus keamanan aktual, seperti penembakan misterius di Papua dan Aceh, konflik tanah di Mesuji dan Bima, aksi teror, serta bentrokan horizontal di banyak daerah menunjukkan bahwa masalah keamanan di Indonesia sedang bergerak secara eskalatif dan tak mungkin dapat ditangani hanya oleh Polri. Perlu penanganan terpadu dan terarah.

Dalam menangani masalah keamanan nasional saat ini, selain belum ada keterpaduan, setiap instansi cenderung berjalan sendiri-sendiri. Hasilnya jauh dari mangkus. Konsep penanganannya pun kerap justru bertentangan dengan undang-undang yang ada. Itu sebabnya sangat urgen bagi kita sesegera mungkin menata kembali peran, fungsi, dan tugas semua aktor yang berkaitan dengan penanganan masalah keamanan nasional.

UU Keamanan Nasional sebagai penjabaran alinea keempat Pembukaan UUD 1945 dimaksudkan untuk mengatasi masalah kemasyarakatan dan kenegaraan yang amat fundamental, bukan sekadar dilatari rivalitas TNI-Polri seperti wacana yang turut beredar—atau sengaja ditebar—belakangan ini.

Untuk keterpaduan dan kemangkusan penanganan keamanan nasional tersebut diperlukan kehadiran Dewan Keamanan Nasional (DKN). Tugas DKN secara umum adalah merumuskan (konsep) ketetapan kebijakan dan strategi keamanan nasional sebagai konsep jangka panjang: menyangkut keamanan perorangan, masyarakat, dan negara, termasuk penyelesaian konflik perbatasan.

DKN juga bertugas merancang konsep cara bertindak presiden dalam mengatasi keadaan darurat atau masalah keamanan yang muncul tanpa diperkirakan sebelumnya, baik dalam skala nasional maupun global. Jadi, keberadaan DKN justru dapat mencegah kesewenang-wenangan aparat di bawah serta menghindari kebijakan dan tindakan pemerintah yang bertentangan dengan perundang-undangan, eksesif, ataupun jadi pengekor kebijakan negara adikuasa.

RUU Keamanan Nasional

RUU Keamanan Nasional dibuat pada 2005 dan telah beberapa kali direvisi. Hingga kini masih tetap mengundang kontroversi. Draf versi terakhir, Maret 2011, kini sudah di tangan DPR. Namun, DPR masih menunggu masukan kontributif- substantif dari masyarakat luas.

Draf versi 2010 dan draf versi 2011 berbeda secara substansial. Versi 2010 mengatakan, DKN berstatus sebagai fasilitas staf atau pembantu presiden di bidang keamanan nasional dan diketuai oleh pejabat negara setingkat menteri yang ditunjuk oleh presiden. Namun, dalam versi 2011, status DKN berubah menjadi badan eksekutor, dipimpin langsung oleh presiden dan berwewenang memutuskan, menetapkan, dan mengendalikan.

Dengan begitu, kewenangan presiden menjadi amat luas. Presiden merupakan pemegang kekuasaan tertinggi atas TNI, membawahkan langsung Polri dan memimpin langsung DKN yang menangani masalah keamanan multiaspek (militer, politik, ekonomi, dan sebagainya) sehingga rawan diselewengkan.

Dalam konteks potensi atau peluang penyalahgunaan kewenangan dan kekuasaan inilah, UU Keamanan Nasional secara fundamental kenegaraan seyogianya memicu dan mempercepat proses pembuatan UU Kepresidenan yang sampai saat ini belum kita punyai. Jangan lupa, presiden selain sebagai personal juga merupakan lembaga tinggi negara yang perlu diatur sesuai dengan kehendak UUD 1945.

UU Keamanan Nasional memang sangat diperlukan mengingat ancaman terhadap keamanan nasional cenderung meningkat secara multiaspek. Namun, formulasi UU harus sesuai dengan keadaan lingkungan strategis yang dihadapi, termasuk iklim demokrasi. Tanggapan minor dan tendensius seperti pernyataan bahwa UU Keamanan Nasional belum diperlukan atau dikhawatirkan akan memberi jalan bagi pemeranan TNI seperti dalam masa Kopkamtib juga tidak tepat dan terlalu berlebihan.

TNI sudah kian solid dan profesional dalam proses reformasi internal yang terus menggelinding disertai kontrol publik yang sangat kuat sehingga tak ada titik untuk kembali ke ranah politik praktis. Kini dalam membahas kepentingan yang lebih besar, kita mesti lebih mengedepankan rasionalitas tanpa prasangka berlebihan yang disertai pula dengan kewaspadaan akan kepentingan asing yang mungkin mendompleng atau kepentingan kelompok tertentu yang akan dirugikan dengan kehadiran UU itu.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar