Rabu, 25 Januari 2012

Negara, Konflik, dan Demokrasi


Negara, Konflik, dan Demokrasi
Novri Susan, Sosiolog Konflik Unair, Kandidat PhD Bidang Conflict Management and
Governance di Doshisha University, Jepang
Sumber : SINDO, 26 Januari 2012



Salah satu fenomena dominan dalam hidup berbangsa dan bernegara Indonesia adalah realitas konflik dalam dimensi vertikal. Bentuknya berupa konflik antara kelompok sosial yang berada dalam posisi subordinatif (tanpa wewenang) dengan kelompok ordinatif (memiliki wewenang), dari konflik separatisme, konflik pertanahan sampai konflik perburuhan yang akhir-akhir ini mengalami eskalasi.

Sayangnya berbagai dimensi konflik vertikal tersebut cenderung hadir dalam bentuk kekerasan dalam level berbedabeda. Pada kasus Mesuji dan Sape,kekerasan dalam konflik menyebabkan korban jiwa dan luka-luka terutama di kalangan kelompok subordinatif. Pada banyak kasus konflik perburuhan, bentrok antara aparat keamanan dan buruh juga sering kali terjadi.

Berbagai konflik vertikal tersebut cenderung berlarut-larut tanpa pemecahan akar masalah dan memobilisasi kekerasan. Para ilmuwan studi konflik kritis melihat hal tersebut sangat berkaitan dengan lemahnya negara memfungsikan mediasi konflik transformatif, yaitu pengelolaan konflik damai yang mampu membawa kelompok-kelompokberkonflik pada pemecahan masalah.

Sebagai bagian dari dunia sosial yang omnipresence,hadir di mana pun, konflik sebenarnya bukan fenomena luar biasa. Konflik hanya menjadi situasi luar biasa ketika masalah di dalamnya tak terpecahkan, terus berkepanjangan, dan korban berjatuhan. Salah satu akar penentu dari kondisi konflik luar biasa adalah perspektif pengelolaan konflik oleh para aktor yang terlibat.

Perspektif pe-ngelolaan konflik secara diametris dibedakan antara perspektif damai dan kekerasan. Misi perspektif pengelolaan konflik damai adalah mendorong seluruh kelompok berkonflik menuju pada pemecahan masalah yang memberikan keadilan dan jalan keluar bersama.Sebaliknya, misi perspektif kekerasan adalah melemahkan atau menyingkirkan salah satu kelompok berkonflik melalui memobilisasi represi fisik dan mental.

Pada sistem demokrasi seperti yang dianut Indonesia,misi pengelolaan konflik oleh negara seharusnya berfundamen pada cara-cara damai dengan orientasi pemecahan masalah. Metode pengelolaan konflik damai mengoptimalkan fungsifungsi dialog dan negosiasi dari lembaga-lembaga pemerintahan. Namun pemerintah, yang sering direpresentasikan oleh kepolisian dan satuan polisi pamong praja (satpol PP) memilih kekerasan sebagai perspektif penanganan konflik.

Penyesatan Demokrasi

Pemilihan metode kekerasan oleh negara mengin-dikasikan bahwa demokrasi telah disesatkan sehingga kandungan nilainya tentang kemanusiaan dan keadilan tidak termanifestasi secara riil oleh negara dalam tata kelola konflik. Moira Fradinger menyebutkan bahwa korupsi antara elite negara dan pelaku pasar adalah akar dari terjadinya penyesatan demokrasi/perversion of democracy (Binding Violence, 2010).

Penyesatan demokrasi ditandai oleh terbaliknya konsep- konsep demokrasi tentang kebaikan umum dan kemanusiaan dalam hidup berbangsa bernegara.Kesetaraan menjadi marginalisasi,keadilan menjadi penindasan,dan musyawarah menjadi kekerasan. Modus penyesatan demokrasi sederhana saja, para penyelenggara kekuasaan negara menjual hukum dan kebijakan pada kelompok-kelompok pelaku pasar yang sering disuguhi administrasi rumit ber-bisnis.

Oleh karenanya,penyesatan demokrasi berlangsung secara “legal”, melahirkan berbagai aturan hukum dan surat keputusan negara yang melin-dungi kepentingan pemodal besar saja.Oleh karenanya penyesatan demokrasi ditandai oleh kebijakankebijakan legal negara yang tidak merefleksikan aspirasi masyarakat seperti petani dan buruh. Akan tetapi hanya segelintir penyelenggara kekuasaan negara memperoleh keuntungan, baik gratifikasi maupun fasilitas mewah.

Pada kondisi penyesatan demokrasi inilah lembaga pemerintahan bekerja melindungi kebijakan-kebijakan legal yang telah ditransaksikan seperti kebijakan pemberian izin perluasan tanah perkebunan, pertambangan,dan upah minimum buruh. Ketika masyarakat memprotes kebijakan tersebut karena merugikan hakhak sebagai warga atau buruh, negara menanganinya dengan perspektif kekerasan.Penyesatan demokrasi secara dramatis telah menyebabkan negara dan struktur organisasinya tidak mampu menjalankan peran mediasi konflik transformatif.

Pembiakan Kekerasan

Perspektif kekerasan negara terhadap kelompok subordinatif, seperti buruh dan petani, sering dijustifikasi oleh alasan “demi kepentingan umum” sehingga aksi blokade jalan tol, pendudukan pelabuhan, bandar udara, dan perkantoran pemerintah lainnya dianggap kondisi membahayakan kepentingan umum. Oleh sebab itu negara yang bertameng pada mekanisme legal fancied emergency, yaitu hak menentukan kondisi berbahaya berdasar hukum positif, bisa menekan kelompok subordinatif dengan cara kekerasan.

Pada langkah ini sebenarnya negara melakukan pembiakan kekerasan dalam kasus konflik vertikal. Kelompok subordinatif yang merasa terpinggirkan oleh keberpihakan negara pada pemodal besar makin mengalami luka perasaan kolektif atas kekerasan negara tersebut.Alhasil, mobilisasi perlawanan masyarakat makin deras.Mereka melawan aparat keamanan dan merusak fasilitas umum sebagai simbolisasi kekecewaan mendalam.

Melihat perlawanan tersebut dari kacamata hukum positif an sich akan menyebabkan kelompok subordinatif sebagai pelaku kriminal.Akan tetapi dari kacamata pengelolaan konflik damai negara telah menutup kemungkinan bagi arah pemecahan masalah. Negara demokrasi, mengutip John Keane, dalam penggunaan kekerasan negara harus berprinsip pada perlindungan keamanan seluruh warga negara dari ancaman agresi asing (Violence and Democracy, 2004).

Adapun konflik-konflik pertanahan atau perburuhan merupakan konflik dalam negara (intrastate conflict) yang harus dikelola berdasar prinsip demokrasi, yaitu dialog negosiasi tanpa dominasi antara berbagai kelompok berkonflik,sehingga pada kasus konflik antara buruh dan petani dengan perusahaan negara harus mengabaikan kekerasan dan mengoptimalkan dialog negosiasi.

Realisasi pengelolaan konflik damai akan memberikan jaminan pada pemecahan masalah dari konflik-konflik vertikal daripada perspektif kekerasan. Para pemimpin negara, dari kekuasaan pusat dan daerah, seharusnya memiliki visi ini demi terciptanya negara bangsa Indonesia yang adil makmur dan sejahtera.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar