Senin, 30 Januari 2012

Mampukah Indonesia Menuju Denmark


Mampukah Indonesia Menuju Denmark
Wahyu Prasetyawan, PENGAJAR EKONOMI-POLITIK DI UIN SYARIF HIDAYATULLAH, JAKARTA
Sumber : KOMPAS, 31Januari 2012


Kasus-kasus rasuah besar, seperti pemilihan Deputi Gubernur Bank Indonesia, aliran dana Bank Century, dan kasus mantan Bendahara Umum Partai Demokrat Nazaruddin, yang belum selesai hingga saat ini, menjadi pertaruhan besar bagi akuntabilitas politik, demokrasi, dan pemberantasan rasuah di sini. Kegagalan menyelesaikan ketiga soal besar tersebut menjadi paradoks bagi keberhasilan manajemen ekonomi makro dan demokrasi.

Situasi ideal dengan adanya stabilitas politik, politik yang demokratis, damai, sejahtera, serta rendahnya tingkat rasuah diumpamakan dengan Getting to Denmark. Ini sebuah kiasan yang digunakan Lant Prichett dan Michael Woolcock bagi negara ideal. Jika elemen Getting to Denmark ditambah dengan akuntabilitas politik, perumpamaan ini cukup menarik dipakai untuk melihat dinamika ekonomi politik Indonesia.

Kasus-kasus rasuah (perburuan rente) memperlihatkan gambaran yang berlawanan dengan capaian dalam demokrasi dan stabilitas politik. Dukungan publik terhadap demokrasi cukup tinggi. Capaian ekonomi Indonesia juga baik. Lembaga pemeringkat Fitch memasukkan Indonesia dalam kategori tempat yang layak untuk investasi. Ini merupakan buah reformasi ekonomi, dalam bentuk kebijakan hati-hati dalam pengelolaan ekonomi makro yang dimulai sejak sepuluh tahun lalu. Saat ini Indonesia menikmati pertumbuhan ekonomi yang cukup tinggi, tingkat inflasi yang rendah, dan rasio utang publik yang rendah.

Lambatnya penyelesaian rasuah besar yang terkait dengan pejabat lembaga publik memperlihatkan bahwa kita punya masalah dengan akuntabilitas politik. Di sini akuntabilitas politik dilihat sebagai upaya untuk membuat politik sebagai cara untuk mencapai kebaikan bagi banyak pihak, dan terutama rakyat yang menjadi pelaku penting. Singkatnya, kepentingan publik berada di atas kepentingan pribadi atau kelompok politik seorang/sekelompok politikus.

Akuntabilitas politik rendah karena elite politik di lembaga eksekutif dan legislatif menyandera. Dari sisi eksekutif, data Doing Business in More Transparent World 2012, yang dibuat Bank Dunia, memperlihatkan posisi Indonesia yang turun dibanding tahun lalu. Birokrasi menjadi penyebabnya. Birokrasi yang bekerja untuk dirinya sendiri merupakan bentuk penyanderaan yang bersumber dari kewenangan. Kewenangan yang diberikan birokrasi untuk mempermudah suatu urusan yang terkait dengan pelayanan berubah menjadi hambatan. Gambaran seperti tecermin dalam angka-angka dalam kategori umum kemudahan mendirikan usaha cenderung turun posisinya menjadi 129, sedangkan pada 2011 berada di posisi 126. Posisi ini juga jauh dari rata-rata di Asia-Pasifik, yaitu 86.

Selain itu, untuk memulai suatu usaha di Indonesia dibutuhkan waktu selama 45 hari dan melalui 8 prosedur (sementara di Malaysia dibutuhkan 6 hari kerja dan 4 prosedur). Dalam hal mendapatkan sambungan listrik, di Indonesia dibutuhkan waktu 108 hari dan 7 prosedur. Sedangkan di Malaysia diperlukan 51 hari dan 6 prosedur. Intinya, birokrasi di Indonesia bekerja untuk dirinya sendiri dengan cara menyandera proses untuk mendapatkan keuntungan.

Masuknya politikus ke ranah eksekutif menjadi alat deteksi guna mengetahui adanya hubungan di antara lambannya perubahan dalam birokrasi. Muasal keterlibatan partai politik dalam birokrasi terletak pada koalisi politik di tingkat eksekutif. Sejak 2004 lalu pos menteri diisi tokoh-tokoh partai politik, artinya politikus yang kapasitasnya untuk mengelola suatu kementerian diragukan. Situasi ini menimbulkan merosotnya spirit korps birokrasi, karena jabatan tertinggi birokrasi hanya didapatkan melalui lobi-lobi politik. Akibatnya, sistem meritokrasi mati, dan birokrat lebih menghabiskan waktunya untuk melakukan lobi politik. Insentif untuk melakukan lobi jelas lebih besar dibandingkan dengan memperbaiki kinerja.

Bentuk penyanderaan elite lembaga legislatif dapat dilihat dari kasus-kasus yang menyangkut anggota parlemen tingkat pusat yang masih belum selesai. Selain itu, perburuan rente di lembaga legislatif sangat kentara karena memiliki kewenangan yang bahkan lebih besar dari presiden untuk membuat undang-undang. Selain itu, anggota legislatif memiliki akses atas informasi dan kewenangan untuk mengesahkan suatu RUU bahkan RAPBN sekalipun. Kasus yang melibatkan dana infrastruktur daerah merupakan indikator terjadinya perburuan rente atas APBN, dan kasus yang melibatkan Nazaruddin masuk kategori ini. Dalam konteks Indonesia, keuntungan dari upaya rasuah lebih besar dibandingkan dengan kerugian yang harus dibayar. Sebuah studi menemukan politikus pelaku rasuah rata-rata mendapatkan hukuman kurang dari lima tahun. Ini hukuman yang amat ringan, karena ada seorang anak remaja yang dituntut lima tahun karena mencuri sandal jepit.

Lemahnya akuntabilitas partai politik yang disebabkan oleh rasuah (perburuan rente) memiliki dua implikasi negatif. Pertama, penyanderaan yang dilakukan elite politik pada birokrasi akan semakin buruk. Absennya akuntabilitas politik membuat meritokrasi tidak berjalan. Jabatan menteri dan beberapa jabatan di bawahnya diisi berdasarkan logika politik “bagi-bagi” kekuasaan. Jabatan politik menjadi “giliran” elite politik melalui mekanisme demokrasi. Ini merupakan bentuk telanjang alokasi kekuasaan dan sumber-sumber ekonomi di antara elite. Dan ini akan digunakan untuk melanggengkan kekuasaan. Gejala ini sudah dapat diamati dengan cukup jelas, setidaknya ketika ada satu partai politik tertentu yang selama reformasi ini menguasai suatu kementerian. Rakyat sebagai pelaku yang seharusnya menjadi pertimbangan utama dalam setiap kebijakan dilupakan setelah pemilihan umum usai.

Kedua, melemahnya kapasitas pemerintah dalam mengelola pemerintahan. Kemampuan pemerintah untuk intervensi atas kebijakan yang menguntungkan publik secara luas, terutama orang miskin, semakin melemah. Elite politik lebih cenderung memberikan dukungan kepada kelompoknya sendiri atau kelompok yang mampu memberikan tekanan kepada mereka, dalam hal ini kelas menengah. Program-program yang terkait dengan kelompok yang tidak terorganisasi dengan baik, seperti kelompok miskin, akan makin diabaikan. Di Indonesia, gejala ini dapat dilihat dari kecilnya dana program pengentasan masyarakat miskin dibandingkan dengan dana subsidi BBM yang jelas-jelas lebih dinikmati kelas menengah. Dana program pengentasan rakyat dari kemiskinan pada APBN 2012 berjumlah sekitar Rp 99 triliun, sementara subsidi secara menyeluruh mencapai Rp 209 triliun (subsidi BBM Rp 123 triliun, padahal tahun sebelumnya hanya Rp 96 triliun). Selain itu, dalam bidang penegakan hukum, kapasitas pemerintah malah amat jelek karena tidak mampu melindungi orang miskin. Dalam kasus di Mesuji atau tempat lainnya pemerintah jelas berpihak kepada pemodal.

Apakah kita sedang menuju atau menjauhi Denmark? Masa depan ekonomi politik masih sangat ditentukan oleh hubungan-hubungan yang terkait dengan pertukaran antara kekuasaan (politik) dan modal (uang). Demokrasi dan stabilitas politik dapat dicapai, dan Indonesia dapat pergi ke Denmark dengan syarat akuntabilitas politik membaik dan rasuah dapat ditekan jumlahnya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar