Selasa, 31 Januari 2012

Capgo Meh dalam Komedi Berdikari


Capgo Meh dalam Komedi Berdikari
Agus Dermawan T., KRITIKUS SENI, ESAIS KEBUDAYAAN, PENULIS BUKU
Sumber : KORAN TEMPO, 1Februari 2012


Seorang komedian tampil di panggung komedi berdikari (stand-up comedy). Ia mengenakan ciongsam merah bermotif batik, dengan topi Cina berkuncir menjuntai. Ia mendongeng di hadapan 240 juta saudara-saudara sebangsa yang dicintainya.

“Saudara-saudaraku se-Tanah Air. Setelah 15 hari memasuki Tahun Naga Air, malam ini, tanggal 6 Februari 2012, kita mengalami purnama pertama. Oleh nenek saya, malam ini disebut capgo meh. Kata capgo artinya 15, meh artinya malam. Jadi, capgo meh artinya malam di hari ke-15 setelah tahun baru. Dalam bahasa romantisnya: malam terang bulan! Menurut sahibul hikayat, pada malam ini bunga-bunga di hutan diam-diam bermekaran, dan segenap satwa air dan daratan ramai berpacaran. Sementara manusia di bumi berzikir mensyukuri datangnya hujan terakhir. Meski untuk Indonesia, hujan ini bisa berarti banjir....”

Penonton mulai terpana. Sebagian dari mereka tampak baru tahu apa arti capgo meh, yang selama ini dikenali sebagai lontong sayur bersantan dengan imbuhan opor ayam.
“Saudara-saudara, dalam ritual capgo meh, orang Tionghoa biasanya kembali menengok lambang-lambang. Aneka lambang ini pada satu sisi dipandang sekadar sebagai aksesori perayaan. Namun di sisi lain diposisikan sebagai penanda yang mengajak manusia lebih tajam mengkaji masa depan. Cerita di bawah ini ini adalah contohnya.
Tahun 2009 adalah Tahun Kerbau. Kitab tua menulis bahwa, apabila pada Tahun Kerbau sebuah negara memilih pemimpin bershio kerbau, rakyat dan pemimpinnya harus memiliki kesabaran super-ekstra. Ya, seperti kerbau yang sabaaar luar biasa. Maka, ketika SBY yang bershio kerbau terpilih jadi presiden, kesabaran pun menjadi takdir yang mesti dipikul segenap lapisan bangsa. Sementara SBY pun harus sangat sabar melihat kelakuan sebagian rakyatnya. Hikmah dari pertemuan dua kerbau ini adalah, Indonesia jadi negeri yang sabarnya tak alang-kepalang. Tak apa. Bukankah penulis Italia abad ke-16 Pietro Aretino bilang hanya kesabaran yang membuat manusia bisa saling memahami dan mencintai?

Saudaraku se-Tanah Air. Saya tidak ingin berbicara lambang-lambang yang menyangkut dunia pemerintahan, yang dari hari ke hari tambah memusingkan. Karena malam ini suasana begitu gembira, yang saya ceritakan adalah apa hubungan lambang dengan satwa, yang lantas menyangkut angka-angka dan lafal bahasa.

Dalam kosmologi Cina memang banyak dijumpai lambang yang mengambil sosok satwa. Yang paling populer adalah kuda. Kuda ini sejak zaman Dinasti Song diperkenalkan sebagai simbol kekuatan dan kecepatan. Satu kuda katanya hebat. Namun delapan kuda jadinya dahsyat. Karena, diyakini delapan kuda ini akan berlari ke delapan penjuru untuk menjemput sukses yang menunggu. Teman saya seorang pengusaha memasang patung delapan kuda di kantornya. Delapan tahun kemudian ia telah berekspansi ke delapan usaha lain. Dan ia jadi orang nomor delapan terkaya di kotanya. Sungguh, mitos delapan kuda hidup delapan ratus tahun lamanya!

Tapi, eiiit..., jangan keliru. Sesungguhnya angka yang paling disukai orang Tionghoa bukan delapan, melainkan sembilan. Ya, sembilan. Karena sembilan atau kyudianggap sebagai angka keberuntungan. Logikanya: ini angka tertinggi, sebelum 10 yang dianggap angka sempurna milik Tuhan. Itu sebabnya, banyak toko yang memasang label 99 atau 999 alias kyu-kyu-kyu, yang maknanya: laba berlipat ganda.

Bicara soal angka, orang Tionghoa paling alergi dengan bilangan empat. Ini karena, dalam bahasa Cina, empat itu dibaca si. Kata si ini sama bunyinya dengan si yang artinya mati, tutup usia, alias dut. Walhasil, orang-orang Tionghoa pun pantang mengusung segala hal yang jumlahnya empat. Tidak ada upacara perkawinan Tionghoa yang diselenggarakan tanggal empat. Kalau mereka membuat acara untuk Tukul, sedari awal tidak akan memberi judul Empat Mata. Lantaran angka empat menjanjikan umur pendek. Dan buktinya...?”

Sebagian penonton mulai melongo. Mereka melihat kenyataan, betapa di tengah keajaiban teknologi komputer ala Steve Jobs, soal takhayul fauna, angka, dan bahasa masih ada juga. Sebelum penonton terlalu lama menganga, komedian itu melanjutkan ceritanya.

“Saudara-saudaraku yang budiman. Dunia fauna jadi kegemaran para penyimbol Cina sejak zaman dahulu kala. Dan sebagiannya diambil sebagai shio. Ayam hutan diangkat sebagai lambang keindahan alamiah. Anjing simbol kewaspadaan. Harimau simbol kemiliteran. Merpati simbol kerukunan sehidup-semati. Rusa simbol kemakmuran. Kambing lambang hoki.

Saya jadi teringat, ketika Basoeki Abdullah diminta melukis tentang berdirinya organisasi ASEAN, ia menggambarkan bangau-bangau terbang. Kenapa bangau? Karena burung itu dianggap lambang keluwesan lantaran bisa terbang di langit dan turun ke lumpur, serta lambang panjang umur.

Yang jangan dilupa, sebagian pilihan atas hewan tersebut tampak berangkat dari pelafalan nama yang kebetulan berbunyi sama dengan sepotong kata. Pemakaian simbol kalong, misalnya, ternyata bermula dari pelafalan kalong dalam bahasa Cina: tien fu. Kata fu di sini mirip dengan fu yang berarti rezeki. Jadi, jangan heran bila komik dan film Batman banyak mendatangkan untung berkarung-karung!

Saudaraku, banyak orang Tionghoa yang sepanjang hidupnya memelihara ikan, atau menggantungkan gambar ikan di dinding rumahnya. Ini karena ikan dianggap sebagai lambang kelebihan dalam konotasi materi. Memang, sebutan kata “ikan” dan kata “kelebihan” dalam bahasa Cina dilafalkan sama, yakni yi. Itu sebabnya, selembar gambar ikan acap kali diikuti inskripsi “nien nien yu yi”, yang artinya sepanjang tahun ada kelebihan. Sebuah gumam pengharapan....”

Jutaan penonton di hadapan komedian itu mulai berdiri. Sebagian bersorak gembira karena merasa telah dibukakan kamus sederhana tapi penuh rahasia. Namun sebagian yang tak mau memahami kebudayaan mulai mengambil sandal jepit untuk dilempar. Si komedian mewaspadai keadaan, untuk kemudian segera menutup perhelatan.

“Saudara-saudaraku se-Tanah Air, akhirnya harus saya tuturkan: Takut lebah dalam rimba, Si Amat jualan gurame. Cukup sudah cerita saya, selamat makan lontong capgo me!”.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar