Kamis, 03 April 2014

Politik (Ala) Negarawan

Politik (Ala) Negarawan

Muhammad Rizki Utama  ;   Peneliti pada Jejak Islam untuk Bangsa (JIB),
Pendiri Komunitas Pencinta Sejarah Islam
REPUBLIKA, 02 April 2014
                                      
                                                                                         
                                                             
Aroma `tahun politik'2014 sudah tercium tajam. Wajah-wajah lama dan baru menghiasi kalender, buku, jalanan, pepohonan, hingga mem bentang di billboard yang pajak sewanya tak sedikit. Itulah para politisi yang wajah dan benderanya menghiasi gemerlap kota, juga lorong-lorong desa. Tahun ini, para politisi sibuk dengan agendanya masing-masing. Partai politik (parpol) sibuk menggenjot hasil survei, memikirkan strategi meraup suara.

Tapi, bagi seorang negarawan, tampaknya ia tak terpengaruh oleh ingar bingar `Pesta Demokrasi' 2014. Tak ada yang berbeda darinya, selain sibuk memeras keringat untuk negaranya. Ia bahkan sibuk setiap saat, saat wajah-wajah baru kini bermunculan. Begitulah sejarah mengajarkan kita bagaimana kiprah mereka para negarawan. Visi politik mereka jauh melampaui zamannya.

Jika menurut pakar politik Dr Yudi Latif, seorang negarawan adalah orang yang berjuang meletakkan dirinya untuk negaranya hingga rakyat pun merasa memilikinya, maka politisi seorang yang berada dalam lingkaran politik dan menempatkan politik untuk kepentingan dirinya.

Dalam hal politik praktis, seorang politisi sangat terikat pada parpol, kampanye, pemilihan umum, kontrak politik, juga pemilu yang harus memunculkan wajahnya. Namun, bagi seorang negarawan, dia bukanlah seorang yang dimiliki parpol, kelompok, atau pribadi, melainkan dirinya kini --dan sejak awal-- dimiliki oleh masyarakat dan negaranya.

Negarawan dalam sejarah

Dalam sejarahnya, Indonesia pernah melahirkan sosok-sosok negarawan. Politik negarawan terlihat jelas ketika mereka berjuang di tengah masyarakat, mengisi nurani masyarakat dengan nilai-nilai yang mereka perjuangkan. Sebut saja Haji Agus Salim yang disebut Sukarno "The Grand Old Man". Kustiniyati Mochtar (1984) dalam buku Seratus Tahun Haji Agus Salim menulis "... sejarah mengenang seseorang yang telah memberikan 50 tahun dari usianya 70 tahun untuk mewujudkan keyakinannya ...."

Haji Agus Salim mengkhidmatkan dirinya untuk perjuangan. Salah satu muridnya, Mr Mohammad Roem, yang dikenal sebagai diplomat ulung mengisahkan bagaimana kehidupan pemimpin besar ini. "Waktu kami dipersilakan bertemu dengan keluarga Haji Agus Salim, maka seluruh keluarga itu tempatnya hanya di satu ruangan. Kopor-kopor bertumpuk-tumpuk di pinggir ruangan serta beberapa kasur digulung, sedangkan di tengah ada ruang yang bebas untuk duduk-duduk dan menerima tamu." (Roem:1983). Bisa dibayangkan jika zaman sekarang ada seorang menteri dan pemimpin bangsa yang mengontrak rumah, tinggal di gang becek, bahkan rumahnya kosong melompong! "Leiden is Lijden", (memimpin itu menderita) menjadi prinsip Agus Salim dan para pemimpin bangsa dahulu.

Dengan kesederhanaanya--bahkan Mr Roem bilang penderitaannya-- ia dapat menggerakkan masyarakat. Bahwa, memimpin itu bukan soal menumpuk harta, berlimang kemewahan, atau jalan memuluskan proyek keluarga, juga partai politik. Bagi negarawan seperti Agus Salim, memimpin adalah pengabdian bagi bangsa dan agama. Politik negarawan tak bicara soal suara, tapi ia adalah narasi besar bangsa, tentang tatanan masyarakat yang diidamkan.

Selain Agus Salim, politik negarawan terlihat jelas pada ulama besar Buya Hamka. Dalam tulisannya `Politik Hamka' , Moh Roem berpendapat bahwa istilah politik artinya luas, tak melulu urusan suara, tapi idealisme membina masyarakat. "Ia (Hamka) mengikuti segala peristiwa hidup yang menyangkut umat dan wajib ia menemukan jawabannya dalam ajaran Islam. Ulama tidak mungkin berbuat lain daripada itu." (Roem, Bunga Rampai Dari Sejarah)

Bahkan, ketika dilantik menjadi Ketua MUI pertama, Hamka menolak digaji. "Ada satu syarat lagi yang diajukannya sendiri sebelum menerima tawaran yang penuh risiko itu, yaitu sebagai ketua yang dilantik pemerintah tidak menerima gaji dan pensiun (Rusydi Hamka:1981). Baginya "Ulama tak bisa dibeli." Mungkin terdengar agak `kasar' namun itulah politik negarawan, bukan politik uang yang berkembang laiknya sekarang.

Selain Agus Salim dan Hamka, penulis Ajip Rosidi dalam bukunya Syafruddin Prawiranegara, Lebih Takut Pada Allah SWT, mencatat sosok seorang menteri keuangan yang berkhidmat untuk umat yaitu Syafruddin Prawira negara. "Waktu anak yang ketiga lahir, Chalid, keadaan keluarga itu begitu buruk sehingga untuk membuat gurita bayi pun mereka terpaksa menyobek kain kasur, karena kain biasa tidak ada lagi." (Ajip Rosidi: 2011).

Berpikir sejenak, sangat mungkin di zaman sekarang seorang pejabat menggunakan jabatannya untuk mereguk harta berlebih. Tapi, ketika melihat Syafruddin, seorang Menteri Keuangan yang bahkan membeli popok bagi putrinya saja tak mampu. Ketika pindah ke Yogyakarta, menteri ini menumpang rumah, dan tak membawa apa pun. "Meskipun kehidupannya adalah menteri keuangan, tetapi dibandingkan dengan kehidupannya taktkala menjadi kepala inspeksi pajak di Kediri, keadaannya jauh lebih sederhana, malah dekat kepada melarat." kata Ajip Rosidi.

Menanti sang negarawan

Masih banyak sosok negarawan tentunya yang dilahirkan di tengah masyarakat dan berkhidmat untuk umat. Mereka dibentuk oleh proses panjang dan cita-cita besar tentang bangsanya. Indonesia membutuhkan pemimpin yang tidak datang menjajakan dirinya, tapi pemimpin yang menginspirasi, sederhana, menggerakkan dengan keikhlasan.

Proses politik negarawan berbeda dari politik praktis yang serba terbatas oleh waktu, ruang, biaya, dan transaksi-transaksi lima tahunan. Politik negarawan lahir dari idealisme yang diperjuangkan. Visi kepemimpinan mereka melampaui generasi dirinya dan proses itu terus berlangsung sampai sekarang, bahkan akan terus berlangsung.

Di kampung-kampung, cikal bakal negarawan terus berkhidmat melayani umat dengan ikhlas. Mereka tak dibatasi sekat-sekat waktu, partai politik, golongan, atau deal-dealyang menggoda. Anak-anak kecil mereka ajarkan mengeja kalam. Di kota-kota, diskusi-diskusi menghasilkan karya pada bidangnya masing-masing. Karya besar un tuk masyarakat yang tak lekang oleh waktu.

Di surau-surau itu calon pemimpin itu dengan semangat belajar walau sudah larut malam. Dalam kelas reyot itu, guru-guru ikhlas mengeja kata bersama murid-muridnya. Semuanya terus berjalan. Bukan di dalam ruang transaksi di mana uang begitu mengalir deras di kafe-kafe, hotel berbintang, gedung megah nan ber-AC, hingga gedung-gedung berkarpet merah yang nikmat untuk bernegosiasi.

Bangsa ini membutuhkan mereka, para negarawan, bukan politisi yang melanjutkan transaksi-transaksi politik dengan pelbagai kepentingan dirinya dan kelompoknya. Masyarakat rindu sosok seperti mereka, yang mengetuk hati, mengajak nurani, membangun optimisme. Semoga Allah lahirkan mereka di tengah kita, jikalau tidak, semoga diri ini bisa memulainya dari sekarang.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar