Selasa, 01 April 2014

Awas Kampanye Dana Bansos

Awas Kampanye Dana Bansos

Marwan Mas  ;   Guru Besar Ilmu Hukum Universitas 45, Makassar
SINAR HARAPAN, 01 April 2014
                                      
                                                                                         
                                                             
Tajuk harian Sinar Harapan, Senin (24/3), menyajikan data Kementerian Keuangan (Kemenkeu) mengenai alokasi bantuan sosial (bansos) dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) 2014 yang naik dari Rp 55,9 triliun pada tahun sebelumnya, menjadi Rp 73,2 triliun.

Kabarnya, kenaikan sekitar Rp 20 triliun itu untuk mendukung program jaminan kesehatan masyarakat melalui institusi Badan Pengelola Jaminan Sosial (BPJS), yang ternyata juga di berbagai daerah menimbulkan persoalan. Pelayanan BPJS jauh lebih jelek dibandingkan saat ditangani Asuransi Kesehatan (Askes).

Penggunaan dana bansos sudah lama menjadi sorotan publik. Itu lantaran pengelolaannya tidak transparan. Malah berkembang cerita, korupsi dana bansos sudah dicita-citakan. Indikasinya bisa dilacak dari maraknya politik transaksional, yang bukan hanya karena motivasi uang, melainkan juga telah menggerogoti demokrasi elektoral.

Bukan hanya itu, pembenaran bisa dilihat dari fakta yang terungkap dalam sidang pengadilan tindak pidana korupsi (tipikor), bahwa kepala daerah yang menjadi terdakwa korupsi Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) itu untuk menebus biaya politik saat pencalonan dan kampanye.

Untuk 2013, Indonesia Corruption Watch (ICW) mencatat 35 kepala daerah, didominasi bupati/wali kota, yang dipenjara karena terlibat menyelewengkan dana APBD. Itu termasuk menyelewengkan dana bansos.

Ada kesan, frasa “sosial” dalam pemberian dana bansos beralih fungsi dengan memasukkan kepentingan kepala daerah yang menjual kata “sosial” menjadi “rakyat”. Itu dengan menepikan idealisme dan tujuan pengadaan dana bansos dalam APBN dan APBD.

Dugaan kuat seperti itu sudah dimulai saat penganggaran dana bansos di legislatif. Bahkan sudah ada niat negatif untuk penggunaan dana itu secara tidak benar dari sana. Inilah yang boleh disebut sebagai langkah reaktif dari tebersitnya cita-cita menyalahgunakan dana tersebut.

Fakta yang terungkap di pengadilan tipikor tentulah tidak boleh dibiarkan berkembang, apalagi kalau sudah dicita-citakan. Sekitar Rp 31.66 triliun dana bansos yang ditemukan Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) tahun lalu yang bermasalah diduga diselewengkan.

Pesta Kampanye

Sebelum memasuki kampanye pemilihan umum (pemilu) pada 16 Maret, Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) pernah memperingatkan kementerian negara dan kepala daerah agar tidak memanipulasi dana bansos untuk kepentingan politik.

Tentu kita tidak ingin ada yang berpesta politik dengan menggunakan dana bansos atau menjual rakyat melalui penyaluran dana bansos tetapi dipakai kader partai politik tertentu atau tim suksesnya.

Malah KPK yang didukung berbagai pihak mengusulkan, pencairan dana bansos dalam APBN 2014 ditangguhkan. Dana bansos barulah digulirkan kepada warga yang betul-betul membutuhkan setelah pemilihan legislatif (pileg) dan pemilihan presiden (pilpres) berakhir. Usulan ini layak diapresiasi.

Ini untuk mencegah sedini mungkin penyelewengan dana bansos bagi kepentingan pihak tertentu dengan dijadikan sebagai jualan kampanye.

Tetapi, pemerintah tetap bergeming dan dana bansos tetap disalurkan dengan alasan membayar penerima bantaun iuran bagi masyarakat peserta jaminan kesehatan.

Peringatan KPK seharusnya diikuti sebagai upaya pencegahan. Jangan sampai penyaluran dana diintervensi calon anggota legislatif (caleg) tertentu untuk kepentingan individu. Itu misalnya, menyampaikan kepada masyarakat yang memperoleh dana bansos bahwa pencairan itu atas perjuangannya.

Mengacu hasil riset Lembaga Penyelidikan Ekonomi dan Masyarakat Universitas Indonesia (Media Indonesia, 20/3/2014), seorang caleg DPR rata-rata mengeluarkan dana Rp1,18 miliar selama kampanye. Itu belum termasuk pengeluaran partai politik. Begitu pula caleg provinsi dan kabupaten/kota, dana yang digelontorkan tidak jauh berbeda. Malah ada yang lebih besar untuk kepentingan menyogok pemilih.

Sekiranya, sumber dana itu memang murni dana pribadi atau sumbangan yang dilegalkan undang-undang, tentu sah-sah saja. Itu karena memang ia yang membiayai kampanyenya. Namun, yang menjadi persoalan jika yang dipakai itu uang negara yang berbalut bantuan dana bansos, hibah, bahkan dengan membobol ABPD melalui berbagai cara.

Pengawasan Ketat

Mengacu banyaknya fakta yang terungkap dalam sidang pengadilan mengenai penyelewenngan dana bansos, perlu pengawasan ketat. Itu agar tidak menjadi preseden setiap mendekati pemilu.

Hal tersebut karena dana bansos ditujukan untuk rakyat, yang secara sosial membutuhkan. Ini memang mudah dijadikan sasaran empuk untuk membiayai kampanye partai politik. Indikasinya dapat dilihat dari setiap mendekati pileg, bahkan pemilihan kepala daerah (pilkada), dana bansos dalam APBN dan APBD selalu ditingkatkan.

Dari sepuluh kementerian yang mendapat dana bansos, delapan di antaranya dipimpin menteri dari kader partai politik. Lima kementerian ternyata menterinya terdaftar sebagai caleg. Mereka adalah Menteri Koperasi dan UKM Sjarif Hasan, Menteri Pemuda dan Olahraga Roy Suryo, Menteri Pertanian Suswono, Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi Muhaimin Iskandar, dan Menteri Problem Daerah Tertinggal Helmy Faishal (Sinar Harapan,16/11/2013).

Rakyat menyambut baik peningkatan dana bansos karena memang begitu banyak rakyat di negeri ini yang sangat membutuhkannya. Menurut Badan Pusat Statistik (BPS), pada 2013, penduduk miskin dengan pengeluaran per kapita tiap bulan di bawah garis kemiskinan lebih dari 28,07 juta orang.

Mereka inilah yang layak mendapat dana bansos. Bukannya dana itu malah dijadikan bancakan untuk kepentingan pesta demokrasi. Kalau ada kepala daerah, caleg, dan partai poliitik yang memanipulasi dana bansos untuk kampanye pemilu, berarti korupsi dana bansos itu sudah dicita-citakan secara sistematis.

Memanipulasi dana bansos, meskipun Peraturan Menteri Dalam Negeri (Permendagri) Nomor 32/2011 yang diubah dengan Permendagri Nomor 39/2012 tentang Pedoman Pemberian Dana Hibah dan Bansos yang Bersumber dari APBD, menutup ruang penyelewengan, tetap saja bisa dibobol.

Pengelolaan dana di daerah tidak maksimal lantaran kepala daerah yang memegang partai politik ikut bermain.

Padahal, dana bansos adalah pemberian uang atau barang dari pemerintah kepada individu, keluarga, kelompok dan/atau masyarakat dalam periode tertentu. Itu diperoleh dari pajak dan hasil bumi. Tentu saja dana ini tidak boleh dimanipulasi, seolah-olah diberikan karena jasa kepala daerah. Bansos harus diberikan secara selektif. Ini untuk melindungi masyarakat dari kemungkinan risiko sosial.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar