Kamis, 03 April 2014

Diktator Konstitusional Vs Kudeta Konstitusional

Diktator Konstitusional Vs Kudeta Konstitusional

Soleman B Ponto  ;   Kepala Badan Intelijen Strategis TNI 2011-2013
MEDIA INDONESIA, 03 April 2014
                                      
                                                                                         
                                                             
“Lebih baik mengabaikan perintah diktator konstitusional, yang memerintah di luar kewenangannya daripada harus menghadapi kudeta konstitusional.”

TAHUN 2014 menjadi tahun anomali bagi hukum ketetanegaraan kita. Hal itu disebabkan Mahkamah Konstitusi (MK) yang telah melakukan keputusan yang aneh bin ajaib. Pada 23 Januari 2014, MK memutuskan bahwa Undang-Undang No 42/2008 tentang Pemilihan Umum Presiden dan Wakil Presiden bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum yang mengikat. Sehingga pemilihan umum harus dilaksanakan serentak. Namun, aneh tapi nyata, undang-undang (UU) yang telah dinyatakan bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum yang mengikat itu oleh MK dinyatakan masih dapat dipakai pada pelaksanaan Pemilu 2014.

Atas hal itu, penulis telah memberikan analisisnya dan menjadi wacana publik akan risiko munculnya kaos akan `legalitas' pelaksanaan Pemilu 2014 sehingga dengan sejumlah argumen hukum penulis katakan; keputusan MK yang tidak dijalankan pada Pemilu 2014 tersebut memberi `peluang kudeta konstitusional' bagi TNI.

Bukan kewenangan

Pasal 24C ayat (1) UUD 1945 dinyatakan MK berwenang; pertama, mengadili pada tingkat pertama dan terakhir yang putusannya bersifat final untuk menguji UU terhadap UUD. Kedua, memutus sengketa kewenangan lembaga negara yang kewenangannya diberikan oleh UUD. Ketiga, memutus pembubaran partai politik (parpol), dan keempat memutus perselisihan tentang hasil pemilihan umum.

MK telah melaksanakan tugasnya dengan baik, yakni menguji UU No 42/2008 dan menyatakan bertentangan dengan UUD 1945. Yang menjadi masalah dan aneh ialah putusan kedua MK yang menyatakan amar putusan tersebut berlaku untuk penyelenggaraan Pemilu 2019 dan pemilu seterusnya. Artinya, dalam pandangan penulis, MK telah menyatakan waktu pelaksanaan UU. Padahal, itu tidak ada dalam kewenangan MK.

Tiga bulan setelah memberi putusan aneh atas pengajuan judicial review atas tuntutan Effendi Gazali sebagai representasi Koalisi Masyarakat Sipil untuk Pemilu Serentak seperti dijelaskan sebelumnya, pada 20 Maret 2014, MK kembali memberikan keputusan yang ajaib terhadap pengajuan judicial review Yusril Ihza Mahendra terhadap UU yang sama dengan yang diajukan Effendi Gazali (UU No 42/2008), tapi pada pasal yang berbeda. Dalam uji materinya, Yusril mempersoalkan tentang presidential threshold dan jadwal pelaksanaan pemilihan presiden (pilpres) tiga bulan setelah pemilihan legislatif.

Atas hal itu, MK menyatakan (1) Permohonan pemohon untuk menafsirkan Pasal 4 ayat (1) dan Pasal 7C, dikaitkan dengan Pasal 22E ayat (1), ayat (2) dan ayat (3) dan penafsiran Pasal 6A ayat (2) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 tidak dapat diterima; (2) Menolak permohonan pemohon untuk selain dan selebihnya.

Berani dan tidak berani

Jika mencermati pada dua fenomena itu, tentu menjadi sangat ironis kondisi institusi bernama MK. Di satu sisi, ketika memutuskan tuntutan Effendi Gazali, MK begitu berani, bahkan di luar kewenangannya untuk menyebutkan masa berlakunya putusan tersebut. Padahal, sekali lagi, penentuan waktu bukanlah wilayah MK. Di sisi lain, ketika memutuskan tuntutan Yusril, MK menjadi institusi yang tidak berani dan tidak menggunakan wewenangnya sebagaimana Pasal 24C ayat (1) UUD 1945. Dengan kata lain, MK telah melanggar UUD 1945.

Di sinilah wibawa MK yang menjadi penafsir tunggal konstitusi dipertanyakan. Keberadaan MK yang seyogianya memberikan kepastian terhadap problem hukum justru menjadi pusaran masalah. Apalagi UU yang diujikan ialah yang menyangkut hidup dan hak orang banyak. Kita bisa menyaksikan di sejumlah negara lain yang gara-gara pemilunya amburadul, tatanan sosial, politik, dan ekonomi menjadi kacau dan berantakan. Indonesia tentu tidak ingin seperti itu. Namun, bagaimana jika kaos terjadi akibat ketidakjelasan dasar hukum?

`Runtuhnya' MK menjadikan institusi TNI sebagai benteng terakhir penjaga UUD 1945. Dalam sumpah prajurit di hadapan Tuhan dinyatakan bahwa setiap anggota TNI akan setia kepada pemerintah yang berdasarkan pada Pancasila dan UUD 1945 serta tunduk kepada hukum. Pasal 7 ayat 2 UU No 34 Tahun 2004 tentang TNI menyebutkan, `Tugas pokok TNI adalah menegakkan kedaulatan negara, mempertahankan keutuhan wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia yang berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, serta melindungi segenap bangsa dan seluruh tumpah darah Indonesia dari ancaman dan gangguan terhadap keutuhan bangsa dan negara'.

Sangat jelas positioning TNI yang akan dan harus berpihak kepada pihak yang mendukung pelaksanaan UUD 1945. Dengan demikian, TNI dapat melaksanakan kudeta terhadap pemerintah yang tidak konstitusional. TNI menjadi palang pintu terakhir dalam mempertahankan UUD 1945. Karena itu, tidaklah salah apabila TNI melakukan kudeta untuk tegaknya konstitusi, atau `kudeta konstitusional' untuk menegakkan konstitusi dan atas perintah konstitusi.

Nah, agar hal itu tidak terjadi, putusan MK harus dilaksanakan sekarang juga dan jangan ditunda sampai 2019, karena itulah yang konstitusional. Lebih baik mengabaikan perintah diktator konstitusional, yang memerintah di luar kewenangannya daripada harus menghadapi kudeta konstitusional. Karena jika tetap `dipaksakan', akan menjadi dosa besar bagi penyelenggara negara dalam hal ini pemerintah dan KPU. Guna menjembatani hal itu, lebih baik melakukan kompromi politik ketimbang melanggar konstitusi.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar