Kamis, 03 April 2014

Moratorium Iklan Politik

Moratorium Iklan Politik

Danang Sangga Buwana  ;   Komisioner Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) Pusat
KOMPAS, 02 April 2014
                                      
                                                                                         
                                                             
Kesepakatan Bersama moratorium iklan politik telah ditandatangani Komisi Pemilihan Umum, Badan Pengawas Pemilu, Komisi Penyiaran Indonesia, dan Komisi Informasi Pusat pada Jumat, 28 Februari lalu. Poin pertama meminta Lembaga Penyiaran dan partai politik menghentikan penyiaran iklan politik sebelum masa kampanye 16 Maret hingga 5 April mendatang.

Kesepakatan itu sebagai tindak lanjut rapat dengar pendapat dengan Komisi I DPR RI menyoal curi start iklan kampanye dan iklan politik televisi sebelum jadwal berlaku. Namun, kesangsian mengemuka.

Meski progresif, moratorium dinilai telat. Moratorium juga dinilai kontradiktif dengan pendidikan politik dan menghambat sosialisasi parpol kepada konstituen.
Sebelumnya, Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) telah melarang iklan politik televisi melalui Surat Edaran No 101/ 2014 tentang Penyiaran Iklan Politik; dan Surat Keputusan No 45/2014 tentang Petunjuk Pelaksanaan terkait Perlindungan Kepentingan Publik, Siaran Jurnalistik, Iklan dan Pemilu.

KPI telah memberikan sanksi program yang terindikasi iklan terafiliasi kepentingan politik pemilik media. KPI telah menjawab keraguan publik atas stigma ketidaktegasan menindak iklan politik layar kaca.

Meski KPI telah tegas, iklan politik masih berseliweran di televisi. Kewenangan KPI yang sebatas pada ”penghentian sementara” program menjadi problem serius ketaatan Lembaga Penyiaran (LP) terhadap regulasi isi siaran.

Data KPI sejak 1 hingga 22 Februari 2014, iklan politik 11 televisi nasional berjumlah 3.201 buah, dengan rincian: ANTV (427 iklan), TVOne (447 iklan), RCTI (425 iklan), MNCTV (340 iklan), Global TV (320 iklan), Indosiar (85 iklan), SCTV (134 iklan), Trans7 (323 iklan), TransTV (330 iklan), TVRI (92 iklan), dan MetroTV (278 iklan).

Pendidikan politik

Karena disajikan melalui ”realitas kemasan”, iklan politik tak lantas merepresentasi pendidikan politik. Iklan lebih menonjolkan citra dan bujuk rayu parpol mencari simpati rakyat.

Mengutip Simons (2000: 81-103), iklan justru mendistorsi komunikasi politik dan memiskinkan nalar publik. Iklan politik menciptakan dan membentuk cita rasa lewat serangkaian representasi visual dan naratif.

Pihak-pihak yang terlibat dalam panggung politik menjadi agensi periklanan, dari skala kecil hingga skala besar.

Meminjam Baudrillard (1983), iklan menciptakan suatu hiperrealitas demokrasi, yakni penghapusan realitas sesungguhnya dan menciptakan realitas semu dalam kehidupan politik dengan janji.

Sejatinya pendidikan politik dapat diwujudkan melalui iklan layanan masyarakat (ILM) tentang pentingnya partisipasi masyarakat dalam pemilu, cara mencoblos yang benar, dan segala bentuk teknis menekan angka golongan putih.

Pendidikan politik dapat diimplementasi melalui tayangan stimulatif atas apresiasi kritis publik terhadap pemilu dan sistem politik, bukan rayuan iklan politik.

Momentum Pemilu 2014 telah mempersatukan dua rezim kuasa: televisi dan parpol. Televisi beroperasi di domain kognisi pemirsa.

Ia menjadi ”mesin reproduksi makna” melalui kreativitas tayangan, mengarahkan pemirsa membenarkan apa yang dikatakan, sekaligus menyediakan multimakna dalam merekonstruksi pesan tersembunyi, yakni peningkatan elektabilitas suara peserta pemilu.

Politik representasi dibutuhkan parpol, diwadahi oleh televisi, bergerak ke pemirsa secara hegemonik.

Spirit moratorium iklan politik layak dinilai konstruktif bagi tegaknya demokrasi dan sistem politik nasional.

Selain sebagai tafsir progresif terhadap definisi ”iklan kampanye” dan jembatan atas dilema nihilnya ”iklan politik” dalam regulasi, moratorium wujud keberanian menegakkan etika politik di arus hegemoni media dan kuasa parpol.

Meskipun hanya sementara, moratorium beranalogi sebagai jurisprudensi bagi kebijakan pemilu di masa mendatang. Moratorium kuat secara politik karena legitimasi publik.

Terapi kejut

Moratorium ibarat ”terapi kejut” bagi LP dan parpol. Terapi menyembuhkan sakit politik. Bahwa untuk mencari simpati rakyat pada tiap perhelatan pemilu, tak seharusnya mengeksploitasi frekuensi publik.

Bahwa frekuensi publik dititipkan kepada LP, tak layak disalahgunakan untuk kepentingan politik para pemilik media dan kelompoknya.

Bahwa amanat UU Penyiaran No 32/2002 Pasal 3 memandatkan penyiaran harus diselenggarakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat melalui program tayangan cerdas, edukatif, jernih, jujur, informatif, demi terciptanya masyarakat mandiri, demokratis, adil, dan sejahtera.

Bahwa perkawinan antara kuasa media dan kuasa parpol yang tak terkontrol akan mengancam masa depan demokrasi bangsa ini.

Bawaslu, KPU, KPI, dan Komisi Informasi Pusat (KIP) menyadari berada di arus kuasa media (mediacracy) dan kuasa politik. Keduanya berjalan dalam sistem dominasi kepemilikan dan oligarki kekuasaan.

Jika tidak tegas, kedaulatan demokrasi dan sistem politik akan disetir oleh rezim media, ditunggangi oleh kepentingan politik dan modal.

Ketiadaan kontrol kepentingan parpol mengancam kedaulatan demokrasi, ketiadaan netralitas pemilik televisi mengancam kedaulatan frekuensi.

Lantas, masihkah kita membiarkan hegemoni media dan oligarki politik mengancam masa depan demokrasi bangsa ini?

Tidak ada komentar:

Posting Komentar