Rabu, 02 April 2014

Dilema Dosen Doktor Kita

Dilema Dosen Doktor Kita

Sudaryanto  ;   Dosen Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia FKIP
Universitas Ahmad Dahlan, Yogyakarta
HALUAN, 02 April 2014
                                      
                                                                                         
                                                             
Di sebuah kantin Muslim di pojok Kota Nanning, Jumat (21/3) lalu, penulis terlibat obrolan menarik. Sembari menanti makanan terhidang di meja kami, seorang sahabat yang kini sedang menjadi kandidat doktor berkomentar, “Sekarang banyak doktor yang ‘dimandulkan’.” Saya tertegun lama menyimak komentar ini. Benarkah para doktor kita “mandul”? Apa dan siapa yang menjadi penyebab dari “pemandulan” itu?

Meraih gelar doktor merupakan impian bagi banyak dosen, termasuk penulis. Namun, untuk berhasil meraih gelar akademik tertinggi itu, tak sedikit kendala yang harus siap dihadapi. Di kolom ini (Haluan, 15/3/2014), saya pernah menulis berbagai permasalahan dosen saat akan dan/atau sedang studi lanjut di dalam dan luar negeri. Kini, permasalahan lainnya muncul setelah studi lanjut dilewati dan gelar akademik diraih.

Saya catat tiga hal yang menjadi penyebab kenapa banyak dosen doktor kita menjadi   “mandul”. Pertama, padatnya jadwal mengajar para dosen doktor kita se­pulangnya mereka dari studi lanjut. Kedua, para dosen doktor kita diberikan jabatan struktural di kam­pus sehingga lebih banyak berkutat dengan urusan administrasi. Dan ketiga, kebanyakan dosen doktor kita jarang mengambil beasiswa pascadoktoral. Mari kita kupas satu per satu!

Tiga Penyebab

Penyebab pertama ialah padatnya jadwal mengajar para dosen doktor kita. Awalnya, mereka hanya mengajar maha­siswa S-1 dan membimbing penulisan skripsi. Kini, para dosen doktor kita mengajar maha­siswa S-1 dan S-2, membimbing penulisan skripsi dan tesis, serta mulai menjadi ko-promotor bagi mahasiswa S-3. Bisa Anda bayangkan, betapa padatnya jadwal mengajar dan bim­bingan tugas akhir yang harus ditangani oleh dosen doktor kita.

Belum lagi jika dosen doktor kita nyambi mengajar di program pasca­sarjana kampus lainnya. Entah sebagai pengajar tamu, atau ko-promotor bagi mahasiswa S-3. Lewat beberapa brosur program pasca­sarjana di Indonesia yang saya peroleh, ada beberapa nama dosen doktor yang mengajar di program pasca­sarjana kampus lain, selain di kampusnya sendiri. Apapun alasannya, hal ini tetap perlu diperhatikan oleh pimpinan kampus, khususnya bidang akademik.

Penyebab kedua ialah para dosen doktor kita diberikan jabatan struktural di kampus sehingga lebih banyak berkutat dengan urusan administrasi. Anda bayangkan, dosen yang berjabatan kepala program studi (kaprodi) harus mengikuti banyak rapat, meng­urusi akreditasi prodi, meng­hadiri yudisium mahasiswa, dan sebagainya. Pendek kata, jabatan struktural di kampus menyebabkan dosen doktor kita berurusan dengan hal-hal administrasi.

Saya mengenal baik beberapa dosen yang memiliki pemikiran cerdas dan kritis. Bahkan, mereka pun telah bergelar doktor. Namun, sepulangnya dari studi lanjut, mereka langsung diberikan jabatan struktural oleh pihak kampus. Ada yang menjabat wakil dekan, kaprodi, hingga sekretaris prodi (sekprodi). Akibatnya, sebelum sempat menulis buku, melakukan riset terapan, dan sebagainya, mereka ibarat sekuntum bunga yang layu sebelum berkembang.

Penyebab ketiga ialah kebanyakan dosen doktor kita jarang mengambil beasiswa pascadoktoral, padahal beasiswa tersebut jumlahnya sangat berlimpah. Hal ini disebabkan oleh dua hal di atas, yaitu padatnya jadwal mengajar dan adanya pemberian jabatan struktural di kampus. Alhasil, jangankan mengambil beasiswa pasca­doktoral, menulis buku atau artikel jurnal pun agak sulit. Untuk itu, pimpinan kampus perlu cermat dalam melihat masalah yang satu ini.

Menurut saya, pimpinan kampus dapat memberlakukan aturan bahwa dosen doktor didorong untuk mengambil beasiswa pasca­doktoral, terutama ke luar negeri. Dalam hal ini, pihak wakil rektor bidang akademik, SDM, dan kerja sama internasional perlu bersinergi untuk mencarikan beasiswa pascadoktoral bagi para dosennya. Misalnya, mengirimkan dosen doktor ke kampus-kampus di luar negeri yang telah menjalin kerja sama dengan kampus tersebut.

Tak Kenal Henti Belajar

Jika ada pihak yang bertanya, kami ini hanya lulusan doktor dalam negeri, apakah bisa mengambil beasiswa pascadoktoral? Saya langsung menjawab, bisa saja! Contohnya, Dr Zainal Arifin Mochtar, dosen Fakultas Hukum UGM sekaligus Ketua Pusat Kajian Anti­korupsi (Pukat) UGM. Dia merupakan lulusan doktor dari FH UGM, dan kini tengah mengambil studi pascadoktoral di Jepang. Jadi, tak ada salahnya untuk mengikuti jejak Dr Zainal tersebut.

Yang terpenting ialah, bahwa seorang dosen doktor harus memiliki filosofi “belajar sepanjang hayat”. Artinya, setelah menempuh studi doktoral, ia diharapkan tak kenal henti untuk belajar, belajar, dan belajar. Disertasi yang ditulisnya selama studi doktoral tidak lantas dianggap sebagai karya puncak. Alih-alih begitu, justru dosen doktor harus mengembangkan temuan (teori) disertasinya ke dalam karya-karya dan penelitian lainnya.

Misalnya, karya disertasi diwujudkan ke dalam bentuk buku dan/atau artikel jurnal ilmiah terakreditasi. Tak henti di situ, dosen doktor perlu juga melakukan pre­sen­tasi ilmiah di beberapa forum nasional dan bahkan internasional. Sekadar contoh, FBS Unnes tiap tahun mengadakan kuliah profesor dan doktor. Melalui acara itu, FBS Unnes ingin mendorong agar para doktor dan profesor terus belajar dan mem­perkaya bidang keilmu­annya masing-masing.

Penulis yakin, seorang dosen doktor dan profesor yang baik dan berkualitas tentu memiliki semangat belajar yang tinggi. Bagi mereka, belajar itu merupakan panggilan mulia bagi seorang pengajar. Tak ada kata berhenti belajar dalam kamus hidup mereka. Atau, dengan kata lain, seorang pengajar harus mewajibkan dirinya untuk belajar. Tanpa belajar, seorang pengajar tak layak menyebut dirinya sebagai pengajar. Hal ini berlaku bagi guru ataupun dosen.

Sebagai penutup, saya nukilkan pepatah Latin dari buku Menyemai Karakter Bangsa karya Dr Yudi Latif, yang berbunyi: “Debita ab erudite quoque libris reverentia” (Kehormatan orang terpelajar berasal dari buku). Dosen doktor dan profesor merupakan orang-orang terpelajar dan memiliki kedudukan mulia. Kemuliaannya itu bersumber dari ilmu yang diasahnya, dikembangkannya, dan dibagikannya kepada banyak orang. Mari kita lebih tekun belajar, Bung Doktor!

Tidak ada komentar:

Posting Komentar