Kamis, 03 April 2014

Mengatasi Masalah Sosial di Jakarta

Mengatasi Masalah Sosial di Jakarta

Sabam Sirait  ;   Politikus Senior
MEDIA INDONESIA, 02 April 2014
                                      
                                                                                         
                                                             
“Memang setiap kebijakan politik pastilah tidak bisa menguntungkan atau mengenakkan semua pihak.”

SUDAH beberapa kali bacali saya di media massa, Jokowi-Ahok mengeluhkan soal susahnya mengatasi berbagai masalah sosial di Jakarta, seperti permukiman liar di bantaran sungai atau di pinggir waduk, pedagang kaki lima yang berdagangan di sembarang tempat, masalah pengemis dan gelandangan, kriminalitas, dan lain-lain. 

Hal ini sebenarnya bukanlah soal baru. Pertengahan 1950-an, masalah-masalah sosial itu juga telah terjadi di ibu kota negara ini. Saya masih ingat beberapa kali melintasi kawasan permukiman kumuh di Sawah Besar, Jelambar, dan Tanah Abang. Berdasarkan catatan pemerintah Kota Jakarta, pada 1957 sekitar 275 ribu warga tinggal di rumah-rumah tidak sehat dan 80 ribu orang di antaranya tinggal dalam kondisi yang sangat padat.

Di kampung-kampung kumuh dan padat penduduk tersebut, warga setempat juga masih memasak menggunakan kayu bakar. Karena kurang hati-hati sering kali terjadi kebakaran hebat. Pada 1952, misalnya, di Kampung Krekot Bunder di Jakarta Pusat kebakaran besar memusnahkan 600 rumah dan mengakibatkan sekitar 10 ribu orang kehilangan tempat tinggal. Beberapa tahun kemudian terjadi pula kebakaran besar di Kelurahan Tanah Tinggi. Pada 1962, dalam sebuah koran, secara resmi dilaporkan terjadi 183 kebakaran yang melalap 5 ribu lebih rumah dan mengakibatkan sekitar 45 ribu orang kehilangan tempat tinggal.

Penyebab utama meledaknya berbagai masalah sosial ini adalah pesatnya pertambahan penduduk Jakarta. Pada 1948, penduduk Ja karta tercatat 823 ribu jiwa. Empat tahun kemudian meningkat dua kali lipat lebih menjadi 1,782 juta. Kemudian meningkat lagi menjadi 3,813 juta jiwa pada 1965. Pada 1980, hasil sensus penduduk menunjukkan warga Jakarta sudah 6,5 juta. Berdasarkan data Biro Pusat Statistik (BPS) pada 2011, jumlah penduduk Jakarta adalah 10.187.595 jiwa. Namun, pada siang hari, angka tersebut bertambah seiring hadirnya para pekerja dari Bekasi, Tangerang, Bogor, dan Depok.

Sulit beradaptasi

Penyebab pertumbuhan penduduk Jakarta tersebut adalah urbanisasi. Gelombang urbanisasi itu memberi tekanan yang teramat berat terhadap fasilitas-fasilitas kota yang kurang dipersiapkan dengan terencana. Sebagian besar populasi yang bertambah adalah penduduk miskin yang tidak mampu beradaptasi dengan kehidupan metropolitan. Kemudian, masalah yang paling terasa lagi-lagi adalah kekurangan perumahan atau permukiman. Karena itu, semakin banyak kawasan permukiman liar, terutama di sepanjang bantaran sungai, di pinggiran rel kereta api, dan di sekitar pasar-pasar tradisional.

Gubernur-gubernur Jakarta di masa Orde Lama kurang berhasil menangani atau mengelola masalah pertambahan populasi penduduk tersebut. Barulah ketika Ali Sadikin menjadi gubernur DKI Jakarta masalah sosial ini ditangani dengan serius dan sistematis. Bang Ali memulainya dengan mempromosikan program keluarga berencana untuk mengurangi tingkat kelahiran. Namun, program itu kurang disukai masyarakat Jakarta. Kemudian Bang Ali mencoba kebijakan lain, yaitu transmigrasi. Namun, program ini pun gagal. Selama enam tahun (1971-1977) jumlah penduduk yang menjadi transmigran tercatat tak sampai 3.000 orang.

Solusi yang lebih menggemparkan adalah kebijakan Bang Ali yang menyatakan Jakarta sebagai `kota tertutup' bagi para pendatang. Pada 1970, Gubernur Jakarta itu mengumumkan, semua warga Jakarta harus membawa kartu tanda penduduk (KTP), dan hanya mereka yang dapat membuktikan identitasnya sebagai penduduk tetap yang diizinkan tinggal di Jakarta. Meski pada awalnya kebijakan ini cukup ditakuti, terbukti kemudian kebijakan tersebut tidak terlalu berdampak. Praktik pemalsuan KTP menjadi marak dan banyak penduduk Jakarta yang menampung para pendatang baru--yang kebanyakan adalah sanak-keluarga mereka sendiri (Blackburn: 2011).

Akhirnya, Gubernur Ali Sadikin tidak lagi berusaha menghalangi para pendatang, tetapi menerapkan kebijakan untuk mengatasi masalah permukiman. Ia pun menerapkan kebijakan yang mengombinasikan perbaikan kampung dan pengurangan elemen-elemen yang tidak diinginkan dari sektor informal. Program perbaikan kampung--yang kemudian dikenal luas sebagai Proyek MHT (Muhamad Husni Thamrin) itu terbilang sukses mengatasi sebagian masalah permukiman di Jakarta, termasuk membangun sejumlah perumahan siap huni (perumnas) di pinggiran kota.

Butuh ketegasan

Di sisi lain, Bang Ali juga bersikap tegas dalam mengatasi berbagai masalah sosial di Jakarta. Rumah-rumah liar di bantaran sungai dan bantaran rel kereta api, satu per satu, digusur paksa. Ia juga melarang becak--yang dianggap sebagai biang kemacetan di Jakarta--sebagai alat transportasi di perkotaan. Razia pedagang kaki lima, gelandangan, dan pengemis juga kerap dilancarkan untuk menertibkan kawasan publik di Jakarta.

Ketika itu, sebagai seorang politikus, saya kadang berseberangan dengan kebijakan Gubernur Ali Sadikin. Terutama dalam kasus kasus pembebasan lahan atau penggusuran yang memakai cara-cara kekerasan. Dalam hal pelarangan becak, tidaklah bisa dilakukan secara serentak, tapi mestinya harus secara bertahap. Karena saat itu, di Jakarta, setidaknya ada 150 ribu becak. Kalau dikayuh untuk dua shift sehari, becak itu menyediakan pekerjaan untuk sekitar 300 ribu orang. Jika seorang tukang becak menghidupi rata-rata tiga anggota keluarga, ada 1,2 juta orang yang bergantung pada keberadaan becak.

Sikap serupa juga sering saya sampaikan kepada Gubernur Jokowi dan Wagub Basuki Tjahaja Purnama (Ahok). Boleh-boleh saja bersikap tegas dalam menghadapi para pemukim liar ataupun pedagang kaki lima, tetapi sedapat mungkin jangan memakai cara-cara kekerasan. Memang setiap kebijakan politik pastilah tidak bisa menguntungkan atau mengenakkan semua pihak. Saya lihat, kebijakan yang diambil Jokowi-Ahok sampai saat ini masih dalam jalur yang benar alias on the track.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar