Kamis, 03 April 2014

Anas dan Kejahatan Pemilu 2009

Anas dan Kejahatan Pemilu 2009

Bambang Soesatyo  ;   Anggota Timwas Bank Century DPR,
Presidium Nasional KAHMI 2012-2017
SUARA MERDEKA, 03 April 2014
                                      
                                                                                         
                                                             
"SBY cukup memanggil ketua dan anggota KSSK serta pimpinan LPS pada waktu itu, untuk mempertanyakan"

MANTAN ketua umum Partai Demokrat, Anas Urbaningrum, mulai menguak misteri Rp 6,7 triliun lebih gelembung dana talangan atau bailout Bank Century. Data yang diungkap Anas kepada penyidik KPK layak memunculkan kesimpulan sementara bahwa ada kekuasaan di atas Komite Stabilisasi Sistem Keuangan (KSSK) yang patut diduga menunggangi keputusan menyetujui dana talangan sebesar itu.

Penggelembungan dana talangan tersebut akan menjadi misteri bila pemerintah c.q. KSSK, Lembaga Penjamin Simpanan (LPS), bersama Bank Indonesia (BI) terus menolak mempertanggungjawabkannya. Hingga hari ini belum satu pun dari tiga institusi itu bersedia menjelaskan.

Ketika diperiksa penyidik KPK, Anas memberi indikasi tentang penggunaan dana bailout itu untuk membiayai kegiatan politik tahun 2009. Dia mengungkap hasil audit akuntan independen tentang penerimaan/pengeluaran dana kampanye Partai Demokrat dalam Pilpres 2009, dengan total sumbangan Rp 232 miliar.

Kecurigaan Anas mengingat ada donatur individu atau korporasi yang identitasnya dipalsukan. Artinya, identitas donatur tersebut terdaftar, namun mereka mengaku tidak menyumbang dana kampanye. Kejanggalan profil donatur partai tersebut mengindikasikan adanya operasi lain yang menunggangi keputusan KSSK menyetujui dana bailout.

Ketua (waktu itu) KSSK Sri Mulyani dan anggota (saat itu) Boediono sudah menegaskan bahwa dana bailout  yang disetujui KSSK hanya Rp 632 miliar. Keduanya pun siap mempertanggungjawabkannya. Persoalannya, mengapa bisa membengkak sampai triliunan rupiah?

Rupanya, selain rekomendasi KSSK untuk pencairan Rp 632 miliar, ada rekomendasi dari pihak lain kepada LPS untuk terus mencairkan, mendistribusikan, dan menggunakan dana LPS. Per 24 November 2008, pencairan dana LPS sudah Rp 2,7 triliun, dan  berlanjut hingga usai Pilpres Juli 2009, dengan total Rp 6,7 triliun. Sangat beralasan bila Sri Mulyani marah dan merasa dibohongi BI ketika pencairan bailout sudah mencapai angka Rp 2,7 triliun.

Wapres/Plt presiden waktu itu, Jusuf Kalla (karena SBY sedang keluar negeri) pun marah Ketika Sri Mulyani melaporkankan kepadanya. Sebelumnya, Wapres sudah ’’diisolasi’’ dari proses penyelamatan Century oleh BI dan KSSK. Tapi di luar perkiraan mengingat Jusuf Kalla membawa persoalan ini ke ruang publik, akhirnya kebijakan secara diam-diam menyelamatkan bank kecil itu menjadi pengetahuan umum.

Ketika pers menanyakan sebab-musabab gelembung dana talangan itu kepada mantan gubernur BI Boediono yang kini Wapres, dia langsung menunjuk LPS. Seperti tak mau dikambinghitamkan, LPS tak ragu sedikit pun membantah Boediono. Menurut LPS, jumlah yang dicairkan sesuai rekomendasi KSSK.

Di Luar Kontrol

Pertanyaannya, KSSK yang mana? Mengapa pula LPS nekat mencairkan bailout melampaui jumlah yang diputuskan Sri-Boediono? ’’Kenekatan’’ LPS dimungkinkan  karena perintah rahasia dari institusi di atas KSSK yang diketuai menkeu (waktu itu Sri Mulyani) dengan anggota gubernur BI (saat itu Boediono). Institusi di atas KSSK itu pastilah sangat powerful sehingga LPS pun tak berani menolak. Lalu, mengapa Sri Mulyani sebagai ketua KSSK terkaget-kaget dan hanya bisa marah? Pertama; ia mungkin sadar bahwa operasi pencairan dana di LPS itu telah diskenariokan sehingga di luar kontrol KSSK. Sangat mungkin terjadi karena pencairan dana itu tunduk pada kehendak pejabat/institusi yang wewenangnya lebih tinggi dari ketua/anggota KSSK. Tidak mengherankan pencairan dan pendistribusi dana Rp 2,7 triliun bisa dilakukan pada hari Sabtu dan Minggu ketika semua bank libur.

Sebelum ditangani penegak hukum, pemerintahan SBY-Boediono sebenarnya dapat  menunjukkan moral pertanggungjawaban. Caranya sederhana, SBY cukup memanggil ketua dan anggota KSSK serta pimpinan LPS pada waktu itu untuk mempertanyakan mengapa bisa terjadi penggelembungan dana talangan hingga demikian besar? Sayang, SBY-Boediono belum berinisiatif memperjelas masalah tersebut.

Mendakwa Budi Mulya dengan sejumlah tuduhan, termasuk merugikan perekonomian negara, belum cukup untuk menyembuhkan rasa keadilan rakyat, karena skandal Century menyimpan beragam kejahatan. Paling tidak, kejahatan korupsi dan kejahatan pemilu. Setelah Anas angkat bicara, inilah saatnya penegak hukum mempersoalkan pertanggungjawaban atas gelembung dana talangan itu dan pencucian uang untuk kepentingan politik pada Pemilu 2009.

Marilah kita belajar pada Afrika Selatan. Pejabat lembaga antikorupsi di negara tersebut telah meminta Presiden Jacob Zuma untuk membayar atau mengembalikan sebagian dana yang digunakan merenovasi rumah pribadinya. Sebelumnya, Zuma dituduh melanggar hukum karena menerima dana negara 23 juta dolar AS untuk memperbaiki rumah. Kalau Afrika Selatan bisa, mengapa institusi penegak hukum di Indonesia harus permisif?

Tidak ada komentar:

Posting Komentar