Jumat, 28 Maret 2014

Ban Serep

Ban Serep

M Subhan SD ;   Wartawan Senior Kompas
KOMPAS,  29 Maret 2014
                                      
                                                                                         
                                                      
KALAU ada benda yang paling berguna dipakai saat kondisi darurat, itu antara lain ban serep. Ketika ban-ban lain tidak berfungsi, ban serep-lah yang mengambil alih peran. Tetapi, kita tak sedang membicarakan onderdil kendaraan bermotor. Kita bicara soal politik. Dalam politik, sejak era Soeharto, ban serep menunjuk posisi wakil presiden.

Percaya atau tidak, dalam suksesi tahun 2014 ini, ban serep tampaknya menjadi komoditas paling laris, dibandingkan dengan jualan presiden. Bukan apa-apa, sejak Gubernur DKI Jakarta Joko Widodo (Jokowi) dicalonkan Ketua Umum PDI-P Megawati Soekarnoputri sebagai calon presiden dari PDI-P pada 14 Maret lalu, tiba-tiba ada sebagian pihak yang merasakan bahwa ”pemilihan presiden telah selesai”. Seolah-olah presiden periode 2014-2019 telah terpilih.

Ini tak lain karena Jokowi hampir selalu mendominasi bursa capres. Pada hampir setiap survei, elektabilitas Jokowi selalu berada di posisi tertinggi, melampaui tokoh-tokoh lain, seperti Prabowo Subianto (Gerindra), Aburizal Bakrie (Golkar), Wiranto (Hanura), Hatta Rajasa (PAN), Sutiyoso (PKPI), atau nama-nama lain semisal Jusuf Kalla, Mahfud MD, Rhoma Irama, Dahlan Iskan, dan tokoh lainnya yang sudah bersiap-siap terjun ke dalam bursa capres.

Barangkali satu-satunya hasil survei yang menunjuk Jokowi bukan di nomor satu adalah survei Pol-Tracking Institute yang melibatkan 330 profesor—sebagai tim penilai—dari 33 provinsi, sepekan silam. Survei itu mengunggulkan Jusuf Kalla sebagai tokoh yang memiliki kualitas dan kompetensi personal paling baik. Skor Jusuf Kalla 7,70. Jokowi di urutan kedua dengan skor 7,66, lalu Mahfud MD di tempat ketiga (skor 7,55).

Akan tetapi, survei itu tetap saja sulit membendung elektabilitas Jokowi yang selalu tinggi, yang menjadi modal politik dalam Pilpres 2014. Banyak pihak percaya Jokowi sepertinya sulit tertandingi. Jadi, ketika bursa capres diprediksi tak akan ramai lagi, hampir bisa dipastikan pertarungan sengit akan berubah. Posisi wapres kemungkinan besar akan menjadi rebutan banyak tokoh. Kelihatannya bukan kompetisi antarwapres, melainkan rebutan ingin dipasangkan dengan Jokowi. Rasa-rasanya sih, tidak sedikit tokoh partai atau politisi yang merapat ke PDI-P.

Jokowi dan PDI-P sekarang ini memang lagi di atas angin. Pasti banyak tokoh lain dan partai lain yang merapat ke mereka. Dulu yang jauh dengan PDI-P bisa jadi akan berdekat-dekatan. Namanya juga politik, antara kawan dan musuh bedanya tipis sekali, yang abadi adalah kepentingan. Kata ahli politik Harold Lasswell (1902- 1978), politics adalah who gets what, when, how. Karena di atas angin, PDI-P jangan sampai salah langkah lagi. Tahun 1999, PDI-P menang pemilu, tetapi justru tak berkuasa sebagai pemenang pemilu. Kalau terulang lagi, bukan tidak mungkin modal politik yang jelas berupa Jokowi sebagai calon presiden masa depan akan hilang kembali. Bisa-bisa, partai-partai lain beralih ke tempat lain. PPP sudah ”bersilaturahim” dengan Gerindra. Bahkan DPP PPP hadir dalam kampanye Gerindra di Gelora Bung Karno, Jakarta, Minggu lalu. Bisa jadi ada motif lain, namanya juga politik. Tetapi, bagaimanapun PDI-P mesti bermain cantik dan tidak besar kepala. 

Komunikasi politik harus dibangun secara anggun pula. Kalau merujuk pakar politik Jack Nagel, PDI-P mesti menguatkan jangkauan kekuasaannya (domain of power), bukan hanya ruang lingkup kekuasaan (scope of power).

Kembali ke soal ban serep, memang krusial pada suksesi tahun 2014 ini. Apalagi pola hubungan kerja presiden-wapres lebih sejajar dalam pilpres secara langsung. Zaman Soeharto, wapres memang ibarat ban serep. Contoh saja, katakanlah cuma urusan membuka atau meresmikan proyek. Memang, kekuasaan Soeharto sangat luas, dan tak pernah turun-turun dari kursi presiden sampai akhirnya ditumbangkan rakyat pada tahun 1998. Selama 32 tahun itu, wapresnya selalu berganti: Sultan Hamengku Buwono IX (1973-1978), Adam Malik (1978-1983), Umar Wirahadikusumah (1983-1988), Sudharmono (1988-1993), Try Sutrisno (1993-1998), dan BJ Habibie (Maret-Mei 1998).

Era Sultan HB IX sampai Adam Malik barangkali romantika perjuangan membuat hubungan presiden dan wapres lebih setara. Mereka sama-sama generasi 1945, yang merupakan generasi pembebas negeri ini. Soeharto-Sultan-Adam pernah jadi trio tokoh pada 1966. Peran Sultan sangat besar dalam sejarah Serangan Umum 1 Maret 1949 yang melambungkan nama Soeharto. Adam Malik yang energik adalah diplomat dan wartawan ulung. Sejak Umar sampai Try Sutrisno, sama-sama berasal dari militer. Ketika Soeharto menjadi Pangkostrad saat krisis tahun 1965, Umar adalah Pangdam V Jaya. Kalau Sudharmono, sejak 1965 dekat dengan Soeharto sehingga dipercaya menduduki posisi penting di kabinet dan memimpin Golkar. Try Sutrisno adalah mantan Panglima ABRI yang pernah menjadi ajudan Soeharto tahun 1974.

Namun, pada zaman Sudharmono, posisi wapres justru diberi tugas khusus, yaitu berupa pengawasan melekat (waskat), mengawasi birokrasi. Namun, era demokrasi langsung, orang kedua bukanlah ban serep yang dipakai hanya kondisi darurat. Karena sama-sama dipilih rakyat, wapres pun punya tanggung jawab yang jelas. 

Jadi, pembagian tugas, menjadi syarat utama. Contoh penting saat Jusuf Kalla mendampingi Presiden Susilo Bambang Yudhoyono periode 2004-2009. Kala itu Kalla sangat berperan dalam keputusan penting secara langsung seperti menangani perdamaian Aceh (RI dan GAM) atau bantuan langsung tunai. Saking aktifnya Kalla malah dijuluki the real president. Wapres Boediono tak setuju jika wapres disebut ban serep.

Tetapi, tahun 2014 ini jualan ban serep pasti laris. Juga jualan presiden karena pilpres pun belum dimulai. Tokoh-tokoh lain mesti berani bertanding, agar demokrasi tetap hidup.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar