Minggu, 30 Maret 2014

Mempersoalkan Istilah Cina

Mempersoalkan Istilah Cina

Muhammad Ilyasa  ;   Editor Penerbit Zikrul Hakim-Bestari, Jakarta
REPUBLIKA, 26 Maret 2014

                                                                                         
                                                             
Presiden Susilo Bambang Yudhoyono baru saja mengeluarkan Keppres No 12/2014 tentang penggantian istilah Cina menjadi Tionghoa atau Tiongkok.

Keppres ini melengkapi berbagai peraturan yang menyangkut WNI keturunan Cina yang terbit setelah reformasi 1998. Sebelumnya, Presiden BJ Habibie mengeluarkan Inpres No 26/1998 yang menghapuskan penggunaan istilah pribumi dan nonpribumi. 

Presiden Abdurrahman Wahid menerbitkan Keppres No 6/2000 yang membolehkan WNI keturunan Cina mengekspresikan kebudayaan mereka, termasuk menjalankan agama leluhur Konghucu. Presiden Megawati menerbitkan Keppres No 19/2002 yang menjadikan Imlek sebagai hari libur nasional. Sebelum Keppres No 12/2014 dikeluarkan, Presiden SBY juga menggulirkan wacana pembentukan Dit jen Konghucu pada Kementerian Agama.

Penerbitan berbagai aturan itu jelas memperlihatkan reformasi 1998 telah memberi angin segar bagi WNI keturunan Cina. Tegasnya, reformasi banyak memberi keuntungan bagi WNI keturunan Cina. Hal ini tentu menggembirakan. Namun, ketika dihadapkan pada kenyataan bahwa reformasi belum memberi manfaat apa-apa bagi WNI pribumi, ini tentu menyimpan potensi persoalan lain yang lebih rumit. Bagi WNI pribumi, reformasi diharapkan membawa perubahan pada tingkat kesejahteraan mereka. Namun, setelah 16 tahun reformasi, harapan itu tidak pernah terwujud.

Terbitnya berbagai aturan yang memihak WNI keturunan Cina itu memperlihatkan negara tidak sungguh-sungguh mencari jalan keluar terhadap persoalan hubungan antara WNI pribumi dan WNI keturunan. Mengapa? Penyelesaian yang dimunculkan hanya menyentuh permukaan, tidak memecahkan akar permasalah sesungguhnya. 

Dengan terbitnya berbagai peraturan itu, negara secara tidak langsung mengakui adanya disharmoni hubungan antara WNI pribumi dan WNI keturunan. Namun, akar persoalan yang menyebabkan disharmoni tersebut tidak pernah dicarikan jalan keluarnya. Akar persoalan sesungguhnya adalah terjadinya kesenjangan ekonomi yang sangat lebar antara WNI pribumi dan WNI keturunan.

Ketidakseriusan mencarikan solusi persoalan ini disebabkan berbagai peraturan itu diterbitkan tak lepas dari kepentingan politis penguasa. Pascareformasi, dukungan WNI keturunan selalu dibutuhkan oleh mereka yang sedang berkuasa maupun mereka yang ingin meraih kekuasaan. Hal ini karena kekuatan dan dominasi ekonomi WNI keturunan tak tertandingi kelompok mana pun sehingga meraih dukungan mereka sangat strategis bagi mereka yang berkepentingan dengan kekuasaan. Hal inilah yang dipersoalkan banyak pihak ketika SBY mengeluarkan Keppres dan memunculkan wacana Ditjen Konghucu tepat menjelang Pemilu 2014.

Isu diskriminasi

Pascareformasi 1998, setiap membicarakan WNI keturunan Cina yang selalu muncul adalah isu diskriminasi. WNI keturunan dikesankan merupakan kelompok yang terdiskriminasi secara masif di negeri ini. Isu ini terus diproduksi oleh WNI keturunan dan kelompok-kelompok tertentu untuk kepentingan WNI keturunan.

Bagi WNI pribumi, blow up isu ini terasa menyakitkan. Mereka mengetahui isu ini tidak benar. Logikanya, bagaimana mungkin terjadi diskriminasi kalau jumlah WNI keturunan yang cuma 3,7 per sen dari populasi penduduk Indonesia bisa menguasai ekonomi Indonesia hingga 70-80 persen. Yang terjadi sesungguhnya bukan diskriminasi, tapi pemberian privilege (hak istimewa) dari negara kepada WNI keturunan.

Diskriminasi justru terjadi kepada WNI pribumi. WNI pribumi sangat sulit memperoleh akses perbankan yang mensyaratkan agunan, banyak tempat usaha WNI pribumi yang secara sistemik beralih menjadi lahan usaha WNI keturunan, misalnya, pasar tradisional yang dibangun menjadi mal modern sehingga harganya mahal dan WNI pribumi tak mampu menyewa apalagi membelinya, kesulitan memperoleh pendidikan dan layanan kesehatan yang berkualitas, serta masih banyak lagi yang semuanya bersumber pada ketakberdayaan ekonomi WNI pribumi. Hal sebaliknya terjadi pada WNI keturunan, karena mereka memiliki kemampuan ekonomi yang besar, semua itu bisa diraih dengan mudah.

Yang lebih menyakitkan lagi, suara WNI keturunan tak pernah terdengar ketika kelompok mereka melakukan penyimpangan, misalnya, melakukan korupsi dalam skala besar kemudian buron ke luar negeri untuk menghindari hukuman. Pendiaman WNI keturunan terhadap masalah ini bisa ditafsirkan sebagai pengiyaan dan pembenaran tindakan penyimpangan tersebut. Sebaliknya, ketika negara mencoba membuka peluang berusaha bagi WNI pribumi, misalnya dengan redistribusi aset yang pernah digulirkan Menteri Koperasi Adi Sasono di era Presiden Habibie, suara-suara penentangan WNI keturunan nyaring terdengar.

Menganggap istilah Cina sebagai merendahkan dan diskriminatif yang nyaring disuarakan WNI keturunan bisa dibaca dalam konteks blow up isu diskriminasi ini. Apalagi di kalangan WNI keturunan sendiri banyak istilah khusus untuk menyebut WNI pribumi yang sangat merendahkan, misalnya fan-qui (manusia iblis) dan cou-qui (manusia jahat), yang biasa diucapkan antar-WNI keturunan dalam komunikasi sehari-hari. Sementara, sebutan Cina yang dilakukan WNI pribumi tidaklah merendahkan, bahkan bermakna pengakuan dan penerimaan keberadaan etnis ini dalam lingkungan mereka. Lihatlah, istilah petai cina, pacar cina, tahu cina, tinta cina, pecinan, dan sebagainya yang telah menjadi bagian kehidupan WNI pribumi. 

Sebutan ini juga mengacu kepada negeri asal mereka dan sudah menjadi kaidah internasional. Di dunia internasional, sebutan The People's Republic of China (RRC) dan Republic of China (Taiwan) sudah diterima secara umum. Sementara, istilah Tionghoa bersumber dari pembagian strata masyarakat oleh penjajah Belanda dan bermakna "orang yang berada di atas" untuk membedakan dengan warga pribumi yang berstrata lebih rendah.

Melihat peliknya persoalan WNI keturunan ini, mengganti istilah Cina menjadi Tionghoa jelas bukanlah sebuah solusi. Permasalahan tidak akan selesai hanya dengan munculnya istilah baru petai tionghoa dan petionghoan. Alih-alih menyelesaikan masalah, malah menimbulkan masalah baru karena penggantian istilah ini semakin memperkuat penilaian WNI pribumi bahwa WNI keturunan memang selalu diistimewakan.

Solusi satu-satunya terhadap masalah ini adalah pemberian kesempatan berusaha yang luas kepada WNI pribumi untuk memperbaiki perekonomian mereka, seperti yang dilakukan Malaysia lewat New Economic Policy-nya. WNI keturunan harus memandang ini bukan sebagai ancaman, justru untuk membangun harmoni antara kedua kelompok warga negara ini yang pada akhirnya akan memberi keuntungan bagi WNI keturunan pula.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar