Senin, 31 Maret 2014

Membaca Ulang Manifesto Komunis

Membaca Ulang Manifesto Komunis

Muhammad Zaki Arrobi  ;   Mahasiswa Fisipol
Universitas Gajah Mada (UGM), Yogyakarta
INDOPROGRESS, 19 Februari 2014
                          
                                                                                         
                                                             
DALAM rangka memperingati terbitnya Manifesto Komunis (selanjutnya disebut Manifesto), yang ditulis Karl Marx dan Friedrich Engels pada 21 Februari, saya ingin membagi pembacaan saya atas teks politik Marxis paling berpengaruh tersebut. Ketika Manifesto ditulis pada abad ke-19, benua Eropa sedang bergolak akibat reka cipta baru yang berakumulasi menjadi revolusi industri. Negara-negara di Eropa saat itu sedang mengalami transisi dari masyarakat feodal (feudal society) ke masyarakat kapitalis  (capitalist  society). Perubahan ini membawa implikasi sosial yang serius bagi masyarakat Eropa, seperti digusurnya kelas feodal oleh borjuis, mesinisasi, berkembangnya konsep private property right, hingga meluasnya akumulasi modal, yang menandai kemunculan peradaban baru produk pencerahan (renaissance) bernama ‘kapitalisme.’

Dalam konteks sosial-politik inilah, Manifesto  hadir untuk menjawab problem peradaban saat itu. Manifesto diawali dengan meromantisir, betapa hebatnya kekuatan ‘komunisme’ di Eropa, bahkan telah menjadi ‘hantu’ yang bergentayangan. Manifesto kemudian menarasikan sejarah kapitalisme modern di Eropa. Marx dan Engels dengan sangat baik membongkar akar historis serta menghubungkannya dengan berbagai penaklukan daerah koloni yang dilakukan oleh bangsa-bangsa Eropa.

Kapitalisme, meski tidak pernah disebut Marx dan Engels secara eksplisit, diakui keduanya sebagai produk zaman pencerahan (enlightenment) yang telah membawa banyak kemajuan bagi umat manusia dewasa ini. Kapitalisme, menurut Marx, telah menghapus sistem feodalisme yang sudah berusia ribuan tahun dan menggantinya dengan sistem yang lebih rasional. Secara terus terang, Marx banyak mengakui bahwa kapitalisme adalah produk peradaban yang belum pernah ada sepanjang sejarah umat manusia. Kapitalisme telah menghapus hubungan-hubungan paternalistik yang feodal dalam masyarakat, menghapus pola-pola perdagangan monopoli serta menggantinya dengan sistem perdagangan bebas yang rasional dan didasarkan pada hubungan-hubungan objektif serta perluasan pasar dengan hubungan produksinya sendiri. Namun, di samping semua ‘kebaikannya’ itu, kekuatan kapital menyimpan suatu sistem eksploitatif yang teramat besar. Kapital telah dengan subur melahirkan pabrik-pabrik industri di seantero negeri Eropa dan memproduksi tanpa ampun segala macam jenis komoditas. Bahkan kekuatan kapital inilah yang mendorong ditemukannya benua Amerika, dikelilinginya Tanjung Harapan di Afrika Selatan, penciptaan lapangan baru bagi borjuasi yang sedang tumbuh, munculnya pasar-pasar di Hindia Timur dan Tiongkok, kolonisasi atas Amerika, serta perdagangan dengan tanah-tanah jajahan.[1]

Sejarah umat manusia adalah sejarah perjuangan kelas. Sejak zaman pra-sejarah hingga zaman Eropa modern, sejarah selalu diwarnai oleh perjuangan antar kelas-kelas sosial dalam sebuah tatanan masyarakat. Di Roma purbakala terdapat kaum patrisir, kaum ksatria, kaum plebejer, kaum budak; pada Zaman Tengah ada kaum tuan feodal, kaum vasal, kaum tukang-ahli, kaum tukang-pembantu, kaum malang, kaum hamba; di dalam hampir semua kelas ini terdapat lagi tingkatan-tingkatan bawahan.[2]

Menurut Manifesto, tatanan masyarakat terbagi berdasarkan kedudukan sosialnya, antara kelas terdominasi (sub-ordinasi) dan kelas yang mendominasi (super-ordinasi). Namun, Manifesto melanjutkan, masyarakat borjuis hasil dari keruntuhan kelas feodal tidak menghilangkan kontradiksi kelas tetapi menciptakan bentuk-bentuk pertentangan baru dalam kelas-kelas sosial di masyarakat modern. Lebih jauh lagi, borjuasi telah menajamkan pertentangan kelas sehingga masyarakat mengerucut menjadi dua kelas sosial yang saling berhadapan, yakni kelas borjuasi dan kelas proletar. Kategorisasi kelas sosial ini didasarkan Marx pada kepemilikan alat produksi. Dalam konteks ini sebenarnya Marx sedang mengajukan salah satu prinsip berpikirnya yang paling penting dalam ‘membaca’ dunia, yakni prinsip materialisme historis. Materialisme historis pada dasarnya merupakan suatu filsafat sejarah, dimana karakteristik terpenting dari filsafat sejarah Marx ini adalah pentingnya suatu pendasaran empiris. Dengan perkataan lain, kontrol empiris dapat dan malahan harus digunakan untuk menentukan syarat-syarat objektif yang berlaku bagi berlangsungnya revolusi.

Materialisme sendiri merupakan cara berpikir yang bertitik tolak dari materi sebagai satu-satunya kenyataan; materi menjadi basis bagi perubahan sosial. Cara berpikir ini adalah hasil ‘perlawanan’ ideologis Marx atas filsafat idealisme Hegel yang dianggapnya bernuansa mistik dan hanya bisa menafsirkan dunia tanpa pernah mengubahnya. Serupa dengan konsep dialektika Hegel, materialisme Marx juga bersifat dialektis, namun ia menolak dialektika Hegel yang mengatakan bahwa keseluruhan perubahan terjadi secara terus menerus tanpa pernah ada yang memerantarainya.[3]

Manifesto lantas menjelaskan bahwa sesungguhnya pertentangan kelas borjuasi dan kelas proletar akan semakin menghebat. Akibat perluasan pasar, mesinisasi, penurunan upah secara besar-besaran, persaingan yang semakin menjadi-jadi di antara kaum borjuasi, dan krisis ekonomi yang diakibatkannya akan membuat kelas proletar semakin menderita. Dan bentrokan antara kedua kelas ini pun tak terhindarkan lagi, kelas proletar vis a vis kelas pemodal (borjuasi). Kaum proletar yang disengsarakan oleh para borjuasi akan mengorganisasi gerakan mereka di pabrik-pabrik, sekali-kali mereka akan menang, namun kembali kalah akibat pertentangan-pertentangan dalam kaum proletar sendiri. Serikat pekerja di sini menempati posisi yang penting, yaitu mengonsolidasikan kekuatan kaum proletar untuk menghadapi keserakahan borjuasi. Manifesto juga yakin akan ada fenomena ‘proletarianisasi’ sebagaimana dahulu terjadi proses borjuanisasi. Kaum proletar akan semakin meluas spektrum sosialnya karena menghebatnya penghisapan oleh kaum borjuasi. Lapisan rendahan dari kelas tengahkaum pengusaha kecil, tuan toko dan tukang riba umumnya, kaum pekerja-tangan dan kaum tanisemua ini berangsur-angsur jatuh menjadi proletariat, mereka akan ikut bersama kaum buruh pabrik melawan dominasi kaum borjuasi.

Untuk mencapai tujuannya, organisasi kaum proletar, menurut Manifesto harus bersinergi dengan gerakan kaum komunis. Di sini Manifesto mengatakan bahwa kaum komunis ini adalah unsur termaju dalam gerakan kelas pekerja dan karena itu berada dalam ‘satu jalur’ dengan perjuangan kaum proletar di seluruh dunia. Kaum komunis menginginkan suatu penghapusan hak milik kaum borjuasi dan mengembalikannya pada watak awalnya yang bersifat sosial. Dalam risalah ini, Marx dan Engels menganjurkan 10 program politik yang harus dijalankan oleh kaum proletar, berintikan perombakan total terhadap hak-hak milik dan persyaratan produksi borjuis. Langkah-langkah itu, misalnya, penghapusan hak milik tanah, penerapan pajak progresif berat, penghapusan hak waris, pemusatan kredit di tangan negara, penyitaan harta emigran, dan pendidikan gratis untuk semua anak.

Pada bagian terakhir risalahnya, Marx-Engels sedikit merangkum berbagai pandangan tentang sosialisme di dunia: mulai dari ‘sosialisme feodal’ di Inggris dan Prancis yang direpresentasikan dengan revolusi Prancis yang dianggap sebagai revolusi borjuasi nasional, ‘sosialisme borjuis atau sosialisme konservatif’ yang ingin menghapuskan kepemilikan hak individu namun dianggap ‘kurang radikal’ dan ‘menghinakan’ diri pada sistem gilda, hingga ‘sosialisme Jerman’ yang ia sebut sebagai ‘Sosialisme Sejati.’

Dari hasil pembacaan Manifesto, yang disusun oleh dua begawan sosialisme ilmiah ini serta sumber-sumber terkait lainnya, penulis ingin merefleksikan beberapa hal. Setidaknya ada tiga poin yang bisa diambil dari Manifesto untuk membaca realitas kontemporer. Di sini kita memaknai risalah tersebut bukan sebuah kitab suci yang selalu benar, melainkan sebagai sebuah ‘hasil pembacaan’ atas realitas sosial pada masa Marx dan Engels hidup. Pertama, tesis Marx bahwa kapitalisme akan melintasi batas-batas negara agaknya menemukan validitasnya. Sebagaimana ditulis Manifesto,

’Industri modern telah menciptakan pasar dunia, di mana penemuan Amerika telah membuka jalan. Pasar dunia telah memberi kemajuan luar biasa bagi perdagangan, pelayaran, transportasi darat. Lantas, kemajuan itu mendorong perluasan industri; dan dalam waktu yang sama kemajuan terjadi di bidang perdagangan, pelayaran, perhubungan kereta api, dan seirama dengan itu kaum borjuasi semakin berkembang, kapitalnya bertambah.’

Prediksi Marx bahwa kapitalisme akan berjingkrak dari satu negara ke negara lain kini terbukti sudah. Apa yang kita sebut sebagai globalisasi saat ini, misalnya, sebenarnya tidak lebih dari ‘baju lain’ dari gabungan antara imperialisme dan kapitalisme internasional.[4]  Invasi modal asing ke negara-negara dunia ketiga, deregulasi, dan liberalisasi perdagangan internasional, dominasi korporasi multinasional di semua sektor kehidupan, hingga ketidakadilan global merefleksikan bentuk pengisapan kapitalisme abad 21.

Kedua, terkonfirmasikan pula ramalan Marx dan Engels bahwa pergerakan kekuatan kapital yang eksploitatif akan mengakibatkan sejumlah krisis ekonomi akibat kontradiksi internalnya. Dalam sejarah dunia, kita pernah mengalami tidak kurang dari empat krisis ekonomi global, yakni tahun 1880-an, 1920-an, 1970-an dan terakhir tahun 2008 kemarin. Krisis demi krisis ekonomi global bahkan memiliki tendensi untuk berulang pada setiap zaman. Krisis ekonomi global terakhir pada tahun 2008, dampaknya sampai saat ini masih terasa: perekonomian Eropa kolaps, Yunani dan Spanyol menjadi pesakitan ekonomi global, bahkan Amerika pun menderita akibat memburuknya perekonomian global. Meski tidak sampai meruntuhkan kapitalisme seperti prediksi Marx, krisis tersebut lumayan berhasil ‘melemahkan kaki-kaki’ kekuatan kapitalisme global.

Ketiga, prediksi Manifesto tentang akan adanya fenomena ‘proletarianisasi’ nampaknya tidak terbukti, setidaknya untuk saat ini. Manifesto mengklaim bahwa akibat penghisapan yang semakin menghebat, masyarakat akan semakin terpolarisasi menjadi dua kelas, yakni kelas borjuasi dan kelas proletar. Proletarianisasi merujuk pada proses perubahan kelas borjuis kecil menjadi proletar akibat tergerus dampak penghisapan kapital. Namun fenomena yang ada sekarang justru kontradiktif. Alih-alih mengerucut menjadi dua kelas, masyarakat dunia kini terkategorisasikan menjadi begitu beragam kelas sosial, dengan fakta jumlah kelas menengah di dunia yang terus meningkat dari tahun ke tahun. Di Indonesia jumlah kelas menengah mencapai 100 juta lebih, dan kelas ini mengembangkan suatu sikap mental dan kebudayaannya sendiri yang reaksioner, cenderung konsumtif, dan pragmatis. Namun kelas ini tidak bisa dikategorikan sebagai borjuis murni karena sebagian dari mereka adalah pegawai, karyawan, atau pekerja sektor menengah lainnya.

Akhirul kalam, dalam refleksi atas Manifesto Komunis ini, penulis menganggap ada beberapa hal yang masih relevan dan kontekstual untuk ‘membedah’ fenomena kapitalisme kontemporer, namun ada juga yang perlu ‘dibaca ulang’ dalam konteks perubahan zaman yang dinamis dan dialektis.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar