Minggu, 30 Maret 2014

Tentang Seorang yang Membunuh Keadilan di Penjaga Konstitusi

Tentang Seorang yang Membunuh Keadilan

di Penjaga Konstitusi

Remy Silado  ;   Penulis Novel, Cerpen
KOMPAS, 30 Maret 2014

                                                                                                                       
                                                                                         
                                                             
Malam itu tampak lebih kelam, suram, dan padam tidak seperti biasa. Bukan karena gelap dan dingin malam, tetapi karena wajahnya tertunduk lesu, pucat pasi dengan tangan terikat dan lolongan anjing-anjing yang begitu memaki selalu meneriaki.

Laki-laki paruh baya itu mendatangi gedung itu. Tentu tidak sendiri, beserta para penjaga yang memborgol kedua tangannya. Mendatangi gedung itu berarti mendatangi sebuah masa depan yang lebih buruk. Masa depan di jeruji besi. Bisa dikatakan begitu.

Kemudian para wartawan berdatangan di bawah sinar bulan mencari kepastian berita. Mencari bau-bau busuk yang bisa mereka tulis dan laporkan di koran-koran dan televisi mereka. Dengan cahaya yang sedikit temaram mereka menghampiri gedung itu. Mencoba untuk masuk. Kata-kata memaksa membuat satpam penjaga itu mengizinkan. Di lobi saja katanya…

Gila, aku memang bersalah Tuhan. Ampuni aku. Aku akan mencoba untuk melawan. Tidak mau aku diperlakukan seperti ini. Aku adalah seorang yang paling mulia. Mereka menyebutku Yang Mulia. Tidak mungkin aku diperlakukan terhina seperti ini. Aku akan melawan demi membela kesombonganku.

Suara mikrofon itu terdengar. Kamera-kamera telah siap menatap dengan tajam sosok yang akan berbicara di meja itu. Seorang juru bicara yang setiap saat menjadi penyambung lidah keingintahuan akan keadilan. ”…malam ini telah tertangkap tangan seorang pejabat negara…diduga karena menerima suap untuk meloloskan gugatan Pilkada…”

Esok kemudian mereka membacanya di koran kota, di halaman pertama. Mereka juga menonton di televisi-televisi mereka. Menjadi berita utama dan terus berulang-ulang disaksikan. Ada seorang yang telah rela menggadaikan masa depannya. Menggadaikan bangsanya. Menggadaikan keluarganya, anak-anaknya, dan mendustai sumpah jabatannya. Akan tetapi, ia tidak menangis entah mengapa. Ia juga masih merasa tidak bersalah entah mengapa. Dan ia juga tidak meminta maaf entah mengapa terhadap semua hal yang dikhianatinya.

Semakin lama semakin ramai mereka membicarakannya. Seakan-akan masih tidak percaya dengan apa yang sudah terjadi. Memang, uang, kekuasaan dan kekuatan akan terasa panas di tangan jika tidak berada di tangan orang-orang yang benar. Begitu aku sering mendengar.

Rumah kediamannya dihampiri oleh para pencari berita, mereka mencoba mencari tahu dan menerka-nerka berapa sebenarnya harta kekayaannya. Dari kota hingga desa. Dari yang biasa disinggahi sampai rumah-rumah di kampung halaman. Tidak ketinggalan pula semua usaha-usahanya diliput, dicari tahu sumber dananya dan berapa penghasilan sebenarnya. Dan dari semua itu hanya ada satu kalimat. Sangat tidak wajar dengan penghasilan yang didapat.

Berita pun semakin memanas karena ditemukan pula dua buah linting narkoba jenis baru yang sangat jarang beredar berada di ruang kerjanya. Punya siapakah itu? Semua orang jelas ingin tahu. Jangan-jangan Yang Mulia Yang Terhormat ini sedang teler ketika memimpin sidang.

Saya dijebak Tuan Penyidik. Uang itu bukan milik saya. Ada orang yang membawakannya. Sungguh saya tidak bersalah. Saya dijebak. Saya dijebak. Saya dijebak. Ada yang ingin menghancurkan nama baik saya. Ini adalah sebuah konspirasi besar. Saya akan membuktikan bahwa saya tidak bersalah.

Hari itu. Kita berangkat bersama. Melalui pesawat yang sama. Singapura tujuan kita. Bukan karena kebetulan kita berada di pesawat yang sama. Bukan juga karena kebetulan kita berada di hotel yang sama. Bertemu kamu hari itu. Hari digadaikan martabat sebuah pengadilan dengan sekarung janji dan uang. Tentu bukan untuk hari yang pertama kali. Lewat kawan lama, semua negosiasi menjadi mudah. Hati kecil ini menolak dengan tegas. Akan tetapi perlahan dengan pasti janji manis mengalahkan semuanya. Uang memang bisa membeli segala-galanya.

Istriku, aku sudah selesai berobat di Singapura. Sopirku yang menemaniku di sana. Dia memang sangat setia kepadaku. Selalu menemaniku. Tentu saja sebagai orang kepercayaanku dia yang kujadikan orang pertama untuk menerima uang-uang itu. Sedangkan aku, hanya duduk diam dan manis saja menikmati semua yang kudapat dengan cara kotor itu. Istriku. Andai kau tahu ini. Mungkin saja kau akan pergi meninggalkanku. Maafkan aku istriku.

Hari ini sudah kukabulkan permintaan kalian. Persidangan sudah aku tutup. Sekarang nikmati kemenangan kalian. Tapi ingatlah, kemenangan kalian berkat jasaku. Jangan lupakan itu. Camkan. Aku tunggu semua yang kalian janjikan. Dan ingat hanya kita dan Tuhan yang mengetahui semua ini.

Satu per satu keluarganya datang. Istri, anak dan saudara-saudara yang lain. Mereka menjenguk ke dalam teralis besi itu. Raut-raut wajah kecewa menyelimuti mereka. Ingin memaki tetapi ayah sendiri. Ingin memaki tetapi suami sendiri. Ingin memaki tetapi keluarga sendiri. Tetapi mereka tidak ingin memaki seorang yang sudah tepat berada di depan mereka. Karena mereka sadar, bukan makian yang ia butuhkan. Hanya sedikit rasa iba, belas kasihan dan sedikit kepercayaan untuk menemaninya di jeruji besi itu. Selain itu, karena mereka sadar bahwa sosok yang selama ini menjadi kebanggaan mereka sudah setiap hari dicaci dan dimaki akibat peristiwa memalukan dan memilukan ini.

Istriku, ingin rasanya kuseka air matamu. Kuhapuskan kepedihanmu. Anakku. Ingin rasanya kukatakan bahwa aku tetap ayahmu. Dan buat kau bangga memiliki ayah seperti aku. Tapi aku malu melakukannya. Aku malu mengatakannya. Diriku telah menjadi aib bagi kalian. Tak pantas aku rasanya meminta maaf karena kesalahanku yang begitu besar.

Mereka hanya terdiam. Tanpa kata. Hati mereka menangis. Tatapan mereka kosong. Ada kata yang tak terucap, ada sedih yang tak terungkap, ada benci dan amarah yang tak mungkin terluap. Seakan-akan terjebak dalam sebuah lubang yang dalam. Mereka berusaha keluar dari suasana ini tetapi mereka tidak mampu memulai dari mana untuk mencairkan suasana.

Sebuah kamera menatapnya dengan tajam, wartawan itu bertanya-tanya dengan nada yang tegas dengan tujuan mendapatkan sebuah jawaban. Tetapi laki-laki paruh baya itu tidak menjawab. Malah ia marah. Mukanya memerah. Marah karena tak mau menjawab, sangat terusik dengan pertanyaan wartawan atau marah karena malu terhadap dirinya sendiri. Lalu, laki-laki itu mendorong kamera itu. Merusak kameranya dan menampar wartawan itu. Lagi-lagi ada cerita baru yang akan dibahas di koran dan televisi tentang Yang Mulia Terhormat ini.

Lalu, pengacara laki-laki paruh baya itu menjadi perantara. Sering muncul di televisi-televisi dan berita di koran-koran kota. Berusaha meluruskan cerita. Berusaha menjadi perantara laki-laki Yang Mulia Terhormat ini. Pengacara itu berkata seperti hari-hari sebelumnya. Kliennya tidak bersalah. Ia juga berkata bahwa kliennya dijebak. Tak luput ia juga meminta maaf kepada wartawan yang ditampar oleh kliennya. Semua pembicaraannya dan bantahannya menolak dengan tegas semua tuduhan yang dituduhkan kepada kliennya.

Sekarang, laki-laki paruh baya itu sudah mengundurkan diri. Mengundurkan diri sebelum ia diberhentikan dengan tidak hormat. Berusaha berbuat bijak untuk mengurangi rasa malu. Padahal seharusnya berbuat bijaklah ia untuk tidak menerima sesuatu bentuk apapun dari orang-orang yang terlibat atau berperkara dengannya di meja persidangan.

Satu-per satu yang terlibat dengan peristiwa ini diperiksa oleh penyidik. Beberapa menjadi saksi, dan beberapa pula ada yang ikut ditangkap juga untuk menemani di jeruji besi. Satu-per satu pula kroni-kroni dan antek-antek mafia peradilan ini yang berusaha menghalalkan segala cara untuk menguasai dan memenangi segala bentuk sengketa pemilu muncul di media massa. Terliput mobil-mobil mewah mereka. Entah datangnya dari mana. Mungkin dari korupsi di daerah yang telah mereka kuasai. Bukan mungkin akan tetapi pasti dari sana. Karena korupsi mereka kaya dan semakin kaya.

Hari ini mahkamah itu rusuh, sekelompok orang sudah tidak percaya dengan pengadilan yang dinamakan gerbang terakhir konstitusi atau penjaga terakhir konstitusi. Peristiwa ini, baru pertama kali terjadi. Entah mereka sengaja, terencana atau tidak. Mereka merusak meja-meja itu, mereka teriak-teriak meminta keadilan di gedung itu. Merusak berbagai properti di ruangan itu. Pengeras suara dibanting, dihancurkan dan polisi-polisi hanya melihat bingung harus berbuat apa.   

Ada amarah di mata mereka, amarah yang mungkin saja tertuju kepada seorang yang telah membunuh keadilan di penjaga konstitusi. Hak-hak mereka merasa dicabut, kemenangan mereka serasa dirampas. Rasa keadilan sudah tidak mereka rasakan di negeri ini. 

Di balik itu semua, ada segerombolan anak kecil di sudut-sudut kota, mereka tidur tanpa alas, mereka tidur tanpa memiliki atap, mereka meminta-minta di jalan-jalan kota. Mereka sedang tidak mengerti dengan yang terjadi di negeri ini. Mereka juga tidak perduli. Mereka hanya memikirkan rasa lapar yang terus berlomba-lomba di dalam perut mereka. Silih berganti.

Di sudut kota yang lain, ada pedagang-pedagang yang mencari rezeki dengan halal karena sudah tidak adanya lapangan pekerjaan untuk mereka. Mereka berusaha sendiri, dengan modal dari dengkul dan lutut mereka. Berjualan pun mereka harus berlari-lari dikejar-kejar oleh para petugas pamong praja. Para petugas itu membawa pentungan, dan berteriak dengan keras. Sangat keras. Seperti menghadapi pencuri yang sedang mencuri nasi. Akan tetapi tidak terlihat teriakan petugas pamong praja itu saat menghadapi terpidana korupsi yang masih bisa menyunggingkan senyum-senyum mereka dan melambaikan tangan-tangan mereka kepada para wartawan dan kamera yang sedang berada di depannya.

Di sudut gemerlap remang-remang kota, ada waria yang menjajakan dirinya. Entah terpaksa atau tidak karena himpitan ekonomi atau karena kebutuhan seksual mereka. Dan sekarang di desa, ada pak tani yang terlilit rentenir untuk menghidupi keluarganya dengan harapan bisa dibayar saat panen. Hidup mereka berputar di situ-situ saja. Tanpa impian dan khayalan-khayalan yang terlalu muluk. Pak tani hanya ingin membahagiakan keluarganya.

Laki-laki itu lupa atau pura-pura lupa. Laki-laki itu tuli atau pura-pura tuli laki-laki paruh baya Yang Mulia Terhormat. Apakah ia tidak melihat di sekitarnya. Tidak melihat di sekelilingnya. Tidak bisa merasakan kesusahan dan jerih payah yang dirasakan oleh masyarakat yang kurang beruntung di negeri ini. Masih banyak kegundahan-kegundahan lain di negeri ini di bangsa ini.

Tabik, aku lelah menceritakan tentang seorang yang membunuh keadilan di gerbang konstitusi. Ingatlah cerita ini bukan tentang seseorang, melainkan seorang. Semoga kalian tahu perbedaannya. Tuhan berikanlah cahaya-Mu di negeri ini.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar