Jumat, 28 Maret 2014

MH370 Meledak di Udara?

MH370 Meledak di Udara?

Sarjito ;   Wakil Rektor II Universitas Muhammadiyah Surakarta
SUARA MERDEKA,  28 Maret 2014
                                      
                                                                                         
                                                      
AHLI pesawat terbang, yang juga mantan presiden RI, BJ Habibie mengatakan kemungkinan pesawat Malaysia Airlines MH370 meledak di udara dan kepingannya tersebar tanpa arah (SM, 22/3/14). Mungkinkah pesawat meledak pada ketinggian tertentu? Sifat atmosfer (massa udara di atas permukaan bumi) bisa berubah-ubah mengikuti  perubahan ketinggian, terutama tekanan, temperatur, dan massa jenisnya. Namun perubahan itu tidak secara linier.

Dari permukaan air laut hingga ketinggian 11 km (biasa disebut troposfer) atau ekivalen setinggi 35.000 kaki (feet), adalah ketinggian yang umum dipakai terbang pesawat sipil komersial mendasarkan antara lain keekonomisan bahan bakar. Beberapa pakar menyebut tekanan udara pada ketinggian tersebut sangat rendah/ tipis, karena itu temperaturnya pun sangat rendah.

Tabel perhitungan Internasional Standar Atmosfer (ISA) menyebutkan pada ketinggian 11 km, suhu udara bisa 216.8K atau 57 derajat Celcius di bawah nol. Dengan postulasi tertentu, penurunan suhu akibat penurunan tekanan hingga ketinggian 11 km bisa minus 6,5 derajat Celcius rata-rata (lapse rate). Namun hingga elevasi 11-20 km (stratosfer)  temperatur udara akan konstan, Selanjutnya pada elevasi 20-32 km, temperatur naik rata-rata 1 derajat Celcius, kemudian pada ketinggian 32-47 km naik lagi 2,8 derajat Celcius, seiring perubahan ketinggian. Tapi selebihnya, hingga 85 km, kenaikan temperatur hanya 2,4 derajat Celcius.

Pada ketinggian 11 km, penurunan sedikit saja tekanan udara di luar pesawat sangat rawan terhadap tekanan di dalam kabin pesawat. Efek paling awal adalah telinga terasa sakit. Andai dinding pesawat berlubang, kulit manusia bisa sobek karena ada perbedaan tekanan sangat besar antara di luar dan di dalam kabin pesawat.

Kemungkinan pesawat meledak di udara, mendasarkan pernyataan Habibie, bisa juga karena ulah manusia yang dipicu oleh tekanan dan temperatur yang tak terkendali, yang kemudian membuatnya berada pada ketidakseimbangan kerja normal (disorientasi). Atmosfer hakikatnya adalah campuran gas, dengan oksigen dan nitrogen sebagai unsur utama. Gas lainnya adalah hidrogen, helium, argon, krypton, dan neon, yang komposisinya pada ketinggian tertentu masih dianggap seragam, namun akan berbeda jauh bila dalam posisi lebih tinggi.

Pesawat Terlempar

Dalam kondisi kerja tak seimbang, bisa jadi arah pesawat (sebagai benda aerodinamis) di atmosfer bisa tidak terkendali dan berisiko naik hingga setinggi 32-47 km, yang suhunya cenderung naik. Hal itu berpengaruh ada proses pembakaran di mesin pesawat sehingga terjadi overheat.

Kemungkinan pesawat meledak di udara karena overheat, bisa jadi karena pada ketinggian 11 km (ketinggian ekonomis) suhu atmosfer sangat rendah sehingga tidak tertutup kemungkinan pesawat kehilangan gaya angkat (stall) karena turbulensi setelah terbentuk lapisan/gumpalan es di sayap atau bagian lain.

Terbentuknya es disebabkan oleh suhu dingin dan kabut uap air di udara. Es yang menempel di sayap dapat ’’mengubah’’ bentuk geometri aslinya. Bisa jadi, bentuk sayap (airfoil) yang semula simetris menjadi tidak lagi simetris (asimetris). Efek yang tak kalah fatal adalah bila lapisan/gumpalan es itu menyumbat lubang pengukur kecepatan udara yang menyebabkan tak berfungsinya alat ukur di dalam kabin. Pembentukan es berefek lebih berbahaya bila terjadi di mulut saluran kompresor mesin. Hal itu menyebabkan penyempitan saluran udara ke turbin sehingga pasokan oksigen ke mesin pun berkurang secara signifikan, dan pesawat bisa kehilangan tenaga (power lost).

’’Hilangnya’’ pesawat bisa juga karena kehilangan gravitasi (gaya tarik bumi), yang menyebabkan pesawat ’’terlempar’’ ke atas. Pesawat hanya perlu tenaga besar ketika hendak lepas landas dan mendarat. Tenaga itu diperlukan untuk mengangkat (lifting) pesawat, guna melawan efek gravitasi bumi, dan mendorong pesawat ke depan. Adapun tenaga besar yang dibutuhkan saat mendarat, lebih dimanfaatkan untuk pengereman.

Penerbangan pada ketinggian 11 km (35.000 kaki), atau pada tekanan udara tipis, pesawat tak butuh lagi gaya angkat (lift), namun hanya perlu gaya dorong ke depan. Konstruksi pesawat dibuat dengan angka keamanan tinggi, dan biasa diistilahkan dengan faktor keamanan di atas 200% atau lipat dua. Sebagai pembanding, perencanaan teknis kekuatan material kendaraan darat, hanya 1,5 kali lipat lebih besar dari kekuatan yang dibutuhkan.

Dengan angka keamanan lipat dua, andai pesawat mengalami kegagalan fungsi mesin total maka alternatif pendaratannya hanya di laut lepas, yang juga bergantung apakah masih mempunyai avtur yang cukup. Bila pesawat mempunyai dua mesin, dengan angka keamanan yang tinggi, ’’diyakini’’ dengan hanya satu mesin, pilot bisa melakukan pendaratan darurat di darat.

Unsur kesengajaan, sebagaimana dugaan sementara pihak, bisa dimaklumi. Misal mengaitkan kejadian itu dengan kemungkinan pembajakan atau ada orang di pesawat sengaja mengubah arah terbang. Namun untuk lebih mendewasakan kita, terutama generasi penerus, akan lebih sehat bila kita menganalisis berdasarkan sains dan teknologi. Upaya itu, selain lebih rasional, juga tidak akan meninggalkan nilai-nilai kemaslahatan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar