Jumat, 28 Maret 2014

Belajar dari Alam dan Orang Desa

Belajar dari Alam dan Orang Desa

M Dwi Marianto ;   Pengamat Seni dan Budaya; Dosen ISI Yogyakarta
KOMPAS,  28 Maret 2014
                                      
                                                                                         
                                                      
DALAM suatu perbincangan santai, tahun lalu, di Bandung, seorang guru besar bidang seni pernah bercerita tentang pengalamannya di bandara internasional yang menyediakan fasilitas yang menurut dia istimewa. Penggalan ceritanya demikian: ”Wah, airport di Korea bagus sekali. Di sana tersedia tempat-tempat ibadah untuk berbagai agama.”

Paparan itu membekas tajam di pikiran saya. Hal itu menyembul kembali ketika saya transit (Desember 2013) di Bandara Heathrow, London. Tepatnya ketika saya melihat tanda ”Interfaith Prayer and Meditation Room”.

Kesadaran multikultur

Di bandara dunia yang sangat sibuk dengan penerbangan yang padat, manajemennya tetap berusaha mengakomodasi kepentingan kultural para pengguna—yang berasal dari banyak negara, budaya, dan kepercayaan—dengan sesuatu yang sekilas simpel, tetapi menyampaikan pesan tentang kesadaran multikultural. Ingatan dan konsep tentang pelayanan multikultural itu mengemuka lagi setelah saya membaca artikel Achmad Munjid, ”Pengajaran Agama Interreligius” (Kompas, 4/01/2014).

Tulisan ini adalah tanggapan atas tulisan visioner itu, untuk mengatakan bahwa pendidikan multireligius dan interreligius itu bukan hanya penting dan lebih mencerahkan, melainkan juga esensial dan fundamental bagi kesinambungan pergaulan sosio-kultural atau interaksi kemanusiaan. Daya hidup kesinambungan sosio-kultural hanya dapat berjalan secara baik, aman, indah, dan kreatif apabila masyarakat pendukungnya memberikan ruang dan toleransi bagi kemajemukan.

Achmad Munjid membuka tulisannya dengan ilustrasi makin maraknya fenomena eksklusivisme sektarian yang memungkiri kebinekaan masyarakat/ bangsa Indonesia. Fenomena sosial yang disoroti dan dijadikan ilustrasi, di antaranya kos khusus Muslim, makam Muslim, kompleks perumahan Muslim, dan polemik tentang haram/halalnya mengucapkan selamat Natal yang telah menjadi rutinitas tahunan. Realitas ini adalah indikator lumpuhnya kemampuan sosial dalam melakukan navigasi dalam masyarakat yang sejak awal dibentuk oleh pluralitas. Munjid menduga bahwa muatan dan pendekatan pendidikan agama di sekolah-sekolah umum/negeri ikut memainkan peran kunci dalam persoalan ini sehingga dapat diartikan sebagai penyebab utama persoalan yang menggejala.

Kiranya keprihatinan Munjid layak menjadi perhatian bersama. Pendidikan yang bersifat agama monoreligius identik dengan pendidikan yang monokultural. Monokultur (budaya tunggal) adalah bentuk kehidupan yang tunggal dan seragam. Alam tak suka akan budaya-budaya seragam (Pattrick J Deneen) karena budaya seperti ini sangat rentan terhadap virus atau hama. Kerusakan yang akan terjadi bersifat total dan serempak.

Pendidikan agama monoreligius akan rentan pula terhadap ideologi radikal. Biasanya pendidikan macam ini tak memiliki banyak variasi dalam memberikan ilustrasi yang lengkap dan holistik. Sebab, yang diutamakan adalah metode pembelajaran dan tes yang terstandardisasi: tidak membuat peserta didik menjadi manusia yang utuh, dengan pemahaman akan dunia secara holistik. Yang diberikan gambaran- gambaran sempit, cenderung hanya memuji diri sendiri, dan sebaliknya buta terhadap budaya pihak lain. Akibatnya, metode pembelajaran macam ini hanya memproduksi alumni yang tidak adaptif terhadap dunia yang berubah, bahkan berpotensi (menurut Deneen) menjadi suatu gerombolan terideologi tunggal yang mudah dimobilisasi.

Padahal, pembentukan masyarakat yang plural adalah kebutuhan sosial mendasar. Sebab, di mana dan kapan pun akan terjadi petaka ketika sekumpulan orang yang besar bergerak ke arah yang sama, secara serempak, memperebutkan ruang, kesempatan, dan materi yang terbatas. Dalam keadaan seperti ini yang terjadi hanya desak-desakan, saling dorong, bahkan injak-injakan yang fatal. Malapraktik yang kuat yang menang akan berulang dengan sendirinya dalam situasi serba seragam dan serentak.

Sejalan dengan pemikiran Munjid, alam dan manusia memang memerlukan kebinekaan nyata. Keberagaman ritual, tradisi, dan budaya dalam menghadirkan religiusitas perlu dilihat sebagai potensi, hikmah, atau subyek pembelajaran agama secara multikultural dan interkultural. Namun, untuk merealisasikan keinginan itu diperlukan komitmen bersama para pelaku dunia pendidikan yang sesungguhnya telah diatur dalam UUD 1945.

Kesadaran bersama      

Kembali ke topik utama, Ahmad Munjid memaparkan fenomena kultural yang terjadi di wilayah urban di Yogyakarta sebagai ilustrasi tulisannya. Ini adalah suatu ironi signifikan yang perlu disikapi secara komprehensif karena Yogyakarta sejauh ini dikenal sebagai kota pelajar yang menerima keberagaman.

Sebagai pembanding, 10 hari sebelum artikel Munjid diterbitkan, dilangsungkan suatu peristiwa multidimensional sekaligus interreligius di dua daerah di lereng Gunung Merapi, yaitu di wilayah Klaten dan Kabupaten Magelang, Jawa Tengah (lihat: ”Natal Budaya: Air, Berkah Kehidupan untuk Semua”, Kompas, 26 Desember 2013).

Di dua tempat yang relatif jauh dari kota, di Dusun Surowono, perayaan Natal dikemas dengan kegiatan budaya yang bertema ”Mengambil Air Hujan”. Melalui aktivitas itu masyarakat dari berbagai keyakinan dan agama (Islam, Kristiani, dan Hindu) diminta mengumpulkan air hujan dan ditampung dalam botol-botol plastik. Sampel air hujan yang dikumpulkan itu  dimasukkan dalam kendi lalu secara khusus didoakan oleh tiga tokoh agama tersebut di atas. Air yang telah didoakan dan diberkati secara multireligius itu lalu diarak keliling kampung bersama-sama.

Kesadaran mengumpulkan air hujan untuk keperluan sehari-hari, terutama untuk memberi minum ternak masyarakat, menjadi ruang kebersamaan baru  yang menyatukan masyarakat dari berbagai keyakinan. Perayaan religius itu jadi atraksi budaya yang dimeriahkan sejumlah seniman dari Solo, Magelang, dan Klaten. Hal itu menjadi pengalaman langsung multi dan interreligius masyarakat yang majemuk sekaligus awal suatu strategi teknis-kreatif masyarakat dalam menghadapi kemungkinan kemarau panjang yang datang sewaktu-waktu.

Akhirnya, jika nanti (sebagaimana diimpikan banyak orang di antaranya Achmad Munjid) metode dan pendekatan multireligius dan interreligius diputuskan jadi dasar pijakan bersama, perlu dipikirkan juga mimpi bersama bangsa ini sebagai pedoman, yaitu pendidikan agama yang menghargai dan menghormati keberagaman guna menciptakan perdamaian dan kemakmuran bersama.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar