Minggu, 30 Maret 2014

Seputar Polemik Film Noah

Seputar Polemik Film Noah

Sumiati Anastasia  ;   Kolumnis dan Muslimah, Tinggal di Balikpapan
JAWA POS, 31 Maret 2014
                                      
                                                                                         
                                                             
Film yang diangkat dari kisah Nabi Nuh dalam Alquran dan Alkitab yang berjudul Noah dilarang beredar di Indonesia. Film epik religius yang disutradarai Darren Aronofsky serta dibintangi Russell Crowe itu rencananya ditayangkan secara serempak di seluruh dunia pada 28 Maret 2014.

"Sesuai dengan undang-undang, kita tidak ingin ada film yang menimbulkan reaksi dan kontroversi di masyarakat," ujar salah seorang anggota Lembaga Sensor Film Zainut Tauhid Sa'adi dalam rilis kepada wartawan (24/3).

Sejumlah negara Islam di Jazirah Arab seperti Qatar, Bahrain, dan Uni Emirat Arab juga melarang. Alasannya, Islam memang melarang visualisasi Tuhan atau pemimpin agama yang suci seperti nabi.

Fatwa yang mendasari pelarangan peredaran film Noah itu dikeluarkan institusi Al Azhar di Kairo, Mesir. "Al Azhar menyatakan keberatan terhadap setiap tindakan yang menggambarkan utusan dan nabi-nabi Allah dan para sahabat Nabi SAW," tulis Daily Mail (9/3).

Terkait kisah Nabi Nuh AS, kita mungkin masih ingat dialog antara Nabi Nuh dan anaknya dalam Alquran: "Dan bahtera itu berlayar membawa mereka dalam gelombang laksana gunung dan Nuh memanggil anaknya, sedangkan anak itu berada di tempat jauh terpencil: 'Hai anakku, naiklah (ke kapal) bersama kami dan janganlah kamu berada bersama orang-orang yang kafir'. Anaknya menjawab: 'Aku akan mencari perlindungan ke gunung yang dapat memeliharaku dari air bah!' Nuh berkata, 'Tidak ada yang melindungi hari ini dari azab Allah selain Allah (saja) Yang Maha Penyayang'. Dan gelombang menjadi penghalang antara keduanya; maka jadilah anak itu termasuk orang-orang yang ditenggelamkan." (QS Huud: 42-43).

Anehnya, beberapa aliran Nasrani juga menolak film Noah. Perwakilan Gereja Pantekosta Australia mengatakan terkejut dengan penggambaran Nabi Nuh dalam film itu. Jerry A. Johnson, presiden National Religious Broadcasters (NRB), memastikan semua orang yang melihat film tersebut tahu bahwa itu adalah interpretasi imajinatif dari Kitab Suci dan tidak literal (Dailymail, 12/3).

Pro-kontra atas penolakan film Noah boleh jadi mengingatkan publik dunia pada Innocence of Muslims beberapa waktu lalu yang merendahkan Nabi Muhammad. Yang merasa tersinggung dengan film itu bukan hanya umat Islam. Vatikan juga tersinggung. Vatikan mengutuk tindakan keji yang dibuat orang yang bertujuan untuk menghina hal-hal yang dianggap suci oleh umat Islam di seluruh dunia.

Memang jika kembali ke akidah asli agama samawi, seperti Yahudi, Kristen, dan Islam, mereka memang tegas menolak visualisasi Tuhan dan para nabi-Nya.

Kembali ke film Noah, terlepas dari keberatan sesuai akidah agama seperti disebutkan di atas, di dunia ini sebenarnya beredar beberapa kisah yang mirip dengan kisah Nabi Nuh.

Jauh sebelum kisah Nabi Nuh beredar, orang Yunani juga punya mitologi bahwa Dewa Zeus memutuskan untuk memusnahkan manusia yang semakin sesat dengan sebuah banjir besar. Hanya Deucalion dan istrinya, Pyrrha, yang selamat dari banjir karena ayah Deucalion sebelumnya menyarankan anaknya untuk membuat sebuah kapal. Pasangan itu mendarat di Gunung Parnassis sembilan hari setelah menaiki kapal. Dalam sejarah Tiongkok kuno, juga dikisahkan seseorang yang bernama Yao bersama tujuh orang lain atau Fa Li bersama istri dan anak-anaknya yang selamat dari bencana banjir dan gempa bumi dalam sebuah perahu layar.

Sebelum datangnya agama-agama samawi, orang Sumeria atau Babilonia (Iraq kuno) juga punya kisah senada dengan kisah Nabi Nuh yang disebut epik atau kisah Gilgamesh. Nabi Nuh dalam versi mereka bernama Utnaphishtim yang juga mendapat perintah secara supernatural untuk membangun bahtera agar dapat menyelamatkan diri dari banjir raksasa.

Dalam cerita versi Sumeria itu, juga terdapat hal yang sama dengan Nuh, yakni Utnaphishtim melepas burung untuk mengetahui apakah banjir telah surut atau belum, persis yang dilakukan Nabi Nuh. Hebatnya, kisah Gilgamesh dan Nabi Nuh disatukan dalam benang merah bahwa di Kota Ur-Erech di Sumeria yang saat ini dikenal sebagai Tall Al Uhaimer atau Kota Shuruppak di selatan Mesopotamia yang saat ini bernama Tall Far'ah menyimpan jejak-jejak nyata bahwa dulu pernah terjadi banjir di kawasan tersebut, seperti disimpulkan arkeolog Erich Schmidt dari Universitas Pennsylvania antara 1922-1930.

Jadi, kota-kota di Iraq kuno yang dicatat sejarah sebagai kawasan berperadaban tinggi pertama di dunia karena di sana dimulai keberadaan tulis-menulis dan agama pertama, dalam satu kurun waktu tertentu, ternyata pernah disapu banjir besar seperti tampak dari struktur tanah dan temuan hewan-hewan laut. Alquran atau Alkitab memang menyebutkan, gara-gara manusia mulai menyimpang jauh dari Sang Pencipta, banjir besar didatangkan sebagai hukuman atas kota-kota besar di Iraq kuno tersebut.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar