Jumat, 28 Maret 2014

Selalu Ada Harapan

Selalu Ada Harapan

Asep Salahudin ;   Peneliti Lakpesdam PWNU Jawa Barat,
Dekan di Fakultas Syariah IAILM Suryalaya, Tasikmalaya
KOMPAS,  29 Maret 2014
                                      
                                                                                         
                                                      
ENTAHLAH. Mungkin pemilu dirayakan nalar utamanya untuk merawat harapan. Homo esperans, manusia sebagai makhluk yang selalu berharap. Meminjam kitab tebal curhat Susilo Bambang Yudhoyono, Selalu Ada Pilihan, termasuk pilihan untuk tidak memilih sekian partai dengan sekian wajah yang setiap saat terpampang di ruang publik, menjajakan di media sosial, dan menawarkan diri di banyak televisi. Apalagi kalau televisi itu milik sendiri, tentu iklan politik itu menjadi semacam khotbah yang dirutinkan tidak peduli jemaah mengantuk. Sesuatu yang dirutinkan biasanya menyisakan defisit pencerahan dan surplus pembodohan.

Orang yang tidak memilih tidak otomatis tak punya harapan seperti fenomena absennya orang masuk ke tempat pemungutan suara (TPS) dalam setiap pemilihan kepala daerah. Minimal mengharapkan sikapnya sebagai ”kritik ideologis” atas tindakan para politisi yang selama ini dianggap tidak mampu menurunkan kemustahilan menjadi kemungkinan, mengaksentuasikan harapan khalayak menjadi sekian kebijakan yang memihak hajat orang banyak. Dan untuk pilihan ini, tidak perlu fatwa haram dari lembaga mana pun.

Tak ubahnya juga mereka yang giat menyambut siklus demokrasi lima tahunan. Datang ke TPS, lagi-lagi, nalar pokoknya ditautkan pada sebuah fantasi kebangsaan yang diharapkan ke depan jauh lebih beradab, negara mampu mendistribusikan kesejahteraan dan hanya berpihak kepada akal sehat.

Inilah semacam ”politik harapan” yang dibilang Erich Fromm (1996), sebagai kesadaran warga yang akan mampu melepaskan suasana kehidupan berbangsa dari sekapan keterasingan, kehampaan, dan keterperosokan, agar kita tidak  kehilangan otentisitas pengalaman sebagai manusia. Menemukan kembali  renaisans humanisme universal, menemukan lagi makna eksistensial sebagai bangsa.

Kata Fromm, khitah harapan itu berwatak paradoks. Harapan bukanlah menunggu secara pasif, juga bukan pemaksaan yang tidak masuk akal terhadap realitas yang tidak bisa dilakukan. Harapan tak ubahnya harimau buas yang tertangkap. Sang harimau akan melompat ketika tiba waktu yang tepat, bersiaga menunggu sang penunggu lengah. Berharap tidak seperti seorang laki-laki tua dalam The Trial Kafka yang diam berabad-abad menunggu pintu surga terkuak, tetapi tatkala pintu itu terbuka, ia masih diam dan meminta izin sampai kemudian sang penunggu itu berkata, ”Tak seorang pun yang begitu bersikeras meminta izin kecuali Anda. Sekarang saya mau menutupnya!”

Berharap berarti siap setiap saat terhadap apa yang belum lahir, dan tidak menjadi nestapa jika tidak ada kelahiran. Orang yang memiliki harapan selalu memandang masa depan dengan optimistis dan tidak pernah henti menghargai datangnya fajar baru dan selalu siap membantu kelahiran dari rahim kehidupan yang lebih menyegarkan menawarkan angin perubahan.

Sumbu harapan

Harapan yang pada praktiknya diacukan pada sumbu keyakinan fitri (feith). Keyakinan bukan sekadar pantulan keberagamaan monolitik yang menganggap ”liyan” sebagai keliru, tetapi adalah visi terang tentang keadaan masa depan dalam kehidupan warga yang plural. 

Keyakinan yang tidak bertalian dengan urusan administrasi politik keagamaan yang berwatak mesianistik dengan paradigma bipolar hitam-putih, bidah-sunnah, khilafah-demokrasi, dan lainnya khas paradigma para penggiat laskar keagamaan skolastik yang selalu mengidealisasikan format negara masa silam, tetapi adalah keyakinan yang dapat diukur akal budi yang ajek dan bisa dimusyawarahkan secara diskursif di ruang publik dalam kesetaraan. Di sini, seluruh warga berdiri sama tegak mendiskusikan masa depan bangsa, bukan disibukkan urusan eksklusif penghargaan terhadap masjid yang sesak saat shalat berjemaah dan ihwal lain yang seharusnya diselesaikan di ruang privat-keumatan bukan publik-kebangsaan.

Bukan keyakinan metafisis di mana ormas satu dengan lainnya berkontestasi saling berebut mendekat negara, merayu agar melakukan pemihakan terhadapnya. Memaksa pejabat negara untuk memiliki satu pandangan yang sama terhadap apa yang disebut mungkar yang sebermula telah terdefinisikan secara sepihak.

Haluan keberanian

Keyakinan yang dipadupadankan dengan keberanian (courage) dan ketabahan (Spinoza). Keberanian untuk mengatakan bukan sekadar ”tidak” terhadap segala bentuk korupsi, melainkan juga bertindak jelas dan bekerja keras atas dasar kepentingan bangsa walaupun tindakan itu  dalam jangka pendek tidak populer.

Bukankah tempo hari keyakinan dan keberanian ini yang membuat manusia pergerakan bukan saja tidak mengenal rasa takut menghadapi kaum kolonial, melainkan juga mampu membangun sebuah imajinasi visioner tentang sebuah ”negara” yang dibayangkan.  Jauh sebelum Indonesia diproklamasikan di Jalan Pegangsaan Timur Nomor 56, Tjokroaminoto, Soekarno, Hatta, Agus Salim, Tan Malaka, Muso, Hasyim Asy’ari, Ahmad Dahlan, Syahrir, Natsir, Amir Syarifuddin, dan tokoh lainnya menyuntikkan harapan kepada seluruh rakyat.

Yakni, bahwa ideologi yang mereka tawarkan bisa sangat berbeda, tetapi mereka bisa saling menghormati sekeras apa pun perbedaan itu. Entah berhaluan kiri, kanan, ataupun tengah, semuanya diperdebatkan di ruang konstituante sebagai sebentuk ijtihad mempercepat ”revolusi harapan”, revolusi yang dianggap Soekarno belum selesai. Meskipun untuk itu, mereka akhirnya harus mengalami akhir kehidupan mengenaskan. Sebut saja Soekarno yang diasingkan ke Istana Yaso, Bogor; Syahrir kesepian di Zurich, Swiss; Muso, Amir, dan Tan Malaka yang ditembak; Natsir yang dianggap ”kurap” oleh negara fasis Orde Baru, dan sebagainya.

Hanya harapan yang dapat menyatukan ”Indonesia” yang terbentang dari Sabang sampai Merauke, dengan ribuan pulau, etnik tidak sama, pilihan agama berbeda, dan budaya berlainan. Bersatu mengarak bendera, bahasa, dan negara yang sama. Minimal tergambarkan lewat puisi Muhamad Yamin berjudul ”Sumpah Pemuda” yang dideklarasikan tahun 1928. Sumpah penuh rajah yang tidak pernah menjadi sampah. Mengharapkan kelahiran manusia bijak dari rahim pemilu tentu adalah sahih, tetapi ketika petahana ”itu-itu”  juga yang didapatkan, mungkin kita masih harus merawat takdir sebagai bangsa yang masih lama hamil mengandung janin harapan.

Janji kebangsaan kita harus diinjeksikan pada palung spirit ”menjadi” (to be), bukan ”memiliki” (to have). Yang pertama yang akan mempertegas identitas bangsa penuh marwah, sementara modus memiliki yang  hari ini telah menyeret satu per satu mereka yang mengklaim ”pemimpin” ke terali besi karena terbelit kasus korupsi, menjadi bangsat.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar