Minggu, 30 Maret 2014

Model Iuran JKN

Model Iuran JKN

Satrio Wahono  ;   Pengajar FE Universitas Pancasila
REPUBLIKA, 25 Maret 2014
                                      
                                                                                         
                                                             
Pada 1 Januari 2014 lalu Indonesia membuka babakan baru bagi pemenuhan kesejahteraan warganya. Itulah momen ketika negara memberlakukan Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) lewat Askes sebagai Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) Kesehatan.

Hal ini sungguh melegakan. Apalagi dalam sistem ekonomi pasar, program seperti JKN mutlak sebagai bemper untuk membantu nasib kaum yang tergilas oleh persaingan pasar sehingga mereka bisa tetap mempunyai daya beli yang di perlukan bagi satu sistem ekonomi. Hanya saja, tetap ada yang perlu dikritisi dari pelaksanaan JKN ini, utamanya dari segi iuran yang harus dibayar rakyat sebagai peserta program asuransi sosial ini.

Tiga prinsip

Merujuk Dinna Wisnu (Politik Sistem Jaminan Sosial, Gramedia, 2010, halaman 26), ada tiga prinsip penarikan iuran dalam satu program asuransi sosial yang diselenggarakan negara. Pertama, prinsip Beveridge alias prinsip pasar. Menurut prinsip ini (yang namanya diambil dari ekonom Inggris pelopor sistem jaminan sosial di sana), jaminan sosial didanai pemerintah lewat pajak. Rakyat tak perlu menerima tagihan atas layanan kesehatan. Karena mengandalkan pajak maka iuran ini meniscayakan porsi jumbo proporsi upah yang dipotong, yaitu berkisar 20 hingga 50 persen.

Kedua, prinsip Bismarck (diambil dari nama kanselir Jerman penggagas sistem jaminan sosial nasional). Berdasarkan prinsip ini, jaminan sosial didanai bersama-sama oleh pemerintah, pengusaha, dan pekerja. Subsidi iuran diberikan hanya untuk golongan tak mampu atau kalangan yang dianggap penting, seperti militer.
Ketiga, prinsip pasar, seperti dilakukan oleh Medicare di Amerika Serikat (AS). Jaminan sosial didanai oleh iuran pekerja dan pengusaha saja, dikelola oleh lembaga swasta, tetapi ada aturan pemerintah yang menjadi patokan pengelolaan.

Lalu, bagaimana Indonesia? Sebagaimana disosialisasikan pemerintah lewat berbagai iklan layanan masyarakat, JKN merupakan satu program yang wajib diikuti semua warga masyarakat tanpa terkecuali. Adapun para peserta JKN terbagi-bagi lagi. Ada peserta dari kalangan pegawai formal yang bekerja di lapangan pekerjaan formal, ada dari kalangan profesional atau pekerja informal, dan ada dari golongan tak mampu.

Berdasarkan kategori peserta maka program JKN mensyaratkan peserta menjadi pengiur. Artinya, semua peserta wajib mengiur untuk mengikuti JKN. Peserta dari kalangan pegawai formal akan mengiur bersama-sama dengan perusahaan. Pekerja informal atau profesional harus membayar iuran penuh. Terakhir, pengiur yang berasal dari kalangan tak mampu akan diberikan subsidi oleh pemerintah.

Dengan kata lain, Indonesia lebih memilih prinsip Bismarck dalam menarik iuran sebagai sumber pendanaan JKN, mengikuti jejak Jerman, Perancis, Belanda, dan Swiss. Inilah yang perlu dikritisi. Sebagai contoh, salah sasaran adalah isu klasik yang kerap mendera program bantuan sosial di Indonesia.

Sering kali, orang mampu justru menerima bantuan subsidi, sementara mereka yang miskin atau tidak terdaftar sebagai penduduk--karena mereka warga pendatang yang belum memiliki KTP, misalnya dinyatakan tak berhak mendapatkan subsidi sehingga harus membayar iuran JKN.

Isu lain lagi, pekerja informal seakan menjadi warga negara kelas dua atau "tengah-tengah". Sebab, di satu sisi mereka tidak berhak menerima subsidi karena dianggap memiliki pekerjaan. Di sisi lain, mereka tidak memiliki atasan atau pihak pemberi pekerjaan (employer) untuk ikut menanggung iuran mereka. Padahal, mayoritas kaum pekerja di Indonesia adalah pekerja informal. Parahnya lagi, tidak semua dan justru banyak tenaga kerja informal yang pendapatannya minim dan pas-pasan untuk bertahan hidup semata, apatah lagi untuk membayar iuran JKN. Kelompok ini pun menanggung beban ganda dan mengalami ketidakadilan.

Mengingat potensi ketidakadilan dan masalah sebagaimana disebut di atas, prinsip Bismarck sejatinya kurang cocok diterapkan di Indonesia. Menurut hemat penulis, Indonesia bisa mengatasi isu-isu di atas dengan menerapkan prinsip Beveridge, seperti di terapkan di Inggris, Spanyol, Selandia Baru, dan negara-negara Skandinavia. Artinya, pemerintah harus memajaki lebih tinggi kalangan berpendapatan menengah ke atas untuk memberikan subsidi silang kepada sesama warga negara yang kurang mampu. Dengan kata lain, penghitungan iuran JKN akan lebih simpel karena masyarakat tidak perlu lagi mendapati penghasilannya dipotong ganda oleh pajak plus iuran JKN. Tetapi, cukup masyarakat membayar pajak saja, dengan masyarakat kelas menengah ke atas membayar pajak lebih tinggi.

Sepintas terkesan kurang adil, tetapi, redistribusi kekayaan dan pendapatan akan lebih terjamin sekaligus mengurangi kesenjangan ekonomi. Juga, menjamin terciptanya satu sistem sosialekonomi yang lebih berkeadilan.

Kita bisa merujuk prinsip keadilan yang terkenal dari teoretikus politik masyhur, John Rawls (A Theory of Justice, Oxford University Press, 1973, halaman 83), "ketidaksamaan atau kebijakan diskriminatif itu sah selama itu menguntungkan secara maksimal golongan yang paling tertinggal"

Aspek historis

Apalagi prinsip Beveridge ini juga diterapkan di Inggris, yang secara historis merupakan kiblat bagi pelaksanaan JKN di Indonesia. Sebab, pendiri Askes sekaligus mantan menteri Kesehatan Gerrit Agustinus Siwabessy memang terinspirasi dari studinya terhadap sistem kesejahteraan di bidang kesehatan di Inggris ketika beliau bertugas mengurusi satu bangsal di Rumah Sakit Hammersmith, London. Dengan kata lain, grand design awal Askes memang mengambil model dari Inggris, yang menerapkan prinsip Belveridge.

Dalam hal ini, kebijakan diskriminatif (inequalities) memajaki lebih tinggi kelas berpendapatan menengah ke atas menjadi sah selama hasil pajak itu digunakan untuk menalangi iuran golongan tak mampu dan kelas pekerja informal berpendapatan pas-pasan. Dengan begitu, semoga pelaksanaan JKN dapat berjalan lebih optimal untuk menciptakan rasa aman dan keadilan bagi seluruh masyarakat Indonesia.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar