Tampilkan postingan dengan label Marwan Mas. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Marwan Mas. Tampilkan semua postingan

Rabu, 02 April 2014

Berpesta dengan Dana Bansos

Berpesta dengan Dana Bansos

Marwan Mas  ;   Guru Besar Ilmu Hukum Universitas 45, Makassar
KORAN SINDO, 02 April 2014
                                      
                                                                                         
                                                             
Belum lama ini Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menyurati Presiden Susilo Bambang Yudhoyono yang isinya meminta agar dana bantuan sosial (bansos) dibekukan sampai penyelenggaraan Pemilu 2014 berakhir.

KPK menilai penggunaan dana bansos menjelang pemilu sangat rawan disalahgunakan untuk kepentingan politik pihak-pihak tertentu yang memiliki kewenangan mencairkannya. Berkaca pada pemilu sebelumnya, besaran dana bansos dan hibah dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) selalu mengalami peningkatan yang besar. Data Kementerian Keuangan soal alokasi dana bansos dalam APBN 2014 meningkatdari Rp 55,9 triliun pada 2013, menjadi Rp 73,2 triliun.

Pemerintah beralasan kenaikan itu untuk mendukung program jaminan kesehatan masyarakat melalui institusi Badan Pengelola Jaminan Sosial. Malah dalam pemutakhiran data terakhir, alokasi dana bansos terus meningkat sampai hitungan Rp 91,8 triliun. Alasan penambahan lantaran adanya perubahan posting sejumlah anggaran dari yang awalnya belanja infrastruktur dan belanja barang menjadi belanja sosial. Tentu rakyat menyambut baik peningkatan dana bansos, apalagi menurut Badan Pusat Statistik (BPS) bahwa tahun 2013 penduduk yang masuk kategori miskin lebih dari 28,07 juta orang.

Bancakan Dana Kampanye

Jangan sampai dana bansos dijadikan bancakan untuk dana kampanye oleh segelintir parpol yang kadernya punya kewenangan mencairkan dana bansos. Ini bisa terjadi lantaran tujuan alokasi dalam skema anggaran negara dan daerah dimungkinkan untuk melakukan penyimpangan. Padahal, bansos merupakan pemberian uang atau barang dari pemerintah kepada individu, keluarga, kelompok dan/atau masyarakat dalam periode tertentu. Dilakukan secara selektif dengan tujuan melindungi masyarakat dari kemungkinan terjadinya risiko sosial.

Dari sepuluh kementerian yang mendapat dana bansos, delapan di antaranya dipimpin menteri dari kader partai politik. Lima kementerian itu ternyata menterinya terdaftar sebagai caleg, masingmasing: Menteri Koperasi dan UKM Syarif Hasan, Menpora Roy Suryo, Menteri Pertanian Suswono, Menakertrans Muhaimin Iskandar, dan Menteri PDT Helmy Faishal. Memanipulasi dana bansos, meskipun Permendagri Nomor 32/2011 yang diubah dengan Permendagri Nomor 39/2012 tentang Pedoman Pemberian Dana Hibah dan Bansos yang Bersumber dari APBD, menutup ruang penyelewengan, tetapi tetap saja bisa dibobol.

Pengelolaan dana bansos di daerah tidak maksimal lantaran kepala daerah yang menjadi ketua atau kader parpol ikut bermain. Semestinya dana bansos diberikan secara selektif untuk melindungi masyarakat dari kemungkinan terjadinya risiko sosial. Tetapi karena pejabat yang diberi kewenangan begitu luas menentukan siapa yang diberi bantuan, maka tipu muslihat dana bansos untuk kepentingan sendiri semakin marak terjadi.

Alih-alih menjadi penyelamat bagi rakyat yang terjerat kemiskinan, justru dibenamkan dalam kemiskinan lantaran diberikan pada yang tidak berhak. Dana bansos lebih sering digunakan oleh elite pemerintah pusat, pemimpin kementerian, dan pemerintah daerah untuk kepentingan kegiatan politiknya. Tetapi begitu sulit ditelusuri efektivitas dan akuntabilitas penyaluran, penggunaan, dan pelaporan hasil kegiatannya.

Kapital Politik

Berbagai cara dilakukan untuk mengakali dana bansos seperti yang terungkap dalam sidang pengadilan tindak pidana korupsi di berbagai daerah. Misalnya diberikan pada organisasi fiktif, mencatut warga tertentu, membentuk lembaga sosial masyarakat (LSM) dadakan hanya untuk menerima bansos, tetapi setelah dana cair, LSM-nya sudah tidak ketahuan rimbanya. Ada juga yang diberikan kepada keluarga dan kolega anggota legislatif seolah-olah sebagai bantuan pribadi dari anggota DPR/DPRD, padahal uang pelicin agar nantinya dipilih kembali atau untuk tim sukses.

Memasuki masa kampanye pemilu legislatif sejak 16 Maret 2014, ditengarai pencairan dana bansos meningkat tajam. Ini diindikasikan oleh berbagai LSM sehingga semua komponen masyarakat harus bersikap, bahwa dana bansos tidak boleh dijadikan ‘kapital politik’ oleh parpol dan caleg tertentu. Berdasarkan temuan Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) tahun 2012, sekitar Rp31,66 triliun dana bansos yang bermasalah dan diduga diselewengkan. Kita berharap agar selain menghentikan pencairan dana bansos sampai selesai pesta demokrasi, juga meminta agar kementerian dan pemerintah daerah lebih transparan dengan membuka data penyaluran dana bansos.

Jangan sampai penyaluran dana sebelum pelaksanaan kampanye sudah diintervensi oleh pimpinan parpol yang berkuasa. Tentu akan dijadikan kapital politik, sebab para caleg butuh dana besar untuk membiayai kampanyenya sekaligus dijadikan sarana untuk merayu pemilih. Untuk mengamankan dana bansos dari tangan-tangan jahil, perlu diawasi dengan ketat. Dari pengaturan, penilaian siapa yang berhak menerima, pencairan, sampai pada pelaporannya. Jangan ada yang berwarna “abu-abu” karena dari situlah tipu-tipu penentuan siapa yang menerima dimanipulasi.

Selasa, 01 April 2014

Awas Kampanye Dana Bansos

Awas Kampanye Dana Bansos

Marwan Mas  ;   Guru Besar Ilmu Hukum Universitas 45, Makassar
SINAR HARAPAN, 01 April 2014
                                      
                                                                                         
                                                             
Tajuk harian Sinar Harapan, Senin (24/3), menyajikan data Kementerian Keuangan (Kemenkeu) mengenai alokasi bantuan sosial (bansos) dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) 2014 yang naik dari Rp 55,9 triliun pada tahun sebelumnya, menjadi Rp 73,2 triliun.

Kabarnya, kenaikan sekitar Rp 20 triliun itu untuk mendukung program jaminan kesehatan masyarakat melalui institusi Badan Pengelola Jaminan Sosial (BPJS), yang ternyata juga di berbagai daerah menimbulkan persoalan. Pelayanan BPJS jauh lebih jelek dibandingkan saat ditangani Asuransi Kesehatan (Askes).

Penggunaan dana bansos sudah lama menjadi sorotan publik. Itu lantaran pengelolaannya tidak transparan. Malah berkembang cerita, korupsi dana bansos sudah dicita-citakan. Indikasinya bisa dilacak dari maraknya politik transaksional, yang bukan hanya karena motivasi uang, melainkan juga telah menggerogoti demokrasi elektoral.

Bukan hanya itu, pembenaran bisa dilihat dari fakta yang terungkap dalam sidang pengadilan tindak pidana korupsi (tipikor), bahwa kepala daerah yang menjadi terdakwa korupsi Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) itu untuk menebus biaya politik saat pencalonan dan kampanye.

Untuk 2013, Indonesia Corruption Watch (ICW) mencatat 35 kepala daerah, didominasi bupati/wali kota, yang dipenjara karena terlibat menyelewengkan dana APBD. Itu termasuk menyelewengkan dana bansos.

Ada kesan, frasa “sosial” dalam pemberian dana bansos beralih fungsi dengan memasukkan kepentingan kepala daerah yang menjual kata “sosial” menjadi “rakyat”. Itu dengan menepikan idealisme dan tujuan pengadaan dana bansos dalam APBN dan APBD.

Dugaan kuat seperti itu sudah dimulai saat penganggaran dana bansos di legislatif. Bahkan sudah ada niat negatif untuk penggunaan dana itu secara tidak benar dari sana. Inilah yang boleh disebut sebagai langkah reaktif dari tebersitnya cita-cita menyalahgunakan dana tersebut.

Fakta yang terungkap di pengadilan tipikor tentulah tidak boleh dibiarkan berkembang, apalagi kalau sudah dicita-citakan. Sekitar Rp 31.66 triliun dana bansos yang ditemukan Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) tahun lalu yang bermasalah diduga diselewengkan.

Pesta Kampanye

Sebelum memasuki kampanye pemilihan umum (pemilu) pada 16 Maret, Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) pernah memperingatkan kementerian negara dan kepala daerah agar tidak memanipulasi dana bansos untuk kepentingan politik.

Tentu kita tidak ingin ada yang berpesta politik dengan menggunakan dana bansos atau menjual rakyat melalui penyaluran dana bansos tetapi dipakai kader partai politik tertentu atau tim suksesnya.

Malah KPK yang didukung berbagai pihak mengusulkan, pencairan dana bansos dalam APBN 2014 ditangguhkan. Dana bansos barulah digulirkan kepada warga yang betul-betul membutuhkan setelah pemilihan legislatif (pileg) dan pemilihan presiden (pilpres) berakhir. Usulan ini layak diapresiasi.

Ini untuk mencegah sedini mungkin penyelewengan dana bansos bagi kepentingan pihak tertentu dengan dijadikan sebagai jualan kampanye.

Tetapi, pemerintah tetap bergeming dan dana bansos tetap disalurkan dengan alasan membayar penerima bantaun iuran bagi masyarakat peserta jaminan kesehatan.

Peringatan KPK seharusnya diikuti sebagai upaya pencegahan. Jangan sampai penyaluran dana diintervensi calon anggota legislatif (caleg) tertentu untuk kepentingan individu. Itu misalnya, menyampaikan kepada masyarakat yang memperoleh dana bansos bahwa pencairan itu atas perjuangannya.

Mengacu hasil riset Lembaga Penyelidikan Ekonomi dan Masyarakat Universitas Indonesia (Media Indonesia, 20/3/2014), seorang caleg DPR rata-rata mengeluarkan dana Rp1,18 miliar selama kampanye. Itu belum termasuk pengeluaran partai politik. Begitu pula caleg provinsi dan kabupaten/kota, dana yang digelontorkan tidak jauh berbeda. Malah ada yang lebih besar untuk kepentingan menyogok pemilih.

Sekiranya, sumber dana itu memang murni dana pribadi atau sumbangan yang dilegalkan undang-undang, tentu sah-sah saja. Itu karena memang ia yang membiayai kampanyenya. Namun, yang menjadi persoalan jika yang dipakai itu uang negara yang berbalut bantuan dana bansos, hibah, bahkan dengan membobol ABPD melalui berbagai cara.

Pengawasan Ketat

Mengacu banyaknya fakta yang terungkap dalam sidang pengadilan mengenai penyelewenngan dana bansos, perlu pengawasan ketat. Itu agar tidak menjadi preseden setiap mendekati pemilu.

Hal tersebut karena dana bansos ditujukan untuk rakyat, yang secara sosial membutuhkan. Ini memang mudah dijadikan sasaran empuk untuk membiayai kampanye partai politik. Indikasinya dapat dilihat dari setiap mendekati pileg, bahkan pemilihan kepala daerah (pilkada), dana bansos dalam APBN dan APBD selalu ditingkatkan.

Dari sepuluh kementerian yang mendapat dana bansos, delapan di antaranya dipimpin menteri dari kader partai politik. Lima kementerian ternyata menterinya terdaftar sebagai caleg. Mereka adalah Menteri Koperasi dan UKM Sjarif Hasan, Menteri Pemuda dan Olahraga Roy Suryo, Menteri Pertanian Suswono, Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi Muhaimin Iskandar, dan Menteri Problem Daerah Tertinggal Helmy Faishal (Sinar Harapan,16/11/2013).

Rakyat menyambut baik peningkatan dana bansos karena memang begitu banyak rakyat di negeri ini yang sangat membutuhkannya. Menurut Badan Pusat Statistik (BPS), pada 2013, penduduk miskin dengan pengeluaran per kapita tiap bulan di bawah garis kemiskinan lebih dari 28,07 juta orang.

Mereka inilah yang layak mendapat dana bansos. Bukannya dana itu malah dijadikan bancakan untuk kepentingan pesta demokrasi. Kalau ada kepala daerah, caleg, dan partai poliitik yang memanipulasi dana bansos untuk kampanye pemilu, berarti korupsi dana bansos itu sudah dicita-citakan secara sistematis.

Memanipulasi dana bansos, meskipun Peraturan Menteri Dalam Negeri (Permendagri) Nomor 32/2011 yang diubah dengan Permendagri Nomor 39/2012 tentang Pedoman Pemberian Dana Hibah dan Bansos yang Bersumber dari APBD, menutup ruang penyelewengan, tetap saja bisa dibobol.

Pengelolaan dana di daerah tidak maksimal lantaran kepala daerah yang memegang partai politik ikut bermain.

Padahal, dana bansos adalah pemberian uang atau barang dari pemerintah kepada individu, keluarga, kelompok dan/atau masyarakat dalam periode tertentu. Itu diperoleh dari pajak dan hasil bumi. Tentu saja dana ini tidak boleh dimanipulasi, seolah-olah diberikan karena jasa kepala daerah. Bansos harus diberikan secara selektif. Ini untuk melindungi masyarakat dari kemungkinan risiko sosial.

Jumat, 24 Mei 2013

Kebangkitan Calo Kekuasaan

Kebangkitan Calo Kekuasaan
Marwan Mas ;  Guru Besar Ilmu Hukum Universitas 45, Makassar
KORAN SINDO, 24 Mei 2013



Ternyata bukan hanya proyek di kementerian Ahmad Fathanah menjadi “calo”, tetapi juga dalam pemilihan kepala daerah. Sang calo kekuasaan bisa dengan leluasa mengatur jumlah uang mahar, kemudian menghubungi pimpinan partai politik (parpol) tertentu agar diberi rekomendasi untuk diusung sebagai calon kepala daerah. 

Tentu ini tidak gratis, uang mahar dipotong Fathanah sebagai upah yang menghubungkan sang calon dengan pimpinan parpol. Hal itu diberitakan di media massa, bahwa mantan calon Gubernur Sulawesi Selatan periode 2013-2018, Ilham Arief Sirajuddin menyetor sejumlah uang sebagai mahar kepada Partai Keadilan Sejahtera (PKS) melalui Fathanah. 

Realitas ini semakin memperkuat fakta tentang betapa kuatnya pengaruh para calo dalam kehidupan bernegara untuk meraih kekuasaan. Tidak jauh beda dengan sepak terjang Muhammad Nazaruddin dan Gayus Tambunan. Keduanya juga bekerja sebagai calo yang mampu mengubah kebijakan berdasarkan pesanan dengan imbalan. Para calo kekuasaan dan proyek bisa membius penentu kebijakan agar dukungan diberikan, kemudian mendistribusi dana dengan alasan sebagai biaya sosialisasi dan biaya kampanye. 

Kekuasaan Tergadai 

Para calo kekuasaan tentu berbeda dengan calo jual-beli kendaraan bermotor, sebab mereka mampu menciptakan kekuatan di lingkar kekuasaan tertentu. Fungsinya tentu saja sebagai “pengatur” dan pelobi ulung untuk menyatukan dua kepentingan. Mereka punya kemampuan berkomunikasi untuk meyakinkan banyak pihak dengan menggadaikan kekuasaan. 

Ia mencaloi berbagai kebutuhan pemegang kebijakan atau kelompok tertentu yang bermental korup. Kalau perlu, mengeluarkan kocek sendiri sebelum sang pemesan menggelontorkan dananya sesuai kebutuhan. Setelah sang pemesan membayar lunas, dana yang dikeluarkan ditambah upah calo akan dipotong, sisanya diberikan kepada sang penentu kebijakan. 

Dana yang dijadikan uang mahar–lebih tepat disebut uang suap jika mengacu pada UU Korupsi—boleh jadi berasal dari sumber yang tidak jelas. Maka, tidak mengherankan jika pada lingkar kekuasaan tertentu publik bisa melihat para calo begitu sangat berkuasa. Lihat saja bagaimana kekuatan Gayus, meski sudah meringkuk dalam tahanan polisi, tetapi bisa membuat sejumlah petinggi hukum takluk pada keinginannya. Ia melenggang bebas ke luar negeri, menonton pertandingan tenis dunia saat menjalani masa penahanan. 

Begitu pula Nazaruddin, mampu memengaruhi Badan Anggaran DPR dan mengatur anggaran berbagai proyek pemerintah. Aksi Nazaruddin malah menyeret sejumlah nama penting elite Partai Demokrat. Begitu pula Fathanah, nama baru yang populer belakangan ini, juga punya peran penting yang tak kalah dengan Nazaruddin dan Gayus. Ulah Fathanah dalam kasus impor daging sapi di Kementerian Pertanian juga menciptakan prahara di PKS. 

Kedekatannya dengan mantan Presiden PKS Luthfi Hasan Ishaaq malah menyeret sang pemimpin ke ruang tahanan KPK. Bukan hanya itu, Fathanah juga mampu menyihir sejumlah selebritas cantik karena pengaruh uang, hadiah mobil, perhiasan, dan jam tangan bermerek. Ternyata kehidupan pribadi Fathanah yang warna-warni itu bisa dengan mudah mengatur tokoh penting partai politik. 

Produk Reformasi 

Tidak bisa disangkal, banyaknya calo kekuasaan sebagai salah satu dampak negatif dari pemilihan langsung dan merupakan produk reformasi. Setelah 15 tahun reformasi yang ditandai dengan berhentinya Presiden Soeharto dari tampuk kekuasaan pada 20 Mei 1998, melahirkan berbagai persoalan mendasar. Temuan KPK dalam mengungkap jejaring korupsi, bisa dijadikan indikator. 

Misalnya, dalam beberapa kasus korupsi dengan pola pencucian uang, suap, dan gratifikasi sudah menjadi bagian dari gaya hidup sebagian penyelenggara negara. Terungkapnya berbagai gaya hidup sejumlah orang penting dalam pemerintahan dan penegak hukum yang bermental korup merupakan bukti dari kegagalan reformasi. Padahal, reformasi menghendaki adanya penegakan hukum yang konsisten, adanya perubahan gaya hidup dalam pemerintahan. 

Ketidakwajaran itulah yang menjelaskan ke ruang publik bahwa kegagalan reformasi bisa membawa negeri ini ke jurang kehancuran. Salah satu penyebab kegagalan reformasi lantaran para pelakonnya tidak punya visi yang jelas. Malah dibajak oleh penumpang gelap, yang pada saat gerakan reformasi bergulir justru menjadi pendukung Orde Baru. Mereka lebih banyak mengejar kepentingan sendiri dan kelompoknya. 

Begitu pula mahasiswa yang awalnya pejuang reformasi, tetapi saat masuk dalam sistem kekuasaan, justru ikut terseret arus balik reformasi dengan melakukan korupsi. Begitu kuatnya pengaruh para calo dalam penyelenggaraan kehidupan politik dan kenegaraan menunjukkan kebangkitan para calo kekuasaan yang tidak bisa dibendung. Malah membenamkan kebangkitan penegakan hukum karena memiliki celah untuk diakali. Akibatnya, korupsi dan oligarki kekuasaan yang dulu dipraktikkan rezim Orde Baru malah ditiru oleh pelaksana reformasi. 

Korupsi banyak dilakukan kalangan muda yang dulu berjuang menegakkan reformasi, melakukan politik transaksional saat duduk di parlemen. Lebih aneh lagi, meski korupsi sudah jadi penyakit mematikan tetapi belum terlihat upaya pemerintah yang lebih bertenaga untuk menghambat pergerakannya. Untuk menyetop perampokan uang negara, tidak bisa hanya dengan retorika, apalagi sekadar imbauan. Sepak terjang para calo kekuasaan seharusnya dijadikan titik penting untuk membangun kesamaan persepsi bahwa negeri ini harus dijadikan “neraka” bagi koruptor. 

Minggu, 12 Mei 2013

Mempersoalkan Caleg Bermasalah


Mempersoalkan Caleg Bermasalah
Marwan Mas  ;  Guru Besar Ilmu Hukum Universitas 45, Makassar
KORAN SINDO, 13 Mei 2013


Lantaran partai politik (parpol) tidak siap menghadapi pemilu umum (pemilu) 2014, banyak calon anggota legislatif (caleg) ditemukan Lembaga Pemilih Indonesia (LPI) merupakan sosok bermasalah. 

Parpol terkesan masih mengandalkan pada popularitas seseorang, sehingga di antara caleg yang diajukan merupakan sosok bermasalah. Kita berharap agar caleg bermasalah tidak diloloskan oleh Komisi Pemilihan Umum (KPU). Caleg yang dikategorikan bermasalah bukan hanya karena terkait masalah hukum, melainkan juga yang tidak memenuhi persyaratan administrasi, karena kolusi dan nepotisme atau hubungan keluarga dengan pimpinan parpol. 

Korupsi bukan satu-satunya masalah, sebab unsur nepotisme merupakan cacat dalam bentuk lain. Misalnya dalam daftar caleg sementara (DCS) hasil verifikasi administrasi KPU terhadap berkas para caleg DPR (7/5), banyak pasangan suami-istri, anak, adik, dan ipar dari pimpinan parpol tanpa pertimbangan kualitas. Data itu membuat kita pesimistis bahwa Pemilu 2014 akan mampu menghasilkan anggota legislatif berkualitas, yang mau dan mampu memperjuangkan nasib rakyat. 

Ketidakberanian partai mencoret pemain lama yang beraroma korupsi, menjadi indikasi kalau partai tidak melakukan perubahan apa-apa. Kekuasaan tetap menjadi pilihan utama, meski ada masalah. Malah ada tiga parpol, yakni Partai Keadilan Sejahtera (PKS), Partai Persatuan Pembangunan (PPP), dan Partai Keadilan dan Persatuan (PKPI), seratus persen tidak memenuhi syarat administrasi. Mereka terancam tidak ikut pemilu jika tidak mampu memenuhi syarat administrasi sampai 22 Mei 2013. 

Daur Ulang 

Ternyata sekitar 90,1% DCS untuk DPR masih pemain lama. Parpol melakukan jalan pintas dengan mendaur ulang calegnya atau memasang selebritas dari kalangan artis. Dari satu sisi bisa dipahami kenapa parpol masih mencalonkan kader lama yang sedang duduk di parlemen. Tentu ini pertimbangan pragmatis, mereka masih diandalkan meraup suara lantaran sudah menanam jasa politik di masyarakat. 

Tetapi pada sisi lain, caleg daur ulang mengindikasi bahwa parpol belum berhasil melakukan kaderisasi. Belum ada upaya radikal untuk mendidik kader muda yang bisa diandalkan untuk dijual ke publik. Indikasi lain dari kegagalan parpol dari sisi administrasi adalah: adanya caleg ganda yang maju melalui lebih dari satu partai atau berada di lebih dari satu daerah pemilihan. I

ni menandakan amburadulnya administrasi internal partai. Ada kegalauan parpol dalam menjalankan fungsinya sebagai lembaga kaderisasi pemimpin dan politisi unggul. Lebih memprihatinkan lagi, karena ada parpol memasang harga mahal bagi calegnya. Hasil penelitian disertasi Doktor Pramono Anung menyebut: biaya untuk maju dalam pencalonan legislatif bervariasi antara Rp250 juta hingga Rp6 miliar. Muncullah sinisme, orang miskin dilarang jadi caleg. 

Memang tidak ada yang salah, bahkan sama sekali tidak dilarang dalam undang-undang. Hanya, sebagian dari mereka punya implikasi yang kurang menguntungkan terhadap institusi parlemen, sebab ada yang terindikasi kasus hukum. Maka itu, rakyat tidak punya banyak pilihan, malah ada keraguan kualitas parlemen mendatang tidak akan lebih baik dari sebelumnya. 

Ketua DPR Marzuki Alie juga mengakui soal itu. Setidaknya muka-muka lama akan menentukan bulatlonjong atau hitam-putihnya wajah parlemen mendatang. Mereka dianggap ”siap saji” lantaran sudah berpengalaman. Tetapi sayangnya, muka-muka lama, baik caleg DPR maupun DPRD sudah telanjur dicap publik belum mampu menunjukkan kinerja yang baik. 

Misalnya malas mengikuti persidangan, menghamburkan anggaran lantaran doyan pelesiran dengan modus proses legislasi, menuntut banyak fasilitas mewah, bahkan tidak sedikit yang terlibat kasus korupsi dan asusila. 

Caleg Artis 

Bukan hanya parpol lama yang masih mengandalkan artis untuk meraup kursi di Senayan. Partai NasDem, salah satu parpol pendatang baru juga tidak mau kalah. Sederetan nama artis juga masuk dalam daftar calon legislatif. Sebut saja Doni Damara, Jane Shalimar, Mel Sandy, Melly Manuhutu, Sarwana, dan mantan pemain bulu tangkis Ricky Subagja. Kita masih tetap ragu terhadap kualitas dan kompetensi caleg artis, terutama artis pemain baru di dunia politik. 

Maka itu, jangan terlalu banyak berharap pada sosok wakil rakyat untuk benar-benar menyuarakan kepentingan rakyat yang diwakilinya. Sangat sedikit parpol yang berani mengajukan kader baru, sementara artis hanya sekadar dijadikan alat untuk mendulang suara (vote getter). 

Realitas di DPR, banyak kasus wakil rakyat dari kalangan artis hanya sebagai pajangan karena tidak memberikan kontribusi pemikiran yang brilian. Seharusnya parpol menyuguhkan beragam alternatif dengan mengajukan caleg yang lebih segar, lebih berintegritas, punya kualitas kompetensi, dan berani memperjuangkan kepentingan rakyat. 

Akan lebih bermartabat sekiranya pemilu legislatif tidak sekadar dijadikan pesta demokrasi formalitas lima tahunan. Juga tidak boleh cuma menjadi momentum yang menandai babak baru perpolitikan, tetapi miskin substansi dan kualitas. 

Pengalaman di berbagai negara demokrasi yang sudah mapan, pemilu selalu dijadikan wahana pembaruan dan penyegaran politik. Bukan mengulang kekeliruan masa lalu. Pemilu 2014 bisa terintegrasi dengan baik, jika parpol peserta pemilu benar-benar melakukan fungsi kaderisasi dan rekrutmen caleg dengan berdasarkan pada orientasi dan akar masyarakat. 

Parpol harus melepaskan diri dari belenggu ”keranjang sampah” yang diisi barang serbamewah, tetapi tidak menyehatkan. Malah, berpotensi menumbuhkan kaderisasi calon koruptor lantaran banyaknya biaya yang dikeluarkan.

Rabu, 01 Februari 2012

Menuai Warisan Kasus


Menuai Warisan Kasus
Marwan Mas, GURU BESAR ILMU HUKUM UNIVERSITAS 45, MAKASSAR
Sumber : SUARA KARYA, 1Februari 2012



Harapan rakyat begitu besar terhadap pimpinan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) yang baru dilantik Presiden SBY, medio Desember lalu. Apalagi, Ketua KPK Abraham Samad telah berjanji akan pulang kampung (mengundurkan diri) jika selama setahun tidak mampu berbuat banyak. Publik mengartikan janji Abraham: akan mengungkap semua kasus korupsi besar yang diwariskan pendahulunya.

Sementara ublik mencatat, kasus besar yang diwariskan KPK lama adalah kasus BLBI, Bank Century, Wisma Atlet, yang sejauh ini hanya menjaring pelaku pinggiran. Kasus-kasus lainnya yang diharapkan perlu ditindaklanjuti adalah kasus Hambalang yang diungkap Nazaruddin, dugaan mafia anggaran DPR yang hanya menetapkan sang peniup peluit Waode Nurhayati, serta kasus suap cek pelawat pemilihan Deputi Senior Bank Indonesia yang juga belum tuntas.

Banyak negara di dunia menyatakan perang terhadap korupsi. Karena, korupsi terbukti menimbulkan dampak buruk yang sangat luas, seperti menciptakan kemiskinan di mana-mana. Keseriusan sejumlah negara memberantas korupsi, mengakibatkan kejahatan korupsi yang luar biasa itu berhasil ditekan. Koruptor diberangus, bahkan dihukum mati seperti di China.

Di Indonesia? Para koruptor tidak pernah divonis hukuman mati. Padahal, hukuman penjara tidak mampu membuat jera, tertangkap satu, muncul sederet koruptor baru. Ditemukannya rekening gendut sejumlah pegawai negeri sipil muda, bisa dijadikan indikasi telah terjadi regenerasi korupsi di negeri ini.

KPK jiilid III harus menjawab dengan kerja keras dalam menangani semua kasus yang terbengkelai, ditinggalkan pimpinan lama. Sebab, banyak yang meragukan janji Ketua KPK Abraham Samad, jika dikaitkan dengan pola kerja KPK yang 'kolektif-kolegial'.

Direktur Pukat Antikorupsi UGM, Zainal Arifin Mochtar menyebut janji Abraham bisa berubah menjadi bumerang, apalagi jika berkaitan dengan kerja kelembagaan yang kesemuanya diselesaikan secara putusan kolektif-kolegial. Zainal ragu, janji penyelesaian kasus besar berpeluang menjadi batu sandungan secara politik jika ditagih di kemudian hari.

Pimpinan baru harus berani, profesional, dan lebih cerdas memilah kasus mana saja yang menjadi perhatian publik. Harus ada skala prioritas yang strategis, seperti keberhasilan ICAC di Hongkong yang pada awalnya fokus pada pembersihan aparat hukum. Setelah aparat hukum (polisi, jaksa, hakim) bersih, barulah memperluas bidikan pada lembaga pemerintah dan swasta, termasuk mengembangkan pencegahan dan pendidikan antikorupsi bagi rakyat.

Bukan hanya itu, dalam membongkar kasus besar, KPK juga perlu melakukan upaya untuk mendongkrak pertumbuhan ekonomi. Sebab, salah satu indikator keberhasilan memerangi korupsi jika hasilnya berkorelasi dengan perbaikan kehidupan ekonomi rakyat, lantaran uang negara mampu diselamatkan dari tangan koruptor. Jika ini bisa diapresiasi, selain akan mendapat dukungan luas, juga akan mengembalikan aset negara yang selama ini kurang diseriusi.

KPK harus mampu membuat keputusan yang tepat tanpa dibarengi polemik. Saatnya janji-janji direalisasi dan tidak perlu khawatir, apalagi takut. Rakyat dan DPR berdiri di belakang mereka. Sebaliknya, jika kasus besar yang diproses itu secara hukum memang tidak ditemukan bukti kuat terjadi korupsi, juga harus jujur dan disampaikan ke publik. Semua dilakukan demi hukum secara objektif, bukan untuk kepentingan politik atau memuaskan salah satu pihak. Kebenaran harus diurai agar rakyat tidak curiga sesama warga bangsa.

Budaya Suap

Kebiasaan dalam mengurus sesuatu, seperti surat izin mengemudi, izin mendirikan bangunan, bahkan mengurus kartu tanda penduduk, uang tip selalu menyertainya. Setiap mengurus sesuatu yang berhubungan dengan aparat pemerintah, uang ekstra tak pernah dilupakan. Kalaupun ada instansi yang aparatnya sudah bersih dari kebiasaan menerima sesuatu saat mengerjakan kewajibannya, boleh jadi jumlahnya masih kecil.

Memberi dan menerima uang untuk melancarkan urusan tanpa mau bersusah-susah, tampaknya sudah membudaya di negeri ini. Dalam urusan bisnis, misalnya, suap-menyuap sudah dianggap hal biasa. Proyek tidak akan lancar, kalau tidak ada uang tempelnya. Sudah begitu bobrokkah moral aparat negeri ini dalam soal suap-menyuap?

Transparansi Internasional menjawabnya melalui hasil survei tentang kecenderungan pebisnis dalam praktik suap-menyuap. Survei dilakukan terhadap 3.016 eksekutif bisnis di 28 negara. Hasilnya sudah dapat diduga, lagi-lagi Indonesia masuk dalam empat besar peringkat terburuk (urutan ke-25).

Suap-menyuap, merekayasa anggaran, membelokkan dana sosial untuk kepentingan rakyat kecil ke kantong pribadi, persekongkolan antara pemerintah, anggota DPR, dan pihak swasta dalam mengakali uang atau kekayaan alam, dianggap sebagai hal yang lumrah. Tetapi, anehnya, meskipun ditangkap tangan oleh KPK, terkesan mereka bangga dicap sebagai koruptor.

Dipenjara sekalipun tidak akan membuat nyali mereka kendur lantaran ditoleransi dengan kenikmatan berbagai fasilitas seperti di rumah sendiri. Hanya mengeluarkan sedikit uang hasil korupsi untuk menyogok petugas lembaga pemasyarakatan, kenikmatan pun masih tetap bisa dirasakan sehingga membuat calon koruptor baru tidak merasa takut.

Modus penyuapan bermacam-macam, mulai dari suap-menyuap untuk memenangkan tender proyek, menghindari regulasi, mempercepat urusan, sampai memengaruhi kebijakan. Jika semuanya bisa diungkap dan di bawa ke pengadilan, dipastikan optimisme publik terhadap KPK akan kembali pulih karena mampu menoreh sejarah baru dalam pemberantasan korupsi di negeri ini. Semoga.

Selasa, 31 Januari 2012

Tuntaskan Bengkalai Korupsi


Tuntaskan Bengkalai Korupsi
Marwan Mas, GURU BESAR ILMU HUKUM UNIVERSITAS 45, MAKASSAR
Sumber : SINDO, 1Februari 2012


Menjelang tutup tahun 2011, ada kabar yang cukup menggembirakan dari Transparency International, sebuah organisasi nonpemerintah asing, bahwa indeks persepsi korupsi (IPK) Indonesia tahun 2011 meningkat menjadi 3 dari 2,8 tahun 2010. Tapi IPK ini hanya “persepsi publik”, sebab realitas menunjukkan begitu banyak kasus korupsi kelas kakap yang “terbengkalai”. Di antaranya kasus BLBI, Bank Century, suap pembangunan Wisma Atlet yang hanya menjaring pelaku pinggiran meski diduga melibatkan elite-elite Partai Demokrat, kasus Hambalang,dugaan mafia anggaran DPR yang hanya menetapkan sang peniup peluit Wa Ode Nurhayati sebagai tersangka, serta kasus suap cek pelawat pemilihan Deputi Senior Bank Indonesia yang baru menetapkan Miranda S Goeltom sebagai tersangka, tetapi masih jauh dari tuntas.

Ini menunjukkan bahwa uang negara dikorup elite politik dan kekuasaan, begitu susah tersentuh hukum.Hukum tumpul menghadapinya,tetapi tajam jika yang korup pejabat yang tidak punya sandaran politik. Mereka akan segera digiring ke ruang sidang pengadilan meski juga pada akhirnya lebih banyak diputus bebas oleh Pengadilan Tindak Pidana Korupsi. Begitulah potret buram pemberantasan korupsi yang membuat negeri ini menjadi surga bagi koruptor.

KPK baru yang sebenarnya diharapkan lebih gesit dan berani membongkar kasus korupsi kakap begitu lamban langkahnya, bahkan tertatih-tatih mengikuti perkembangan kasus Wisma Atlet yang terungkap dalam sidang pengadilan. Respons KPK serbanormatif, bahkan tidak memberi keyakinan bagi publik bahwa alat bukti yang ada sudah bisa ditingkatkan ke penyidikan. KPK terkesan terbelenggu ketentuan Pasal 40 UU Nomor 30/2002 tentang KPK yang melarang menghentikan penyidikan dan penuntutan.

Hukum yang Bertenaga

Banyaknya bengkalai kasus yang terpaksa di-carry over KPK jilid III tentu harus didukung oleh “hukum yang lebih bertenaga”.Bukan hanya regulasinya (substansi hukum) yang harus diperkuat, tetapi juga keberanian KPK (pelaksana hukum) yang nantinya akan didukung publik.

Janji Ketua KPK Abraham Samad yang akan pulang kampung (mengundurkan diri) jika dalam setahun tidak mampu berbuat banyak bisa ditafsirkan sebagai tekad untuk tidak takut membongkar kasus-kasus korupsi yang melibatkan pusat kekuasaan dan elite partai politik.Apalagi KPK memiliki pisau tajam berupa wewenang luar biasa dalam melakukan penyelidikan dan penyidikan. Meski begitu, KPK tidak boleh dibiarkan bekerja sendirian,semua komponen bangsa yang antikorupsi harus berdiri di belakang KPK untuk memerangi perilaku korupsi yang sistematis dan masif.

Begitulah realitas penanganan kasus-kasus korupsi kelas kakap di negeri ini, padahal Gustav Radbruch menggaungkan bahwa hukum bertujuan untuk memperoleh keadilan, kemanfaatan, dan kepastian. Tapi realitas berkata lain, penegakan hukum lebih mengembangkan pemahaman positivistis dan keadilan prosedural. Keadilan substansial yang membawa manfaat bagi rakyat banyak sebagai skala prioritas menurut Radbruch hanya dijadikan slogan. Mulai dari pembentukan hukum sampai pada penegakannya selalu menghitung agar kepentingan kekuasaan tidak dirugikan.

Hukum didesain mandul sehingga tidak berdaya menghadapi kekuatan di luar dirinya (faktor nonhukum). Disebutkan dalam “teori sibernetik” Talcott Parsons bahwa hukum dalam realitas tidak pernah otonom lantaran dipengaruhi oleh faktor nonhukum seperti kekuatan ekonomi, politik, sosial,dan budaya masyarakat. Akibatnya,hukum tidak pernah menjadi sarana terapi preventif lantaran lebih banyak difungsikan sebagai “proses formal” yang membuat para koruptor bisa lepas dari sanksi maksimal.

Inilah yang disebut almarhum Satjipto Rahardjo sebagai pembangkangan terhadap nilai-nilai substansial hukum. Pikiran-pikiran progresif yang seharusnya dipakai memerangi para koruptor yang melakukan kejahatan luar biasa justru dikecam dengan pandangan dan penghayatan pragmatis. Pemikiran sang begawan sosiologi hukum itu seharusnya dijadikan acuan dengan menjadikan “hukum lebih bertenaga” menghadapi kelihaian para koruptor. Deskripsi ini paling tidak bisa menggulung paham positivistis yang lebih banyak berlindung pada sisi teknis prosedural. Penguatan hukum harus didukung bersama agar negeri ini bisa bebas dari kekuasaan para koruptor.

Neraka bagi Koruptor

Apabila selama ini gertakan para pencoleng uang negara begitu kencang sehingga sering membuat polisi, jaksa, KPK, dan hakim kelimpungan saat memeriksa perkara korupsi, seharusnya itu tidak terjadi lagi dan harus dilawan. Sudah pasti rakyat akan membentengi aparat hukum dari tekanan para koruptor yang membuat mereka tidak punya pilihan.Makanya, hakim Pengadilan Tindak Pidana Korupsi harus memfungsikan hati nuraninya dalam memutus perkara korupsi, tidak hanya melaksanakan bunyi undang-undang secara kaku.

Harus memperhatikan kepentingan yang lebih luas karena undangundang selalu memiliki semangat untuk melindungi warga negara dari keserakahan para koruptor. Menyetop perampokan uang negara tidak bisa hanya dengan pandangan normatif, apalagi retorika atau imbauan yang tidak memiliki kekuatan apa-apa. Tugas pimpinan KPK yang masih dipercaya publik adalah untuk menggerakkan hukum agar lebih bertaring. Siapa pun yang terbukti merampok uang negara, tanpa pandang bulu,dibawa ke ruang pengadilan untuk diperiksa dan dijatuhi hukuman sesuai dengan kesalahannya.

Makanya, tak ada kata berhenti untuk memerangi perilaku korup,negeri ini harus jadi “neraka” bagi para koruptor. KPK tidak boleh ikut terjebak pada pola lama dalam menanganikasusyangterkaitdengan kekuasaan atau partai yang berkuasa.Kepercayaan publik bisa semakin tergerus jika masih tebang pilih,jika ketajaman pisau hukum hanya diarahkan ke bawah,sementara yang tumpul menghadap ke atas.

Semoga memasuki 2012, yang sebagian orang meyakini akan terjadi kiamat, bisa memompa nyali KPK terhadap pemeo hukum bahwa “sekalipun langit akan runtuh besok, hukum harus tetap ditegakkan”.