Tampilkan postingan dengan label 'Desakralisasi' PKS. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label 'Desakralisasi' PKS. Tampilkan semua postingan

Jumat, 24 Mei 2013

Desakralisasi PKS

Desakralisasi PKS
Jamal Wiwoho ;  Guru Besar Ilmu Hukum Fakultas Hukum 
Universitas Sebelas Maret, Pembantu Rektor II UNS Surakarta
KORAN SINDO, 24 Mei 2013



Rasanya hampir tak ada warga negara Indonesia yang memiliki akses pada media massa yang tak tahu prahara kasus dugaan korupsi serta berbagai turunannya yang menimpa Partai Keadilan Sejahtera (PKS). 

Bahkan, PKS pun bersitegang dengan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) yang dipandang merugikan partai ini. Melihat rangkaian kasus bersitegangnya KPK versus PKS, dalam pemahaman penulis telah terjadi banyak kesalahan komunikasi politik dan sosial yang dilakukan. Akhirnya kesalahan itu berujung pada terjadinya “desakralisasi” partai yang pernah dipersepsikan oleh publik sebagai partai yang bersih dan jujur itu. 

Kesalahan-kesalahan yang menuju “desakralisasi” tersebut diawali dengan penetapan LHI sebagai tersangka pada kasus kuota impor daging sangat mengagetkan masyarakat luas. Hampir tidak ada yang percaya manakala seorang ketua umum partai politik yang banyak disebut-sebut partai paling anti korupsi, diduga telah melakukan perbuatan yang bertentangan dengan rasa keadilan masyarakat. 

Selain faktor utama tersebut, “desakralisasi” PKS juga disebabkan oleh minimal enam hal lain. Pertama, selama terjadi ketegangan hubungan PKS versus KPK yang berkait ada tidaknya surat penyitaan dan penyegelan, PKS telah dipersepsikan oleh publik bahwa secara kelembagaan partai ini telah dianggap menghalang-halangi kinerja KPK sebagai lembaga anti-rasuah yang cukup kredibel saat ini. 

Ingat keberadaan KPK dengan segala kekurangan dan kelebihannya tetap dipersepsikan baik di mata publik. Oleh karena itu, melawan atau melakukan penyerangan kepada KPK sama maknanya melawan publik. Kedua, dalam komunikasi politik dan sosial terkait “gagalnya penyitaan” PKS menggunakan Fahri Hamzah (Wasekjen PKS) sebagai juru bicara atau setidaknya sebagai orang dari pimpinan PKS untuk memberikan informasi atas sikap partai. 

Gaya komunikasi “pribadi” Fahri yang tidak suka mendengar lawan bicara dan sok ingin menang sendiri serta sering memaksakan suatu pendapat dan kelihatan sangat emosional lebih memperkeruh serta mengurangi simpati publik tidak hanya pada Wasekjen PKS itu saja namun juga kepada partai. 

Hal ini akan berbeda manakala komunikasi politik dan sosial yang dilakukan oleh Hidayat Nur Wakhid (Ketua PKS) yang masih “njawani”, suka mendengar, tidak emosional, dan mampu memberikan argumen lurus tanpa harus mengalahkan lawan bicaranya. Ketiga, kedekatan Ahmad Fathanah (AF) dengan LHI sebagai Ketua Umum PKS. Gaya hidup AF terus dikorek media dan terbongkar bahwa sosok ini sangat royal terhadap wanita dan kedekatannya dengan puluhan wanita dan akhirnya menjadi konsumsi publik yang negatif. 

Tindakan-tindakan yang dilakukan AF tersebut sangat mengganggu persepsi publik karena PKS telah telanjur dipersepsikan sebagai partai yang “religius, sederhana dan antikorupsi”. Keempat, kesalahan yang cukup mengganggu simpati publik adalah PKS telah mengolok-olok KPK. 

Banyaknya pernyataan dari para petinggi PKS yang hampir semua mengolok-olok kinerja KPK secara khusus tanpa “surat perintah” seolaholah menjadi sumber terbesar dari ketidakprofesionalan KPK jika dibandingkan dengan urgensi dan makna penyitaan itu sendiri. Dalam persepsi publik, KPK bak seorang gadis cantik sempurna yang seandainya melakukan kesalahan sedikit maka publik terlalu mudah untuk memaafkannya. 

Semakin mengolok-olok KPK maka PKS semakin dijauhi publik dan dipersepsikan dengan partai yang tidak sejalan dengan pemberantasan korupsi di negeri ini. Kelima, dalam “peperangan” antara PKS dan KPK, partai yang dipersesikan oleh publik sebagai partai yang antikorupsi ini, tidak merangkul media arus utama (mainstream) sebagai media yang digunakan sebagai amunisi yang bisa mempengaruhi persepsi masyarakat. 

Media massa dan media elektronik yang berskala nasional yang mumpuni mempengaruhi masyarakat tidak digunakan secara efektif efisien, PKS masih mengandalkan web seperti PKS Piyungan, Islamedia, Dakwatuna dan media underbow PKS untuk melawan arus media nasional tersebut. 

Hal itu tentunya tidak maksimal dan belum banyak memengaruhi masyarakat untuk mengetahui maksud yang sebenarnya. Keenam, mengambil sikap ketika semua telah terlambat. PKS baru merelakan penyitaan enam mobil LHI oleh KPK setelah sembilan hari. Akan lebih baik manakala saat penyitaan yang gagal itu PKS merelakannya sebagai pernyataan bahwa PKS sebagai partai yang taat asas dan pro dengan pemberantasan korupsi. 

Memang harus diakui, kalau kita telusuri, kasus yang berkait kuota impor daging khususnya untuk LHI, ada beberapa hal yang “aneh” untuk diperhatikan. Beberapa di antaranya adalah: Pertama, dalam operasi tangkap tangan tidak sedang menerima suap, penanganan perkara yang menimpa LHI terkesan sangat cepat, baik penanganan maupun penetapannya sebagai tersangka. 

Respons ini tentunya berbeda jika dibandingkan dengan penanganan kasus megaproyek Hambalang, Depok, Jawa Barat, yang melibatkan mantan Menteri Pemuda dan Olah Raga Andi Alifian Mallarangeng dan mantan ketua Partai Demokrat Anas Urbaningrum yang terkesan lamban dan bahkan cenderung stagnan. Kedua, KPK hanya mengaku punya bukti yang tak boleh diungkap kecuali di sidang pengadilan. Hal ini berbeda jika dibandingkan dengan perkaraperkara lain, di mana KPK selalu memberikan informasi ke publik tentang alat-alat bukti yang didapatkannya. 

Ketiga, proses penetapan tersangka dan penjemputan paksa LHI dilakukan dalam tempo sangat singkat. Langkah ini juga berbeda dengan kasus-kasus lain yang ditangani oleh KPK misalnya kasus bailoutbank Century, Kasus Hambalang, dll. Keempat, adalah penetapan pejabat publik yang langsung ditangkap karena diduga menyetujui adanya suap langsung ditangkap oleh KPK tanpa diperiksa terlebih dahulu. 

Dalam pengamatan penulis, baru pertama kali KPK menetapkan seorang tersangka yang sedang menduduki jabatan publik sebagai anggota DPR dan ketua partai politik besar dalam waktu yang sangat singkat, sekaligus dilaksanakan penahanan. Mengakhiri tulisan ini, rupanya dalam waktu dekat ini “badai belum berlalu” bagi PKS yang selama tahun 2013 ini banyak sekali mengalami cobaan ketidakpercayaan publik karena adanya perbuatan pengurus teras partai dan orang dekat pengurus yang diduga telah melakukan perbuatan melawan hukum,  etika, moral dan melukai rasa keadilan dalam masyarakat. 

Penulis yakin PKS sebagai partai yang sumber daya manusianya cukup tangguh akan mampu untuk konsolidasi dan menatap tahun 2014 sebagai tahun politik dan tahun pembuktian apakah elektabilitas partai akan turun, tetap, atau bahkan naik jika dibandingkan dengan elektabilitas partai pada pemilihan umum tahun 2009. 

Kamis, 16 Mei 2013

“Desakralisasi” PKS


“Desakralisasi” PKS
Burhanuddin Muhtadi ;  Penulis Buku “Dilema PKS: Suara dan Syariah” (2012)
KORAN SINDO, 16 Mei 2013

”Bagi kami, Ustadz Anis Matta, Ustadz Hilmi Aminuddin bukan cuma pimpinan partai, tapi juga guru kami yang mengajarkan kehidupan kepada kami. Bagi kader, sangat sakit dan perih melihat keduanya dipanggil (Komisi Pemberantasan Korupsi/ KPK),” kata Ketua Divisi Humas PKS Mardani Ali Sera, Selasa (14/5/2013). 

Turbulensi politik pascaterkuaknya kasus dugaan suap daging impor yang melibatkan mantan Presiden PKS Luthfi Hasan Ishaaq (LHI) dan orang dekatnya, Fathanah, memasuki babak baru. Pucuk pimpinan tertinggi partai dakwah dipanggil oleh komisi anti-rasuah. Bisa dimengerti kegetiran kader partai menyaksikan Muraqib ‘Am mereka diperiksa KPK sebagaimana diwakili kesedihan Mardani Ali Sera. 

Muraqib ‘Am atau pengawas umum adalah istilah dalam gerakan tarbiyahuntuk menunjuk kepada pimpinan tertinggi Jamaah Tarbiyah, khususnya dalam kapasitasnya sebagai Ketua Dewan Pimpinan Tingkat Pusat (DPTP), atau Majlis Riqabah ‘Ammah. Meskipun baru diperiksa sebagai saksi, pemanggilan Hilmi Aminuddin tentu mengganggu “sakralitas” Muraqib ‘Am, apalagi dipanggil sebagai saksi dalam kasus korupsi. 

Putra beliau, Ridwan Hakim, juga dipanggil dalam perkara yang sama. Sebagai partai kader, posisi Muraqib ‘Am sangat istimewa karena menjadi soko guru bagi para pembina kader. Disengaja atau tidak, ada semacam “sakralisasi” terhadap posisi Muraqib ‘Am. Apalagi selaku Muraqib ‘Am, Hilmi Aminuddin jarang tampil di depan publik sehingga makin menambah sakralitas dirinya. 

Pada masa Orde Baru, jejaring Jamaah Tarbiyah yang menjadi embrio PKS menerapkan strategi “sirriyah al–tanzim wa alamiyyah al–dakwah” (struktur rahasia dengan pendekatan dakwah yang terbuka). Posisi-posisi kunci di puncak kepemimpinan organisasi sengaja dikaburkan, atau bahkan disembunyikan. Saat itu, modus operandi Jamaah Tarbiyah mirip isolated social movement organisation atau organisasi gerakan sosial yang terisolasi satu sama lain. 

Mereka tidak memiliki cabang dan bergantung pada kontak langsung antaranggota. Hal ini dapat dipahami karena situasi yang tidak kondusif membuat hubungan antarorgan tarbiyah harus terputus agar terhindar dari kontrol dan represi rezim Soeharto yang antipati terhadap Islam politik. Setelah Orde Baru tumbang, Jamaah Tarbiyah melakukan reorganisasi dengan mengawinkan gerakan sosial (social movement) dan partai. 

Prinsip yang dipakai “gerakan adalah partai dan partai adalah gerakan” (al-harakah hiya al-hizb wa alhizb huwa al-harakah). Karena itu, PKS adalah partai yang tidak biasa (unusual party) karena mengandalkan proses pengaderan sebagai tulang punggungnya. Dilihat dari sisi tujuan politik, strategi rekrutmen kader yang dilakukan PKS dapat dibagi ke dalam dua kategori. 

Pertama, ditujukan untuk memobilisasi sebanyak mungkin orang, apa pun suku, ras, dan jenis kelaminnya. Ini terutama untuk kepentingan elektoral. Titik tekan pola rekrutmen ini adalah dari segi jumlah. Kedua, pola rekrutmen yang bertujuan mendaftar kader-kader potensial melalui mekanisme rekrutmen yang selektif. PKS lalu mewajibkan para kadernya terlibat aktif dalam serangkaian pelatihan intensif. 

Pelatihan ini dikemas secara berjenjang atau hierarkis (marhalah). PKS juga mengenal muwashaffat atau kriteria kader yang dibuat spesifik dan terperinci untuk tiap jenjang keanggotaan di dalam partai. Ini semua untuk memastikan sistem stelsel aktif berbasis group and grid berjalan efektif dan diharapkan mampu membentuk komitmen total dan loyalitas anggota. 

Mantan presiden PKS, Tifatul Sembiring, menyatakan: “Kemenangan partai kader tidak akan muncul tanpa loyalitas, loyalitas tidak akan muncul tanpa ketaatan,ketaatan tidak akan ada tanpa pengorbanan, dan pengorbanan tidak akan ada tanpa keikhlasan” (Republika, 30 Juli 2005). 

Politisi PKS Zulkieflimansyah bahkan menyebut sistem kaderisasi di PKS memiliki banyak kemiripan dengan partai komunis yang bersifat stelsel aktif, hierarkis, dan meniscayakan loyalitas dan komitmen penuh terhadap garis kebijakan partai. Dia menyebut proses dan sistem kaderisasi PKS sebagai ”partai komunis dengan cita rasa ideologi Islam”.

Ironi PKS 

Justru di sinilah ironi terbesar melanda PKS. Selama ini ada dua proses sakralisasi yang membuat PKS tampak berbeda dibandingkan partai lain. Pertama, saat partai-partai di Indonesia dilanda virus gejala presidensialisasi partai, meminjam istilah DJ Samuels (2002), yang bertumpu pada karisma figur, PKS konsisten bertumpu pada kader. Meminjam istilah Goodwin, Jasper, dan Polletta (2001), kader PKS menerapkan passionate politics, politik yang bergairah. 

Kedua, sakralisasi PKS sebagai partai yang bersih dari korupsi. Sebelum kasus LHI dan Fathanah mencuat, dibandingkan partai-partai lain, PKS paling sepi dari isu tak sedap terkait korupsi. PKS bahkan menumbuhkan citra bersih dan peduli sebagai bagian inheren partai. Kasus suap daging ini melucuti sakralisasi pengaderan PKS yang fenomenal itu. Presiden PKS adalah puncak kaderisasi partai. 

Bisa dibayangkan kegalauan kader PKS menyaksikan penetapan LHI sebagai tersangka dalam kasus dugaan suap daging sapi impor dan tindak pidana pencucian uang. Publik bisa berpraduga ada yang salah dalam proses kaderisasi PKS karena (mantan) orang nomor satu partai tersandung kasus korupsi ketika masih menjabat. 

Tak bisa dimungkiri, badai LHI-Fathanah yang menyeret elite-elite PKS lainnya dalam pusaran kasus suap daging impor ini mengakibatkan desakralisasi citra partai. PKS tak lagi punya kepercayaan diri mengusung jargon bersih dari korupsi karena sekali kasus korupsi melanda partai langsung melibatkan (bekas) orang nomor satu di PKS. 

Proses desakralisasi ini harus membuat PKS menapak kembali ke bumi. Desain strategi PKS pada 2014 harus dimulai dengan upaya sistematik untuk memulihkan citra partai pascamencuatnya kasus LHI-Fathanah. Jika tidak, target tiga besar di pemilu nanti makin jauh panggang daripada api.